Mohon tunggu...
Novita Khoirunisa
Novita Khoirunisa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apa Itu Virus Corona atau Covid-19 dan Dampaknya terhadap Psikologi Abnormal

21 November 2021   12:39 Diperbarui: 21 November 2021   13:28 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Virus corona (COVID-19)saat ini telah menginfeksi lebih dari 100 negara di dunia dan mengakibatkan 6.400 orang meninggal dunia. WHO pun telah menyatakan virus Corona sebagai pandemi. Artinya, virus Corona telah menyebar ke hampir seluruh dunia dan populasi dunia kemungkinan akan terkena infeksi dari virus ini. Jadi, sebagian dari populasi dunia akan jatuh sakit. Virus Corona atau COVID-19 adalah virus yang menyerang sistem pernapasan manusia. Virus ini masih berhubungan dengan penyebab SARS dan MERS yang sempat merebak beberapa tahun lalu. Sampai saat ini belum diketahui penyebab dari virus Corona, tetapi diketahui virus ini disebarkan oleh hewan dan mampu menjangkit dari satu spesies ke spesies lainnya, termasuk manusia. Diketahui virus Corona berasal dari Kota Wuhan di China dan muncul pada Desember 2019 Berdasarkan penelitian, bahaya virus Corona bisa menyebabkan kematian. Bahkan, pasien yang terinfeksi dan sembuh akan mengalami kerusakan permanen pada paru-paru dan antibodi. Virus Corona muncul dengan beberapa gejala yang berbeda-beda pada tubuh pasiennya. Namun, secara umum, gejala virus Corona adalah flu, demam, batuk, hingga sesak napas. Sampai saat ini belum ditemukan obat untuk mengobati virus Corona. Namun, tercatat ada beberapa orang yang telah sembuh dari virus Corona setelah menjalani isolasi serta perawatan di rumah sakit. Di Indonesia, misalnya, per 23 Maret 2020, pemerintah mengklaim telah ada 29 orang yang sembuh dari virus corona. Hal itu didasari dua kali pemeriksaan spesimen tidak ditemukan kembali virus Corona dalam tubuh.
Pada dekade 1990-an prediksi di bidang kesehatan umumnya menyebutkan akan meningkatnya penyakit degeneratif yang disebabkan oleh perubahan gaya hidup manusia. Dan di sisi lain akan ada penurunan penyakit menular, karena makin canggihnya ilmu kedokteran dan farmasi dalam penemuan obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Prediksi itu tampaknya benar di beberapa sisi, di mana penyakit degeneratif, seperti diabetes, serangan jantung koroner, lemak darah, kegemukan, stroke, dan berbagai jenis kanker, memang menunjukkan jumlah penderita penyakit degeneratif meningkat. Tentang penyakit menular yang umumnya disebabkan oleh mikroorganisme, memang mulai bisa diatasi, seperti diare, demam berdarah, polio, cacar, tuberkulosis, lepra, dan lainnya. Bahkan beberapa negara maju disebutkan telah bebas dari berbagai penyakit itu. Namun demikian, belakangan ini, ada hal-hal yang berada di luar kalkulasi ketika itu, yang membuat prediksi itu agak buram dan perlu lebih banyak dipertimbangkan, terutama di mana perubahan gaya hidup manusia  sepertinya berada di ruang yang berbeda dengan transmisi penyakit penularan.
Munculnya virus corona jenis baru yang sekarang mengguncang dunia, harus menjadi pertimbangan mengenai kebijakan kesehatan masyarakat, bukan hanya bagi satu negara, tetapi kemungkinan secara global. Bahwa dunia sekarang menyaksikan meningkatnya penyakit degeneratif, tetapi juga penyakit menular baru yang penyebarannya makin cepat, dan mematikan. Ini terjadi mengingat bahwa mobilitas manusia terus meningkat. Kalau ditelusuri munculnya penyakit menular baru, terutama yang disebabkan oleh berbagai jenis virus, banyak yang diduga berasal dari virus yang sebelumnya hidup di dalam tubuh binatang, bahkan dari satwa liar. Loncatan itu terjadi sebagai konsekuensi kontak yang makin intensif; manusia di bumi ini terus mendesak bumi dengan populasi yang meningkat, menggusur habitat hutan alam dan satwa liar. Manusia dengan pengetahuan dan teknologinya terus mengeksplorasi, tetapi lebih-lebih mengekspoitasi alam, bahkan melakukannya tanpa dasar pengetahuan yang memadai. Konflik manusia dengan satwa liar terus terjadi, karena situasi ini. Dan sebaliknya satwa liar banyak juga yang karena kehilangan habitat aslinya, mulai masuk di tengah lingkungan manusia. Kontak manusia dengan satwa juga terus meningkat, bukan hanya di peternakan, tetapi juga dengan satwa liar, karena perburuan untuk konsumsi atau dijadikan binatang peliharaan, bahkan dijadikan obat, sekalipun sering alasannya tidak rasional.
Kerakusan manusia tampaknya harus dipersalahkan dengan munculnya penyakit baru yang membuat kepanikan di dunia ini. Kasus SARS tahun 2003 dan virus corona tahun 2020 ini, dengan fokus kota-kota China, di mana perdagangan satwa liar untuk konsumsi dan pengobatan sangat populer, dan mungkin terpopuler di dunia, adalah alasan yang kuat untuk menuding perilaku manusia. Dan tentu saja, contoh yang paling nyata dari risiko eksploitasi alam yang berlebihan. Eksploitasi satwa liar ini bahkan sering dibungkus dengan mitos yang naif, sebagai makanan “ajaib” untuk vitalitas, atau obat “mujarab.” Di Indonesia, perdagangan satwa liar untuk konsumsi, pengobatan dan dijadikan binatang peliharaan juga terus terjadi, dan tampaknya ada kecenderungan meningkat. Negara ini memang belum mengalami kasus seperti wabah ebola, SARS dan virus corona ini. Meski demikian, tidak bisa kehilangan kewaspadaan akan potensi ancaman ini. Jadi, tentang munculnya penyakit menular baru pusat persoalannya ada pada perilaku kita terhadap habitat satu-satnya bagi manusia, Planet Bumi. Maka bukan kebetulan bahwa kasus virus corona ini  muncul nyaris bersamaan dengan krisis akibat perubahan iklim yang ditandai dengan banjir, kekeringan, dan kebakaran. Juga bersamaan dengan ketika bumi diterpa krisis sampah plastik, dan pencemaran udara akibat penggunaan berlebihan bahan bakar fosil. Dunia tampaknya masih akan melihat masalah-masalah lain seperti virus corona dan krisis lingkungan lainnya, dan frekuensinya mungkin makin tinggi, ketika perubahan perilaku manusia tehadap lingkungan tidak berubah menjadi lebih ramah dan bersifat pemelihara, ketimbang menjarah.
Lantas, apa dampaknya terhadap psikologi abnormal?
Pada awal sebelum Presiden Jokowi menyatakan ada warga Indonesia yang positif terjangkit virus corona, masyarakat Indonesia lebih dominan memiliki rasa cemas. Mengapa? Sebab rasa cemas ini sendiri merupakan suatu yang irasional dan objek ketakutan atas wabah virus corona di Indonesia belum terbukti dan nyata. Namun kondisi kecemasan itu kini berubah menjadi ketakutan. Sebab rasa takut merupakan suatu yang rasional, karena sudah memiliki objek ketakutan yang jelas dan nyata. Yaitu, wabah virus corona sudah terjadi di Indonesia. Sebenarnya rasa cemas dan ketakutan pada diri masyarakat atas wabah virus corona suatu yang manusiawi. Namun hal ini jika tidak diatasi, secara psikologi akan menimbulkan disorganisasi dan disfungsi sosial di masyarakat. Mengapa? Perlu dipahami, ciri otentik dari masyarakat adalah kedinamisan dalam perubahan di tatanan sosialnya saat mendapat stimulus tertentu – dalam hal ini rasa takut atas wabah virus corona.  Kondisi perubahan ini bersifat interpenden. Artinya,  sulit untuk dapat membatasi perubahan - perubahan pada masyarakat karena masyarakat merupakan mata rantai yang saling terkait.  Oleh karena itulah, diorganisasi dan disfungsi sosial menjadi suatu keniscayaan.  Disorganisasi pada masyarakat akan mengarah pada situasi sosial yang tidak menentu. Sehingga dapat berdampak pada tatanan sosial di masyarakat. Wujud nyatanya berupa prasangka dan diskriminasi. Hal ini bisa dilihat dari berbagai pemberitaan di media mengenai reaksi masyarakat saat ada warga Indonesia positif terjangkit virus corona. Misalnya, ada masyarakat yang mulai membatasi kontak sosialnya untuk tidak menggunakan angkutan umum, transportasi online, dan menghindari berinteraksi diruang sosial tertentu (seperti pasar dan mall) karena kuatir tertular virus corona.
Prasangka masyarakat ini tentu memiliki alasan logis. Sebab dalam perspektif epidemiologi, terjadinya suatu penyakit dan atau masalah kesehatan tertentu disebabkan karena adanya keterhubungan antara pejamu (host) – dalam hal ini manusia atau makhluk hidup lainnya, penyebab (agent) – dalam hal ini suatu unsur, organisme hidup, atau kuman infektif yang dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit, dan lingkungan (environment) – dalam hal ini faktor luar dari individu yang dapat berupa lingkungan fisik, biologis, dan sosial.  Kenneth J. Rothman dkk. (2008) dalam buku “Modern Epidemiology” menjelaskan bahwa kondisi keterhubungan antara pejamu, agen dan lingkungan adalah suatu kesatuan yang dinamis yang jika terjadi gangguan terhadap keseimbangan hubungan diantaranya, inilah yang akan menimbulkan kondisi sakit. Berawal dari prasangka, akhirnya dapat muncul sikap diskriminasi. Sikap diskriminasi yang paling nyata terjadi berupa kekerasan simbolik. Misal, saat individu X berada di ruang sosial tertentu tiba – tiba melihat ada individu Y yang berada di dekatnya bersin-bersin dan batuk, individu X tiba – tiba segera menjauh karena merasa kuatir individu Y terjangkit virus corona. Padahal individu Y hanya mengalami flu biasa.  Sikap diskriminasi lainnya lagi, seperti tidak mau menolong orang lain secara kontak fisik dengan orang yang diduga terjangkit virus corona.
Selain disorganisasi sosial, disfungsi sosial juga terjadi akibat rasa takut atas wabah virus corona. Disfungsi sosial membuat seseorang atau kelompok masyarakat tertentu tidak mampu menjalankan fungsi sosialnya sesuai dengan status sosialnya. Hal yang paling nyata bisa kita lihat dibeberapa pemberitaan media atas reaksi para tenaga kesehatan (perawat dan dokter) yang mulai mengalami rasa takut akan terjangkit virus corona saat mereka memberikan pelayanan perawatan (caring) maupun pengobatan (curing) pada pasien yang diduga bahkan terjangkit virus corona. Rasa takut ini membuat para tenaga kesehatan tidak maksimal menjalankan fungsi sosialnya. Contoh lainnya lagi, individu sebagai makhluk sosial mulai membatasi kontak sosialnya dengan tidak mau menolong orang yang belum tentu positif terjangkit virus corona. Disfungsi sosial membuat individu justru mengalami gangguan pada kesehatannya. Dalam perspektif sosiologi kesehatan, kondisi sehat jika secara fisik, mental, spritual maupun sosial dapat membuat individu menjalankan fungsi sosialnya. Jika kondisi sehat ini terganggu – dalam kasus ini terganggu sosialnya. Tentu individu ini dinyatakan sakit. Kondisi sakit di sini sebagaimana yang dikemukakan Talcott Parsons (1951) dalam bukunya “The Social System”, bahwa ia tidak setuju dengan dominasi model kesehatan medis dalam menentukan dan mendiagnosa individu itu sakit. Bagi Parsons, sakit bukan hanya kondisi biologis semata, tetapi juga peran sosial yang tidak berfungsi dengan baik. Parsons melihat sakit sebagai bentuk perilaku menyimpang dalam masyarakat. Alasannya karena orang yang sakit tidak dapat memenuhi peran sosialnya secara normal dan karenanya menyimpang dari norma merupakan suatu yang konsensual.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun