Mungkin kini tak lagi terdengar kisah dari para gali yang dahulu menjadi buronan no.1 selama tahun 1982 silam. Beberapa diantaranya yang menjadi penyintas masa kelam tersebut lebih memilih diam dan menjalani hidup selayaknya kehidupan sosial pada umumnya. Gali, adalah sebutan untuk orang-orang yang dianggap sebagai preman, atau kriminal berbahaya.
Kala itu memang ada kebijakan yang secara tertutup diterapkan oleh Pemerintah. Khususnya dalam menangani dan mengantisipasi keresahan masyarakat terhadap ulah dari para gali. Tingkat kriminalitas dianggap naik, seiring berbagai persoalan ekonomi yang mulai melanda bangsa. Belum lagi terkait kebijakan-kebijakan yang dirasa tidak populis untuk masyarakat, dalam hal pemotongan subsidi.
Tepatnya di Jogjakarta, mulai marak aksi kejahatan yang merugikan masyarakat umum dimulai dari para preman. Terlepas dari ragam kasus yang menjadi kisahnya. Belum lagi dengan maraknya aksi demonstrasi yang dilakukan guna mengkritik kebijakan Pemerintah. Dimana konon juga melibatkan para preman untuk memperkeruh suasana hingga menimbulkan huru-hara.
Mereka (gali) yang menjadi target buruan memiliki identifikasi mantan narapidana, memiliki tatto di tubuhnya, hingga yang terindikasi menjadi anggota geng. Semua skenario dilakukan secara terorganisir dan rapih oleh para pelaku penembakan misterius (petrus). Dengan target para gali yang telah disebutkan diatas. Sepertinya ini jalan hukum alternatif yang dilakukan secara acak.
Tak hanya di Jogjakarta, aksi-aksi penembakan misterius juga terjadi di kota besar lainnya, seperti Jakarta dan Surabaya. Konon aksi penembakan dilakukan ketika malam menjelang, ataupun di tempat-tempat keramaian, dengan metode misterius. Jadi, para petrus ini memang "dilatih" agar tidak terlacak keberadaannya oleh masyarakat.
Tentu saja, seketika aksi ini membuat gempar dunia preman se-Indonesia. Bahkan dari para petugas hukum juga membuka diri, bagi mereka yang hendak menyerahkan diri, daripada diketemukan mati di tengah-tengah hutan atau jalan raya. Yap, banyak jasad dari para gali yang kala itu diketahui tewas, diketemukan di dua lokasi tersebut. Dengan tangan terikat dan kadang ditutupi karung.
Setelah peristiwa petrus marak, banyak diantara para gali memilih untuk menyerahkan diri kepada pihak berwajib. Mereka lebih memilih untuk kembali ke bui daripada diketemukan mati. Walau banyak diantara mereka lebih memilih hijrah alias mondok di beberapa pondok pesantren. Mereka yang memilih untuk hijrah ini pun dilindungi secara hukum oleh pemuka agama setempat.
Ada upaya pengendalian aksi kekerasan yang dilakukan Pemerintah dengan jalan kekerasan. Walau secara umum, masyarakat memberi apresiasi positif terhadap aksi "sepihak" itu. Seketika memang, aksi tindak kejahatan dapat dikatakan menurun kala itu. Namun belakangan, atas dasar penegakkan HAM maka aksi dari para petrus pun dihentikan. Seiring tekanan dari dunia internasional.
Hingga memasuki era Reformasi, pelanggaran HAM dalam wujud petrus ini pun diungkap kembali. Dengan tujuan kemanusiaan bagi mereka yang diketahui terbukti tidak bersalah. Kita tidak akan membahasnya secara terperinci perihal itu. Namun kisah petrus ini sedianya dapat menjadi kisah sejarah yang dapat dipahami dari berbagai macam pendekatan yang lebih luas.
Artinya tidak hanya dari satu sisi semata. Apalagi belakangan ini marak terjadi lagi aksi kekerasan atas nama gengster yang mulai ramai di Jogjakarta (klitih). Seolah ada memori yang muncul kembali ke permukaan dari masyarakat, mengenai "aksi koboi" yang dilakukan oleh para petrus dalam menghadapi berbagai aksi-aksi kejahatan.