Mohon tunggu...
Novitasari Suyatno
Novitasari Suyatno Mohon Tunggu... -

Potongan-potongan puzzle yang ingin merangkai makna setiap peristiwa melalui kata, dan membaginya untuk semua.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Terlambat Sekolah

5 Juli 2014   13:08 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:23 3572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlambat merupakan kondisi yang sangat tidak menyenangkan bagi sebagian orang, baik itu pada orang dewasa maupun anak-anak. Dalam kondisi terlambat beragam emosi bisa muncul, mulai dari kecewa pada diri sendiri, kecewa pada kondisi, marah akan penyebab keterlambatan semisalmacet, sedih, malu dll. Lalu apakah yang harus kita lakukan jika terlambat itu tidak terelakkan lagi?. Bagaimana langkah kita sebagai seorang guru jika ada siswa yang terlambat dan butuh bantuan untuk meregulasi emosinya?.

Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin sulit dijawab jika kita belum mengetahui kondisi riilnya di lapangan, mulai dari jenis emosi yang teridentifikasi maupun bentuk reaksinya. Untuk lebih membantu kita dalam menganalisis,berikut contoh deskripsi kasusnya:

CONTOH KASUS

Fakhri Yang Terlambat Sekolah Ketika Ulangan Matematika

Fakhri berusia 6,5 tahun. Ketika itu sedang Ulangan Akhir Semester (UAS). Pagi itu tepat pukul 07.30 bel berbunyi, teman-teman sudah duduk dengan rapi, mereka tampak sudah siap mengerjakan soal ulangan, ini ditandai dengan antusiasnya mereka mengeluarkan alat tulis seolah ingin bersegera mengerjakannya.

Sebelum memulai ulangan, ibu guru mengabsen siswa satu persatu. Sampai semua siswa dipanggil Fakhri tak kunjung datang. Ibu guru membagikan soal ulangan keteman-teman tanpa menunggu Fakhri. Di sela-sela ibu guru membagikan soal ulangan Fakhri datang diantar oleh mamanya.

“Assalamu’alaikum bu guru, maaf Fakhri terlambat” ujar mamanya Fakhri sambil mengantar Fakhri sampai pintu kelas.

“wa’alaikumussalam, silahkan duduk Fakhri” Ibu guru menjawab salam dan mempersilahkan Fakhri duduk, namun karena sedang membagikan soal, ibu guru pun tak langsung menyambut dan menghampiri Fakhri. Teman-teman pun sudah asik dengan soal ulangan mereka, sehinga mereka tidak menyadari kehadiran Fakhri yang datang terlambat.

Saat giliran Fakhri mendapatkan soal, Ibu guru hanya menyerahkan lembar soal dan meminta Fakhri untuk segera menyiapkan alat tulisnya, karena sampai ibu guru datang ke mejanya, Fakhri belum menyiapkannya. Saat Ibu guru meminta Fakhri mengeluarkan alat tulis, Fakhri nampak tertunduk, matanya nampak berkaca-kaca, ia pun tak mengucapkan sepatah katapun ketika Ibu guru mengajaknya bicara. Melihat tingkahlaku Fakhri seperti itu, Ibu guru pun meninggalkan Fakhri sendiri, Ibu guru beranggapan kalau Fakhri ditinggal ia bisa lebih tenang dan mau mengerjakan soal ulangan.

Selang kurang lebih 30 menit berlalu, Ibu guru mulai berkeliling melihat sampai dimana anak-anak mengerjakan soal ulangan. Sesampainya Ibu guru di meja Fakhri, Ibu guru melihat soal ulangan Fakhri, satupun soal belum ia kerjakan. Padahal Fakhri sudah bisa mengerjakan soal yang serupa saat mengerjakan soal latihan. Melihat kejadian itu Ibu guru pun tampak panik, Ibu guru takut fakhri tidak bisa menyelesaikan soal ulangan pada waktu yang telah ditentukan, karena hal ini akan berimbas pada perolehan nilai Fakhri. Akhirnya Ibu guru berusaha merayu Fakhri agar mau mengerjakan soal ulangannya, namun Fakhri tetap diam dan akhirnya menangis.

Menghadapi kejadian itu Ibu guru bingung sekali bagaimana menghadapi Fakhri, akhirnya ia pun mengajak Fakhri keluar kelas, dan mengajaknya bicara di luar. Dengan nada yang masih diusahakan tetap lembut, Ibu guru pun berkata pada Fakhri

“Fakhri..., Fakhri harus dengarkan Ibu guru, kalau Fakhri tidak mengerjakan soalnya segera, Fakhri akan kehabisan waktu”. “Apakah Fakhri mau tertinggal dari teman-teman yang lain?”.

Hingga Ibu guru mengakhiri kata-katanya, Fakhri tetap diam dan air matanya tambah berderai. Ibu guru pun tambah bingung dan kesal sekali dengan tingkah fakhri hari ini.

“duhh Fakhri, kamu ini kenapa sih diam dan menangis terus?!, aku kan harus menemani teman-temanmu juga mengerjakan soal ulangan”, Namun ibu guru itupun menarik nafasnya dan mengucapkan istighfar beberapa kali, “sudahlah...biarkan saja Fakhri menangis dulu, mungkin ia sedang butuh menangis, tak apa waktu ujiannya habis pun, aku kan bisa membimbingnya saat ia sudah mau mengerjakan soal ulangan”. Ujar Ibu guru dalam hati.

Akhirnya Ibu guru mengajak Fakhri duduk kembali ke bangkunya, sebelum ia meninggalkan Fakhri untuk mengawasi anak-anak yang lain, Ibu guru pun berkata kembali kepada Fakhri

“ Fakhri...maafkan kalo ibu tadi memaksa Fakhri untuk mengerjakan soal ulangan, tadi fakhri malu ya...ketika datang terlambat, dan Fakhri butuh menangis dulu ya... Ok, sekarang Fakhri boleh menangis dulu, nanti kalau sudah siap mengerjakan, walaupun waktunya sudah habis, ibu akan temani”, setelah berkata seperti itu Ibu guru pun meninggalkan Fakhri

Satu persatu teman Fakhri selesai mengerjakan soal, hingga akhirnya hanya ada Fakhri di kelas itu. Fakhri pun sudah mulai bisa diajak bicara, dan akhirnya mau menyelesaikan soal ulangannya dengan ditemani oleh ibu gurunya, walaupun sudah lewat dari waktu yang semestinya.

*****

Dari kasus di atas,apakah yang terjadi pada Fakhri dan gurunya?, dan bagaimana prosesnya jika dikaitkan dengan pemahaman tentang proses pengolahan emosi di otak manusia?, beserta kaitannya dengan perspektif lain tentang kinerja otak. Selain itu, bagaimanakah langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh gurunya untuk membantu Fakhri meregulasi emosinya?. Berikut analisisnya:

ANALISIS

1.Apa yang terjadi pada Fakhri?

Ketika Fakhri datang terlambat, Amygdala(di sistem limbik) mengidentifikasi emosi yang muncul pada diri Fakhri berupa rasa malu dan sedih. Emosi malu dan sedih itu terekspresikan dengan reaksi emosi Fakhri berupa diam ketika ditanya dan menangis ketika Ibu guru berusaha merayu dan mendorongnya untuk mengerjakan soal ulangan matematika. Reaksi emosi ini muncul dengan bantuan Brainstem (batang otak). Brainstem (batang otak) berfungsi membantu memunculkan ekpresi fisiologis dari emosi, seperti detak jantung, pernapasan dll.

Selain rasa malu dan sedih, rasa kecewapun diasumsikan hadir pada diri Fakhri. Yaitu rasa kecewa karena kurang mendapatkan penerimaan yang baik ketika ia masuk ke dalam kelas, hal ini ditandai dengan teman-teman yang sudah terlanjur asik mengerjakan soal ulangannya, sehingga tidak menyadari kehadirannya, serta Ibu guru yang tidak segera menghampirinya saat ia datang dalam kondisi terlambat. Hal ini menyebabkan sulit dan lamanya Fakhri meregulasi emosinya.

Jika dikaitkan dengan teori triune brain, kondisi terlambat bagi Fakhri merupakan kondisi yang sangat mengancam, sistem limbik mengatakan bahwa kondisi kelas dan ulangan matematika ini tidak aman, sehingga ia merefleksi kejadian ini dengan sikap Freeze (menetap di posisi yang aman), yaitu ditunjukkan dengan ia tidak menyiapkan alat tulisnya sebelumdiminta oleh gurunya, serta diam dan menangis ketika diajak bicara dan selama ulangan berlangsung.

Sistem limbik merupakan salah satu bagian otak pada teori triune brain. Sistem limbik adalah pusat pengolahan emosi bawah sadar, yang tugas utamanya adalah menjaga pertahanan hidup. Sistem limbik akan memaknai suatu informasi yang mengancam dengan tiga bentuk refleksi

1.Flight : yaitu lari dari sesuatu yang mengancam jika bisa

2.Fight : yaitu “menyerang” jika tidak bisa lari

3.Freeze : yaitu menetap diposisi yang aman

Setelah Ibu guru Fakhri mulai menerima dan mulai memahaminya, memberi waktu untuknya menangis dan menenangkan diri. Ia pun mulai merasa diterima dan mulai bisa diajak bicara dan mau mengerjakan soal ulangan matematika. Hal ini terjadi setelah Ibu guru mengatakan hal seperti di bawah ini:

“ Fakhri...maafkan kalo ibu tadi memaksa Fakhri untuk mengerjakan soal ulangan, tadi fakhri malu ya...ketika datang terlambat, dan Fakhri butuh menangis dulu ya... Ok, sekarang Fakhri boleh menangis dulu, nanti kalau sudah siap mengerjakan, walaupun waktunya sudah habis, ibu akan temani”,

2.Apa yang terjadi pada Ibu guru?

