Tidak semua kereta api pada awalnya menggunakan tenaga uap atau listrik dalam perkembangannya. Melainkan dengan tenaga hewan yang diikat di bagian depan rangkaian kereta dibelakangnya, seperti kuda. Mungkin istilah kereta kuda ini memberikan penjelasan yang sedikit berbeda. Lantaran yang ditarik bukanlah sebuah gerobak, melainkan sebuah gerbong berpenumpang.
Nah, di Indonesia, sejarah mencatat bahwa kereta kuda pertama kali yang dikembangkan sebagai penarik gerbong mulanya terjadi di Batavia (Jakarta). Hal ini karena perkembangan kereta api uap tersentralistik di Jawa Tengah, khususnya Semarang pada tahun 1867. Sedangkan trem kuda ini mulai beroperasi di Batavia pada tahun 1869.
Berbeda dengan yang berada di Jawa Tengah, jasa pengadaan trem untuk transportasi massal di Batavia kala itu masih menggunakan tenaga kuda. Artinya, perkembangan industri kereta api Indonesia mulanya memang terjadi di Semarang. Walau pusat pemerintahan Belanda terletak di Batavia (Jakarta). Tetapi tidak dengan industri trem yang memiliki perusahaan sendiri.
Bukan sembarang memiliki tujuan, bahwa Bataviasche Tramweg Maatschappij (BTM) memang berkembang pertama kali di Batavia. Namun, ketika trem dikembangkan pula di Jawa Tengah, maka pengoperasiannya langsung memakai lokomotif uap. Nah, berbeda dengan di Batavia, yang masih menggunakan kuda hingga 15 tahun selanjutnya.
Artinya, kondisi geografis di Jawa Tengah tidak memungkinkan untuk pengoperasian tenaga kuda ketika tram hendak dijalankan. Sedangkan di Batavia, yang terkenal sebagai pusat pelaku ekonomi dan aktivitas sosial, lebih memiliki jarak tempuh yang singkat antar stasiun (halte) pemberangkatan.
Bila di Semarang kita kenal perusahaan Semarang-Joanna Stoomtram Maatschappij (SJS), maka di Batavia ada Nederlandsch Indische Tramweg Maatschappij (NITM) setelah mengakuisisi BTM yang dianggap tidak efektif. Tepatnya pada tahun 1883, trem di Batavia mulai ditarik dengan lokomotif uap dalam pengoperasiaannya.
Btw, trem tenaga kuda di Batavia ini memiliki rute-rute yang konon baru diketemukan saat ini. Perlintasan jalur  Mester Cornelis (Jatinegara), Weltevreden (Sawah Besar), Gambir, hingga Harmoni memang didominasi sebagai rute utama trem di masa lalu. Rute tersebut adalah rute pelaku ekonomi dan pembesar yang menjadi kelompok sosial terpenting di Batavia.
Hingga pada tahun 1870an, perusahaan Nederlandsch Indicshe Spoorweg Maatschappij (NISM) yang terkenal pertama kali membuka kereta api lintas Semarang, pun akhirnya membuka jalur lintas Batavia-Butenzorg (Bogor). Tepatnya di tahun 1873, rute Batavia-Butenzorg dibuka untuk umum.
Nah, akibat "terdesak" terhadap pengoperasian lokomotif uap inilah yang secara lambat laun membuat BTM menyerah. Maka, NISM melalui NITM mengambil alih BTM untuk melakukan revolusi transportasi di Batavia. Kereta kuda pun langsung hilang di jalan-jalan utama Batavia.
Terlebih ketika jalur kereta Cikampek hingga Cirebon mulai dibahas oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka tidak ada alternatif lain, bila moda transportasi kuno mulai diperbarui. Sebenarnya, pada jalur jalan raya Deandels, moda transportasi kereta kuda masih sangat dominan di masyarakat.
Mungkin hal tersebut juga sebagai opsi utama yang membuat pembukaan jalur kereta api lintas Cikampek sempat tertunda. Seperti yang dilansir melalui laman heritage.kai.id, rute utama yang menjadi target pembukaan jalur kereta api adalah di bagian selatan Jawa Barat. Meliputi rute Bandung, Sukabumi, hingga Kroya di Jawa Tengah.
Sementara, kisah kereta kuda di Batavia tetap menjadi legenda hingga memasuki tahun 1900an. Walau sempat mengemuka dalam buah bibir masyarakat Batavia, yang mulai kesal karena lokomotif uap NITM kerap mogok karena hujan. Lantaran, kuda tidak kenal panas dan hujan, tetapi loko uap, kerap bermasalah ketika hujan melanda.
Demikian kiranya kisah sejarah kereta api Indonesia di Batavia. Semoga bermanfaat, terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H