Mohon tunggu...
Novita Meilina Anggraini
Novita Meilina Anggraini Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Dengan Riang

Saya belajar menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Glorifikasi Jakarta Kota Metropolitan, Masih Layak Dijadikan Destinasi Perantauan?

10 Desember 2022   09:08 Diperbarui: 10 Desember 2022   09:19 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Iming-iming kemudahan dan kesuksesan dalam hidup (finansial) menjadi alasan besar mengapa Kota Metropolitan seperti Jakarta menjadi primadona dalam benak masyarakat untuk mencapai dua tujuan hidup ini. Perputaran uang yang serba cepat sebanding dengan perputaran waktu yang mungkin sebenarnya sama dengan daerah asal, tapi entah mengapa waktu berputar lebih cepat di Kota ini. 

Kemudahan seperti apa yang ada dalam benak masyarakat di daerah yang menjadikan Jakarta sebagai rujukan tergapaikan kata sukses? Gedung yang tinggi, transportasi seperti KRL, MRT, Transjakart, bahkan sliwar- sliwer artis ibukota yang wajahnya kerap menghiasi layar kaca, sangat besar peluangnya kita jumpai jika kita berada di titik busur perekonomian Indonesia. 

Dari sisi lain, upah yang diharapkan dapat diperoleh juga lebih tinggi dari daerah asal. Katakan saja, seorang perantau asal sebuah wilayah ditengah pulau jawa yang mencoba dan mendapat kesempatan bekerja layak di Jakarta paling tidak ia akan mendapatkan upah yang lebih besar daripada ia bekerja di daerah asalnya. Hal ini berlaku jika, ia mendapatkan pekerjaan yang memberinya hak dengan membayarkan pekerja sesuai dengan regulasi pemerintah (UMR yang berlaku). Menggiurkan bukan?

Ditambah lagi dengan iming- iming karir cemerlang yang ditawarkan, sangat menggurkan lagi karena kemungkinan besar upah yang didapat lebih besar dan membuatnya semakin dekat dengan tujuannya mencapai sukses.

Tapi, ilustrasi ini bisa terjadi dengan skill, kemampuan dan keberuntungan yang memadai dari dirinya. Tanpa itu? Ya, mungkin seorang perantau akan kesulitan dan hanya mampu bertahan dengan apa yang ia peroleh dengan berbagai kesulitan tersebut.

Tulisan ini terangkai berdasarkan potret yang saya tangkap dengan mata saya, dan saya coba pahami jika merantau bukan satu-satunya tiket menuju kesuksesan. Bisa jadi malah membawa si perantau pada  jurang yang lebih dalam yang disebut keterpurukan. Jika sudah dalam fase ini, bagaimanakah nasib perantau di tanah perantauan? Jadi beban siapakah para perantau yang tak terserap baik di tanah perantauan?

Baiknya, saya akan memberikan sebuah cerita yang membuat saya menyadari istilah "Jakarta itu keras"  bukan hanya bualan orang pemalas tak bertanggung jawab. Beberapa waktu lalu, seorang ibu yang ditinggalkan sang suami selama- lamanya mendapat kesulitan makan. Kalau saya tulis begini mungkin kurang greget. Yang saya maksudkan makan disini adalah si ibu sudah tidak ada lagi beras dikontrakannya. Dengan beban yang harus ditanggung yaitu anak tercinta. 

Kisah haru ini dipermanis juga dengan cerita saudara saya yang menyebutkan jika banyak diantara penghuni kontrakan mengalami hal yang sama. Sudah bukan langka, tapi sangat lumrah. Menjual perabotan rumh yang ada demi seliter beras adalah hal wajar yang terlihat tak wajar bagi orang daerah yang serba sana sini tercukupkan dengan tetangga yang sangat peduli dari hal umum sampai hal pribadi.

Iya betul, kelebihan masyarakat perkotaan yang individualis dalam hal kepedulian bisa jadi juga sebagai kekurangan. Rasa peduli dengan sesama yang terjalin sangat erat menjadi renggang jika tidak mengenal. Karakteristik perantau yang suka pindah tempat tinggal sana sini menyulitkan tetangga kiri kanan untuk saling mengenal dengan baik. Tapi begitulah resiko tinggal diperkotaan. Pindah dari satu kontrakan atau kosan hingga menemukan yang cocok memang diperlukan untuk memunculkan rasa aman dan nyaman di tanah orang.

Pada nyatanya, yang harus disadari adalah tidak semua yang berada di perantauan bisa mencapai tujuan. Walaupun ada juga yang bisa meraih dan meningkatkan tujuannya setelah ditanah perantauan. Hingar bingar tanah rantau takkan berarti untuk semua orang. Bukan berarti tidak bersinar, tapi bisa jadi perantauan bukan jawaban untuk membuat kamu bersinar. Jadi sebelum memutuskan merantau, pikirkan kembali apakah benar merantau adalah jawaban untuk mencapai tujuan atau sekedar tergiur dengan beraneka balutan glorifikasi Kota metropolitan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun