Sekitar pukul 10.00, Sarwo Edhie Wibowo bersama pasukannya bergerak menuju Halim. Tetapi tidak langsung bergerak ke Lubang Buaya, karena tujuannya adalah bertemu dengan para perwira Angkatan Udara disana. Nah, usai mendapatkan informasi bahwa Bung Karno tengah berada di Bogor, dengan cepat beliau menyusul bersama para petinggi Angkatan Udara untuk meminta keterangan.
Namun kelak, karena inisiatifnya bertemu dengan Bung Karno ini akan dianggap sebagai bentuk "pembangkangan" terhadap loyalis Soeharto. Tetapi sikap pertentangan itu belumlah dimulai sejak pintu tragedi 1965 dibuka, melainkan dengan memberi Sarwo Edhi Wibowo kesempatan untuk menghancurkan PKI hingga ke akar-akarnya.
Bukanlah hal yang mudah, ketika Sarwo Edhie Wibowo bersama pasukan RPKAD bertandang ke Jawa Tengah untuk menumpas para simpatisan PKI. Walau sebelumnya, Untung Syamsuri telah ditangkap di Tegal pada 11 Oktober 1965. Tetapi, ragam perlawanan sudah sampai pada titik "perang saudara", yang berangkat dari konflik antar ideologi. Khususnya ketika peristiwa Kentungan terjadi.
Kiranya demikian, tatkala Sarwo Edhie Wibowo tengah mengkonsolidasikan kekuatannya di Jawa Tengah. Banyak pihak berasumsi akan terjadi adu kuat antar kesatuan militer disana. Kala itu memang, mayoritas kekuatan militer di Jawa Tengah telah tersusupi oleh PKI. Tetapi hal itu tidak terjadi seperti yang dibayangkan sebelumnya. Beliau bisa merangkul melalui pidato-pidato heroiknya.
Ada semacam kharisma yang dimilikinya, hingga rakyat berbondong-bondong mengikuti rapat-rapat umum yang digelar. Seperti di Boyolali, yang kala itu dianggap sebagai basis PKI. Bahkan sampai berhasil membentuk barisan perlawanan rakyat dengan memberi pelatihan untuk melawan aksi-aksi simpatisan PKI disana.
Siapa lagi kalau bukan barisan anti komunis, yang pada masa sebelumnya kerap diintimidasi dengan berbagai aksi kekerasan yang terjadi. Ada semacam upaya "balas dendam" yang kemudian dikatakan dimanfaatkan sebagai kekuatan perlawanan. Untuk memburu para simpatisan komunis dengan cara penangkapan, hingga bahkan pembunuhan.
Semua berangkat dari aksi yang menjadi reaksi atas apa yang sebelumnya pun pernah terjadi. Jadi tidak mengherankan jika terjadi aksi kekerasan dimana-mana kala itu. Bahkan sungai Bengawan Solo dikatakan "banjir darah", lantaran konflik semakin memanas. Dengan hasil yang menghancurkan bagi para simpatisan PKI.
Tidak hanya di Jawa Tengah, bahkan meluas hingga Jawa Timur dan Bali. Aksi saling serang dan saling bunuh terjadi dimana-mana. Tetapi tugas menumpas PKI adalah sebuah instruksi yang final didapatkan olehnya. Sebagai seorang militer, tentu saja instruksi ini tidak dapat ditolak, apalagi jika mengenang jasa Ahmad Yani terhadap Sarwo Edhi Wibowo amatlah besar.
Hingga mendekati tahun 1967, aksi pembersihan terhadap kelompok komunis sudah dapat diselesaikan. Maka tidak heran, jika kemudian Soeharto memintanya untuk tugas ke Sumatera sejak tahun 1967, lantaran pamor beliau sangatlah tinggi di mata rakyat kala itu. Khususnya ketika PKI di Blitar Selatan berhasil ditumpas dengan Operasi Trisula pada tahun 1968.
Pamor mertua Presiden Indonesia ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini tentu tidak diragukan lagi, baik secara kapasitas atupun kekuatan politik pendukungnya. Apalagi, namanya sangat melambung di kalangan mahasiswa yang menuntut pergantian kekuasaan kala itu. Walau pada akhirnya diperlakukan secara "tidak adil" oleh Soeharto. Kita hanya dapat berasumsi.
Ketenarannya bahkan disebut-sebut melebihi Soeharto, yang kala itu tengah bersiap untuk menjadi Presiden menggantikan Bung Karno. Sedangkan Sarwo Edhie Wibowo konon justru "dibuang" oleh Soeharto dengan menugaskannya sebagai Duta Besar di Korea Selatan. Dimana sebelumnya sempat ditugaskan di Papua, sebagai Panglima Kodam Cendrawasih.