Tidak jauh berbeda dengan Fakhri Ibu guru pun emosinya ikut muncul dalam kasus ini. Emosi ibu guru muncul karena melihat Fakhri tidak kunjung mengerjakan soal ulangan matematikanya, disamping itu yang membuat emosi Ibu guru muncul, adalah sikap Fakhri yang diam dan justru menangis ketika Ibu guru semakin mendesaknya dengan pertanyaan.

Emosi yang teridentifikasi dari Ibu guru Fakhri adalah emosi takut fakhri tidak menyelesaikan soal ulangan pada waktu yang telah ditentukan serta marah/kesal karena Fakhri selalu diam dan menangis ketika diajak bicara. Bentuk reaksi emosi Ibu guru Fakhri adalah ketika Ibu guru mengajak Fakhri keluar kelas, dan mengajaknya bicara di luar. Dengan nada yang masih diusahakan tetap lembut, Ibu guru pun berkata pada Fakhri

“Fakhri..., Fakhri harus dengarkan Ibu guru, kalau Fakhri tidak mengerjakan soalnya segera, Fakhri akan kehabisan waktu”. “Apakah Fakhri mau tertinggal dari teman-teman yang lain?”.

Jika reaksi Ibu guru dikaitkan dengan teori triune brain, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ibu gurunya Fakhri ini mengalami Fight ketika menghadapi permasalahan ini. Namun dalam kasus ini, pada akhirnya Ibu guru mampu meregulasi emosinya dengan menenangkan respon tubuh (menarik nafas dan beristigfar) serta memberi pemahaman dengan menginterpretasi masalah dari sisi Fakhri. Berikut cuplikan deskripsi ceritanya;

Namun ibu guru itupun menarik nafasnya dan mengucapkan istighfar beberapa kali, “sudahlah...biarkan saja Fakhri menangis dulu, mungkin ia sedang butuh menangis, tak apa waktu ujiannya habis pun, aku kan bisa membimbingnya saat ia sudah mau mengerjakan soal ulangan”. Ujar Ibu guru dalam hati

3.Langkah-langkah meregulasi emosi Fakhri

Jika dari awal Ibu guru mampu meregulasi emosi Fakhri ketika baru sampai ke kelas, mungkin Fakhri tidak perlu mengerjakan soal ulangan matematikanya setelah waktu ulangan selesai. Seharusnya ketika Fakhri datang dalam kondisi terlambat, walaupun di tengah-tengah Ibu guru sedang membagikan soal ulangan, ibu guru sebaiknya memberi jeda sejenak, mengajak teman-teman menyambut Fakhri, dan Ibu guru pun menghampirinya, menyapanya dan memberikan elusan lembut di kepalanya. Dengan demikian Fakhri akan menganggap bahwa dirinya masih diterima di kelas itu, walaupun ia datang terlambat.

Solusi di atas jika Ibu guru mengantisipasi kasus Fakhri ini dari awal, lalu bagaimana solusi untuk meregulasi emosi Fakhri jika kejadiannya Fakhri sudah merasa tidak diterima di dalam kelas (merasa malu, sedih dan kecewa)?. Untuk hal tersebut, Merujuk langkah –langkah regulasi emosi yang telah dilakukan penelitian selama 20 tahun (langkah-langkah ini dikutip dari bahan ajar Proses Pengolahan Emosi Miss Agustina Untari) langkah-langkah meregulasinya adalah sebagai berikut:

1.Menyadari emosi yang hadir, baik pada anak maupun pada guru

Pada kasus ini emosi yang di alami Fakhri adalah emosi malu, marah dan kecewa sedangkan pada gurunya adalah emosi takut dan marah/kesal.

2.Menerimanya sebagai peluang untuk menjalin kedekatan dengan anak dan membantunya dalam belajar.

3.Mendengarkan dengan empati, menerima dan meneguhkan perasaan anak.

Misal: guru bisa mengatakan hal seperti ini kepada Fakhri;

“ada apa?, ada yang bisa Ibu guru bantu?, apa yang kamu inginkan?, apa yang kamu rasakan? Kamu sedih ya?, kamu malu?, wajar sih kalau kamu seperti itu”

“kalau kamu mau menangis tidak apa-apa kok, kamu boleh menangis dulu, nanti kalau sudah siap bercerita dan siap mengerjakan soal ulangan, kamu bisa panggil Ibu guru”.

4.Membantu anak memberi nama emosinya dan juga menggunakan strategi regulasi emosi yang lain

Jika langkah 1-4 tidak berhasil, maka guru bisa mencoba cara regulasi yang lain, misal: meninggalkan Fakhri sejenak setelah ia diyakinkan kalau Ibu guru menerima dan akan membantunya.

5.Menentukan batas-batas sambil membantu anak menyelesaikan masalah.

Contoh: “kamu boleh menangis dulu, tapi nanti setelah selesai menangis ulangan matematikanya tetap dikerjakan ya...”

Walaupun regulasi itu sangat mungkin untuk diterapkan, namun kita perlu menyadari bahwa untuk meregulasi emosi butuh kerja keras dan butuh waktu, yang kita tidak bisa pastikan kapan regulasi emosi itu bisa terjadi, oleh karena itu bersabarlah dengan prosesnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun