Aroma politisasi reklamasi semakin menyengat. Ini terlihat dari aksi-aksi demonstrasi yang menuntut KPK menetapkan Ahok sebagai tersangka. Selama dua hari berturut-turut, kelompok buruh menggeruduk KPK. Reklamasi pun dijadikan amunisi untuk menghajar Ahok.
Padahal, sebelumnya lawan-lawan politik Ahok sudah punya amunisi mendesak KPK mentersangkakan Ahok. Yaitu ketika KPK memeriksa Ahok dalam kasus Sumber Waras. Bahkan, kasus itu telah didukung fakta dari audit Badan Pemeriksa Keuangan yang menemukan indikasi kerugian negara dalam kasus Sumber Waras sebesar Rp 191 Miliar. Tapi entah kenapa KPK belum menetapkan Ahok sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Sampai kemudian reklamasi ramai dibahas setelah Anggota DPRD DKI, M. Sanusi diringkus KPK. Lawan-lawan politik Ahok, pun menjadikan penangkapan Sanusi dengan dugaan pengaturan Ranperda Reklamasi ini sebagai pintu masuk untuk mempolitisasi reklamasi.
Reklamasi memang sudah masuk ranah hukum dengan penangkapan M Sanusi. Akan tetapi, kasus tersebut kini terus digoreng untuk menjatuhkan Ahok. Hanya saja, upaya mendegradasi Ahok lewat reklamasi terang benderang terkesan sangat dipaksakan. Tidak ada fakta-fakta dari penegak hukum maupun BPK yang menympulkan jika ada kasus hukum menyengat Ahok dalam kasus reklamasi.
Entah mengapa, para rival Ahok, termasuk kelompok buruh tidak menyadari bahwa amunisi politisasi reklamasi tidak cukup kuat menghajar Ahok. Ahok malah mendapat panggung gratis untuk mengklarifikasi tuduhan-tuduhan tersebut sekaligus mengatrol citranya dalam membangun Jakarta.
Beda ketika kasus Sumber Waras dijadikan amunisi, sudah jelas ada fakta dari BPK bahwa negara terindikasi menanggung rugi ratusan miliar karena kasus tersebut.
Agar hantaman kepada Ahok menghujam telak, para buruh dan seteru Ahok sebaiknya mendesak KPK dengan pressure berdalil korupsi Sumber Waras.Yang pasti, fakta dari BPK lebih sahih ketimbang argumenytasi mengawang-awang tentang politisasi reklamasi.
Apalagi, sejumlah praktisi, intelektual, ekonom, pejabat dan pengamat mendukung reklamasi. Sebutlah misalnya Ketua Komite Tetap Hubungan dengan Lembaga Swasta Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Ikang Fawzi mengatakan, setiap kegiatan reklamasi pasti memiliki sisi positif dan negatif. Namun, penyelesaian masalah reklamasi hendaknya tidak dipolitisasi.
“Kegiatan reklamasi itu pasti memiliki dampak negatif, namun dampak positifnya bisa jadi lebih besar. Asal, dikerjakan dengan baik dan memenuhi kaidah hukum dan aturan yang berlaku,” kata Ikang, seperti dikutip dari keterangan tertulis Viva.co.id, Selasa 24 Mei 2016.
Senada dengan KADIN, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finace (INDEF) Enny Sri Hartati menilai, keputusan moratorium proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta yang disepakati pemerintah dan DPR belum memiliki kepastian tetap. "Ekonomi dan bisnis itu butuh kepastian, jangan sampai berubah-ubah. Kalau tidak ada kepastian bagaimana bisa sustainable. "Yang terpenting, ke depannya kebijakan ini seperti apa," kata Enny dalam keterangan tertulis yang dikutip dari Kontan.co.id, Minggu (29/5).
Ketika rival Ahok dan para buruh menyerang Ahok dari sudut reklamasi, tentu mereka harus menghadapi orang-orang yang mendukung reklamasi dengan sudut pandang ekonomi seperti KADIN dan INDEF. Ini pilihan pertarungan tidak cerdas. Niat hati ingin menghajar satu lawan tapi harus menghadapi banyak orang dengan marwah intelektual yang tak diragukan lagi.