Mohon tunggu...
Novita Safira Anjani
Novita Safira Anjani Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa ekonomi pembangunan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perbedaan Mix Policy Dua Era, Krisis Keuangan 2008 dan COVID-19

17 November 2024   22:45 Diperbarui: 17 November 2024   22:57 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Mix policy merupakan kombinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang digunakan untuk menjaga kondisi stabilitas perekonomian Indonesia. Kebijakan ini digunakan untuk mengatasi krisis keuangan tahun 2008 dan pandemi COVID-19. Pertumbuhan ekonomi mengalami fluktuasi terutama pada saat krisis tahun 2008, pertumbuhan ekonomi mencapai nilai terandah selama kurun waktu tuga belas tahun sebesar 4,63%. Rendahnya pertumbuhan ekonomi ditahun 2009 ini merupakan dampak atas terjadinya krisis tahun 2008. Krisis keuangan global memberikan risiko dan tantangan untuk perekonomian Indonesia. Melambatnya perekonomian indonesia menyebabkan pendapatan negara dalam bentu pajak dan bea cukai, penurunan harga komoditas global seperti minyak dan gas bumi yang merupakan sumber pendapatan utama negara dan meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk mengatasi dampak krisis dan mendorong pemulihan ekonomi (Bank Indonesia, 2008).

Kebijakan moneter dan fiskal memainkan peran penting dalam menstabilkan perekonomian, mengendalikan inflasi, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi pengangguran. Pada saat krisis global 2008, pemerintah Indonesia menggunakan kebijakan fiskal yang berfokus pada peningkatan belanja untuk memacu aktivitas ekonomi, terutama di sektor infrastruktur dan program sosial. Pada tahun 2009 pemerintah Indonesia meningkatkan defisist anggaran dari 1% menjadi 2,6% dari PDB. Belanja pemerintah juga meningkat secara terus menerus, konsumsi pemerintah tumbuh sebesar 10,4% pada tahun 2008 dan 15,7% pada tahun 2009, dan pada tahun 2010 sebesar 25% sebagai upaya untuk mendorong investasi dan konsumsi domestik. Kebijakan ini bertujuan untuk berkontribusi pada pertumbuhan PDB Indonesia yang meskipun mengalami penurunan pada tahun 2009 dengan laju pertumbuhan sebesar 4,6% .

Sedangkan pada saat pandemi COVID-19, perlambatan perekonomian hanya tumbuh sebesar 2,97%. Penurunan terjadi pada hampir seluruh komponen seperti konsumsi masyarakat dan investasi melambat tajam. Melemahnya kondisi ekonomi global juga tercermin pada penurunan ekspor dan impor, hal ini mengakibatkan melonjaknya defisit fiskal hingga mencapai 6,16% dari PDB. Hal tersebut mendorong kebijakan fiskal harus dilakukan secara responsif dan antisipatif. Kebijakan fiskal yang diterapkan untuk kondisi ini adalah APBN yang digunakan untuk memperkuat penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi. Pemerintah juga menerapkan kebijakan refocusing anggaran belanja yang diarahkan untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi. Selain itu fungsi APBN adalah untuk mendukung upaya penanganan pandemi COVID-19 melalui peningkatan layanan kesehatan, perlundungan sosial, dan stimulus ekonomi nasional.

Kebijakan monter yang di kelola oleh bank sentral melibatkan pengaturan suku bunga, pengendalian suplai uang, dan penggunaan instrumen lainnya. Kebijakan moneter yang diterapkan untuk mengatasi krisis tahun 2008 adalah penurunan tingkat suku bunga yang dimulai pada bulan Desember tahun 2008 sebagai respon terhadap perlambatan ekonomi.  Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan likuiditas di pasar dan mendukung aktivitas ekonomi masyarakat. Namun, langkah ini dilakukan secara hati-hati untuk menghindari risiko inflasi yang tidak terkendali. Selain itu, Bank Indonesia memperketat pengawasan terhadap sektor perbankan. Langkah ini bertujuan memastikan bahwa bank memiliki struktur keuangan yang kuat untuk menghadapi ketidakpastian global dan risiko sistemik. Pengawasan ini melibatkan pemantauan lebih ketat terhadap kinerja bank, pengelolaan aset, serta penerapan prinsip kehati-hatian. Dengan kombinasi kebijakan ini, BI berupaya menyeimbangkan kebutuhan stabilitas makroekonomi dengan pemulihan ekonomi yang berkelanjutan selama krisis.

Sedangkan pada saat krisis COVID-19, kebijakan moneter yang digunakan bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar, mengendalikan inflasi, dan mempertahankan stabilitas sistem keuangan. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, Bank Indonesia  meningkatkan intensitas  intervensi  di  pasar  Domestic  Non-Deliverable  Forward  (DNDF),  pasar  spot, dan pembelian SBN dari pasar sekunder, hingga menjalin kerja sama bilateral swap dan repo line dengan bank sentral dari negara lain, termasuk bank sentral AS dan Tiongkok. Selain itu, untuk mengendalikan inflasi Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga mencapai 3,5% . Keputusan ini digunakan untuk menjaga stabilitas  nilai  tukar  rupiah  di  tengah  ketidakpastian  pasar  keuangan  global, juga bertujuan untuk menurunkan suku bunga deposito dan kredit modal kerja. Penurunan suku bunga berpengaruh terhadap penurunan suku bunga perbankan dan imbal hasil dari SBN. Sehingga tingkat inflasi dapat tercapai sesuai target dan perekonomian indonesia mengalami pemulihan seperti semula.

Mix policy yang diterapkan selama krisis keuangan global 2008 dan pandemi COVID-19 menunjukkan perbedaan fokus dan pendekatan berdasarkan tantangan yang dihadapi. Pada 2008, kebijakan fiskal di Indonesia berpusat pada peningkatan belanja pemerintah untuk mendorong konsumsi dan investasi domestik, didukung oleh penurunan suku bunga yang digunakan untuk menjaga likuiditas pasar dan mengendalikan inflasi. Sementara itu, pengawasan sektor perbankan diperketat untuk memitigasi risiko sistemik. Di sisi lain, pandemi COVID-19 menuntut respons kebijakan yang lebih agresif. Defisit fiskal meningkat tajam untuk mendanai layanan kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi. Kebijakan moneter difokuskan pada stabilitas nilai tukar rupiah melalui intervensi pasar, kolaborasi internasional, dan penurunan suku bunga hingga 3,5%. Langkah ini tidak hanya menjaga stabilitas keuangan tetapi juga memacu pemulihan ekonomi. 

Terdapat perbedaan kombinasi kebijakan yang diterapkan pada kedua kondisis tersebut. Perbedaan utama dapat dilihat kondisi krisis 2008 dan pandemi COVID-19 yang berbeda. Krisis 2008 lebih berfokus pada stabilitas sistem keuangan, dengan kebijakan yang mengatasi masalah likuiditas dan pengawasan perbankan. Sedangkan pandemi COVID-19 lebih berfokus pada aspek kesehatan yang lebih luas, dengan kebijakan fiskal yang difokuskan pada perlindungan sosial dan pemulihan ekonomi. Meskipun fokusnya berbeda, kedua krisis tersebut menekankan pentingnya kolaborasi antara kebijakan fiskal dan moneter untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan menjaga stabilitas nasional. Kedua kondisi yang berbeda juga penerapan kombinasi kebijakan yang berbeda, kondisi ini dapat dijadikan acuan dalam menentukan kebijakan dimasa yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun