Siapa sangka, bahwa seorang Laksamana Besar China dari masa Dinasti Ming adalah seorang muslim. Memiliki nama asli Ma He, atau Ma Sanbao, dengan nama kebesaran Cheng Ho atau Zheng He. Laksamana Cheng Ho diketahui lahir di Desa Kemnyan, Kunming, Yunan, China tahun 1371. Pada masa kejayaannya, nama beliau tercatat sebagai salah seorang pelopor ekspedisi China ke Nusantara.
Sebagai seorang kasim dari Kaisar Yongle, Cheng Ho sangat dipercaya dalam urusan diplomatik oleh Kekaisaran. Layaknya tugas seorang Menteri Luar Negeri, dengan berbagai urusan diplomasi yang membawa misi perdamaian. Seperti berita yang ditulis oleh sebuah laman berita China, Life of Guangzhou, secara detail menjelaskan bahwa Cheng Ho beragama Islam.
Hal ini dikarenakan suku Hui kala itu, identifikasi dari silsilah Cheng Ho, sudah banyak yang memeluk agama Islam. Sebagai seorang Laksamana Besar yang hidup selama tiga periode Kekaisaran, Cheng Ho telah menjalin banyak hubungan internasional. Seperti ke Vietnam, India, Taiwan, Malaka, Persia, Arab, Afrika, dan tentu saja wilayah Nusantara.
Nusantara kala itu tengah memasuki masa peralihan Hindu/Budha ke Islam. Maka disebutkan, bahwa Cheng Ho ketika lawatannya ke Nusantara, telah melakukan diplomasi dengan Kesultanan Samudera Pasai dan Kerajaan Majapahit. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian Kong Yuanzi, dalam buku "Cheng Ho Muslim Tionghoa: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara", terbitan tahun 2011.
Masih pada buku yang sama, disebutkan pula bahwa ekspedisi Cheng Ho ke Nusantara tidak sekedar urusan diplomasi, melainkan juga dakwah, dengan pendekatan politik dan ekonomi. Nah, pendekatan kerjasama politik dan ekonomi ini dapat diketahui dengan keterlibatan saudagar/ulama Arab dalam ekspedisi ketiganya, bernama Syekh Qurotul Ain, yang bernasab dengan Sayyidina Husein.
Maka tidak mengherankan jika ada yang menyebutkan bahwa ekspedisi Cheng Ho adalah bagian dari misi dakwah Islam di Nusantara. Laksamana Cheng Ho diketahui telah mengunjungi wilayah Nusantara sebanyak tujuh kali ekspedisi. Dengan membawa sekitar 307 armada laut bersama 27.000 anak buah kapal.
Suatu armada yang sangat besar pada masa itu, serta membawa logistika yang dipersiapkannya dari China dan ketika berlabuh. Inilah yang menjadi unik, karena diketahui pasukan Laksamana Cheng Ho tidak pernah berbuat kerusakan bahkan penjajahan terhadap wilayah yang disinggahinya. Pasukannya diketahui pula lebih terbuka dalam hal pertukaran budaya.
Nah, dari kegemaran para pasukan Cheng Ho dalam hal inilah, mereka diketahui sempat mempelajari ilmu beladiri lokal India. Seni beladiri India yang dikenal dengan nama Kallary Payatt kemudian diadopsi sebagai salah satu cabang beladiri Kungfu di China. Tak luput dengan budaya Nusantara dengan beladiri silatnya.
Bahkan ketika bertemu dengan Sultan Samudera Pasai, Laksamana Cheng Ho menghadiahi sebuah lonceng bernama Cakra Donya sebagai tanda persahabatan. Lonceng tersebut dibawah oleh Sultan Ali Mughayat Syah ke Kesultanan Aceh, sebagai bentuk apresiasi bagi Kaisar China atas ekspedisi diplomatisnya.
Selama lawatannya di Sumatera, armada besar Cheng Ho memang dikenal baik dalam bersosialisasi dengan masyarakat lokal. Disini sebenarnya dakwah Islam diperkenalkan lebih jauh kepada seluruh masyarakat di pesisir utara Sumatera. Bahwa dakwah Islam tidak hanya berasal dari Arab, melainkan pula dari China, melalui aksi diplomasi Cheng Ho.