Berbicara tentang transportasi di Indonesia tak akan ada habisnya. Tentu saja hal ini cukup menarik untuk diperbincangkan mengingat dari sudut pandang transportasi umum atau sistem transportasinya pasti mengundang mimik kita untuk berubah muram. Oke, jika beberapa orang cukup dengan mengucap sedikit keluhan.
Transportasi umum sendiri saya rasa di Indonesia masih sangat jauh dari kondisi baik. Mengingat kondisi fasilitas publik yang selalu menjadi nomor sekian dari sebuah perjalanan. Selain itu, masih banyak jalan-jalan yang tidak dilalui trayek satu kendaraan umumpun. Di kota besar seperti Surabaya mungkin hanya beberapa akses jalan saja yang tidak terlewati. Namun, jika berkunjung ke kota kecil seperti Ponorogo (kota tempat tinggalku) masih sangat banyak jalan-jalan yang tak disentuh transportasi umum. Padahal saya rasa akses menuju jalan tersebut cukup mudah dan banyak orang yang mengunjunginya. Inilah yang menyebabkan orang-orang lebih memilih memakai transportasi pribadi untuk mencapai daerah tujuan. Bisa dengan kendaraan pribadi maupun dengan charter. Seperti sekitar setahun yang lalu saat teman-teman dari kampus Unesa hendak bepergian ke suatu tempat di Kabupaten Ponorogo, Desa Ngrayun. Kami memutuskan untuk menyarter sebuah pick up untuk mencapai lokasi. Karena jika memilih transportasi umum kita bergonta-ganti kendaraan hingga tiga kali. Hmm, padahal kita nggak lintas provinsi, loh!
Lain lagi jika kita menengok ke jalan-jalan raya utama penghubung kota-kota di Jawa Timur misalnya. Jika Kita bepergian antar kota di hari biasa dan bukan week end atau pada hari senin pagi, jalan-jalan tersebut terlihat lebih lengang, meski tak bisa dikatakan sangat teratur. Berbeda halnya jika kita melewatinya pada hari libur atau long week end. Wow! Sudah dapat ditebak betapa bosannya kita menunggu bus merayapi punggung jalan yang padat. Jika orang-orang seperti saya, yang bepergian dari ujung ke ujung (dari Ponorogo ke Surabaya) besar kemungkinan akan selalu mendapat tempat duduk. Meski sepanjang perjalanan tetap akan terganggu dengan volume penumpang yang membeludak di dalam bus hingga kesulitan mencari oksigen. Tapi untuk penumpang bus yang naik dari tengah-tengah kota hampir dipastikan akan berdiri hingga kota tujuan. Kasihan mereka, padahal bayarnya tetap sama. Di sisi lain kita juga nggak bisa menyalahkan bus yang bersedia mengangut mereka. Karena justru sebagian penumpang sendiri yang maksa masuk ke dalam bus meski udah kelihatan full. Mereka sendiripun telah sadar jika itu adalah resiko yang harus mereka tanggung. Karena mereka cuma ada dua pilihan, naik sekarang, atau nanti, dengan kondisi sama-sama berdirinya.
Entahlah, mungkin jumlah manusia yang bertambah melebihi normal hingga berapapun jumlah bus yang ditambah tak akan mampu mengimbangi jumlah penumpangnya. Ledakan jumlah penduduk ini, menurut saya juga tak jauh berbeda pada kasus kemacetan. Gimana nggak macet la impor kendaraan pribadi saja sekarang jadi tambah besar, dan dipermudah menuruti permintaan pasar dalam negeri. Sementara tak jarang satu rumah memiliki lebih dari satu mobil dan satu sepeda motor. Apalagi jika di kota-kota besar. Sehingga berapapun jalan yang akan dibangun, pelebaran jalan, jalan layang atau jalan tol, tetap saja akan ada kemacetan jika mobil-mobil dan sepeda-sepeda motor terus saja diimport dengan jumlah berlebih tiap tahun. Hal ini diperburuk dengan kebijakan beberapa perusahaan yang akan memberikan bonus kepada karyawannya yang berhasil meningkatkan penjualan kendaraan bermotor tiap tahun, dengan iming-iming bonus yang menarik pula. Manusiawi, jika mereka saling berlomba menjual mobil sebanyak-banyaknya. Mereka juga butuh makan dan ngasih makan keluarganya. Hanya saja, mungkin sebaiknya hal ini dipikirkan pula oleh orang-orang yang berkecimpung pada urusan permobilan tersebut. Semakin banyak kendaraan yang beroperasi, semakin banyak pula kemacetan, dan yang lebih buruk adalah tingkat polusinya yang sudah masuk pada tingkat sangat berbahaya.
Tulisan ini sejatinya berawal dari pengalaman saya yang pulang ke kampung halaman tadi malam. Dengan bodohnya (mungkin memang waktunya apes) saya memilih sebiah bus yang kurang cukup akrab di mata saya. Firasat buruk di awal sih ada, tapi saya abaikan, berhubung bus yang biasanya saya naiki telah full penumpangnya. Firasat saya terbukti, tarif bus di luar normal. Biasanya jika saya naik Bus Restu atau Jaya yang ber-AC tarif berkisar antara Rp 22.000,00 hingga Rp 24.000,00. Tapi kali ini saya ditarik Rp 30.000,00 untuk bus yang tak ada AC-nya dan dengan bau pesingnya itu. Tak hanya sampai di situ, sampai di Nganjuk kami, sisa penumpang "diturunkan paksa" dengan sedikit uang kembalian. Saya sendiri yang saat itu menuju ponorogo hanya mendapat kembalian Rp 8.000,00. Kami dioper ke bus Patas yang kebetulan lewat. Otomatis kami membayar tarif lagi, tarif Patas. Untuk saya sendiri dari Nganjuk ke Ponorogo menambah Rp 30.000,00. Yah, walhasil saya cuma bisa ngeluh ke penumpang sebelah yang cekikikan mendengar nasib saya.
"Wah, uang yang sampean habiskan hampir sama dengan tarif patas full dari Surabaya ke Ponorogo, mbak!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H