Mohon tunggu...
Bahas Sejarah
Bahas Sejarah Mohon Tunggu... Guru - Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Sejarah Bangsanya Sendiri

Berbagi kisah sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Organisasi Sosial Politik pada Masa Pendudukan Jepang

20 Februari 2023   05:30 Diperbarui: 20 Februari 2023   06:30 2493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Dalam Cengkeraman Dai Nippon karya Nino Oktorino (sumber: dokpri)

Seperti kita ketahui, mundurnya Belanda dari Indonesia pada tahun 1942 melalui kapitulasi Kalijati, membuat Jepang menjadi satu-satunya penguasa di kawasan Asia Tenggara. Usai menaklukkan Inggris di Malaya, dan mengalahkan armada Amerika di Filiphina dengan satu pukulan dari Laksamana Takeo Kurita. Begitulah kiranya sejarah Indonesia mencatatnya.

Strategi Takeo Kurita dengan gerakan octopus secara serempak, menjadikan wilayah-wilayah penting dapat dengan segera diduduki oleh Jepang. Khususnya yang memiliki sumber daya alam berupa minyak, di Tarakan. Tetapi tidak selamanya Jepang mampu menguasai seluruh wilayahnya yang luas.

Sekutu secara bertahap mampu melancarkan serangan balik dari peristiwa di Laut Coral dan Guadalcanal. Maka, Perang Pasifi pun mempengaruhi kampanye Jepang di Asia Timur Raya. Jepang mulai membutuhkan tenaga sukarela dari setiap wilayah jajahannya. Khususnya untuk tenaga militer cadangan.

Tetapi tidak serta merta membentuk tenaga militer tanpa organisasi lain yang bersifat sosial maupun politik. Hal ini dikarenakan Jepang sangat memahami budaya politik yang terjadi sejak masa Belanda di Indonesia. Semua kegiatan politik, sangat mempengaruhi kehidupan sosial dalam bermasyarakat.

Jepang melihat ini sebagai peluang untuk mendapatkan dukungan. Nah, sejak awal memang kampanye Jepang untuk memikat hati rakyat Indonesia tidak sebatar parade militer saja. Melainkan memberi ruang kepada para tokoh nasional untuk bekerjasama dengan dalih balas jasa.

1. Gerakan 3 A

Adalah organisasi pertama yang dibentuk oleh Jepang dalam kampanyenya di Indonesia. Gerakan ini dimulai pada tanggal 29 April 1942, sesaat setelah Belanda menyatakan kalah terhadap Jepang. Ketua dari gerakan ini adalah Mr. Syamsuddin, dengan tujuan mengkampanyekan; "Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya Asia".

Namun, aksi dari gerakan ini pada akhirnya dihentikan oleh Jepang. Lantaran dianggap tidak menguntungkan bagi Jepang, karena rakyat Indonesia mulai bereaksi terhadap tentara pendudukan Jepang yang mulai bersikap sewenang-wenang. Dengan persoalan yang tidak diharapkan bagi dukungan terhadap pasukan Jepand di Indonesia.

Tepatnya pada bulan September 1942, gerakan propaganda ini dihentikan secara resmi. Dengan mengalihkan kekuatan propaganda melalui organisasi lainnya, seperti, Sendenbu.

2. Sendenbu

Melalui Departemen Propaganda Jepang, Sendenbu akhirnya dibentuk guna memberikan informasi mengenai kejayaan Jepang pada setiap pertempuran di Asia Timur Raya. Badan ini tidak lebih dari wadah para jurnalis Indonesia untuk terlibat dan mempelajari seluk beluk tentang Jepang.

Tepatnya pada bulan Agustus 1942, Sendenbu lebih memprioritaskan urusan pers dan media sebagai alat propaganda. Walau kerap ditentang oleh para tokoh nasionalis, karena dianggap memalsukan fakta dan lebih mengintimidasi rakyat. Diantara tokoh Republik yang pernah terlibat di dalam organisasi ini adalah Soekarni.

Dimana mulai tahun 1943 mulai tampak perlawanan rakyat yang mengakibatkan Jepang bertindak semakin keras. Segala macam organisasi "gelap" menjadi target penangkapan oleh Kempeitai (polisi rahasia Jepang). Maka, tidak ada jalan lain bagi Jepang, untuk melibatkan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno dan Hatta dalam agenda selanjutnya.

3. Putera (Pusat Tenaga Rakyat)

Ialah Putera, yang diketuai langsung oleh Soekarno, Moh. Hatta, K.H. Mas Mansyur dan Ki Hajar Dewantara. Semua elemen "dirangkul" jadi satu oleh Jepang. Tentu saja agar mudah dikontrol dan diarahkan sesuai dengan keinginan Jepang. Melalui Putera, para tokoh nasional tersebut diminta untuk berkontribusi secara aktif guna kepentingan Jepang.

Tidak lain adalah merangkul para pemuda Indonesia, untuk dapat dilibatkan kepada organisasi militer bentukan Jepang. Seperti Heiho, Seinendan, Keibondan, hingga PETA. Pun dengan tenaga paksa yang dipekerjakan di dalam Romusha, ataupun perempuan dalam Fujinkai. Putera diresmikan pada tanggal 16 April 1943.

Maka tidak mengherankan, jika pada suatu kampanye mengenai Romusha, para tokoh Putera terlibat secara langsung. Bahkan dalam usaha mengumpulkan bahan makanan dari rakyat yang kerap melibatkan para tokoh Indonesia. Walau terjadi friksi antara para tokoh nasionalis dengan rakyatnya, tetapi hal itu dianggap lumrah terjadi.

4. Masyumi

Melihat gelagat tidak menguntungkan dari Putera, Pemerintah Jepang pun memisahkan dua kelompok tokoh politik dan agama sesuai porsinya masing-masing. Ialah dengan mendirikan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), dimana para tokoh agama dipersatukan dalam sebuah wadah organisasi pada bulan November 1943.

Baik dari kalangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, diharapkan melalui Masyumi dapat membangkitkan semangat mendukung Jepang ketika menghadapi kekuatan Sekutu. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya kesatuan Hizbullah, yang dipimpin oleh K.H. Zainul Arifin.

Walaupun pada akhirnya Hizbullah lebih konsen terhadap upaya-upaya kemerdekaan Indonesia dengan mengedepankan barisan milisnya bersama dengan Heiho dan PETA.

5. Jawa Hokkokai

Melihat performa Putera dan Masyumi semakin hari semakin tidak memberi efek positif bagi Jepang, maka dihadirkanlah Jawa Hokkokai pada 8 Januari 1944. Hal ini menjadi semakin urgen dan mendesak, karena Jepang sudah mulai terlihat kalah dalam Perang Pasifik. Dimana Jawa Hokkokai lebih besar melibatkan para tokoh nasional ataupun setempat.

Tentu yang dianggap memiliki kekuatan untuk mengerahkan tenaga rakyat guna kepentingan Jepang. Tujuannya yakni fokus kepada pengumpulan harta dan sumber alam (makanan) dari rakyat. Dimana Jepang turut melibatkan tokoh dan pemuka agama di dalam organisasi ini, seperti K.H. Hasyim Asy'ari.

Walaupun secara "bawah tanah" para tokoh nasional tetap melancarkan perlawanannya berupa aksi sentimentil dan propaganda anti Jepang. Karena justru melalui Jawa Hokkokai, para pemimpin Indonesia dapat langsung berkomunikasi dengan rakyatnya. Walau tidak memberi sikap perlawanan secara langsung, hingga era pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia diumumkan.

Demikianlah peristiwa sejarah pada masa pendudukan jepang dapat disajikan, semoga bermanfaat. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun