Siapa yang tidak mengetahui kirpah Bung Tomo pada peran 10 November 1945 di Surabaya. Seorang pahlawan, pejuang, dan tokoh bangsa yang ikonik dengan orasinya yang berapi-api. Memiliki nama lengkap Soetomo, kelahiran 3 Oktober 1920, di Surabaya, pria yang kerap dipanggil Bung Tomo sejatinya hanyalah seorang wartawan sejati.
Tetapi, semasa perang mempertahankan kemerdekaan, Bung Tomo melibatkan diri dalam unsur pejuang yang mobile dalam aksi propaganda. Dunia kewartawanan memang telah digelutinya sejak muda, namanya tercatat sebagai seorang jurnalis di harian Soeara Oemoem, hingga majalah Poestaka Timoer.
Pada masa Jepang, Bung Tomo terdata sebagai anggota di Gerakan Rakyat Baru dan Pemuda Republik Indonesia. Nah, sejak tergabung dalam organisasi inilah ia mulai menjalin hubungannya dengan para pejuang "bawah tanah". Sejak kemerdekaan Indonesia diraih, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) dibentuknya sebagai bentuk sikap perjuangannya mengangkat senjata.
Pengalamannya selama berkecimpung di dunia jurnalis itulah yang membuat dirinya dengan mudah membuat sebuah pemancar radio. Dengan komponen-komponen yang dirakit menjadi sebuah pemancar pemberian dr. Moestopo. Bersama Hasan Basri, Radio Pemberontakan pun mengudara ditengah kecamuk perang Surabaya.
Peran Bung Tomo di BPRI dalam Perang Surabaya memang telah menjadi tokoh utama yang memiliki banyak pengikut. Pidatonya berapi-api dalam membangkitkan semangat juang rakyat. Pun ketika Bung Tomo masuk dalam panggung politik di masa Kabinet Burhanuddin Harahap, sebagai Menteri Negara Bekas Urusan Pejuang Bersenjata/Veteran.
Selama berkecimpung di panggung politik pada masa Orde Lama, suara lantangnya dalam mengkritisi pemerintahan sempat membuat dirinya bersitegang dengan Bung Karno. Hingga masa peralihan di tahun 1965-1966, dukungannya terhadap Pak Harto mulai dibuktikan dengan sikap tegasnya menentang kebijakan-kebijakan Orde Lama. Dimana ia adalah sosok yang dikenal anti PKI.
Tetapi, dukungannya terhadap penguasa Orde Baru tidak berlangsung lama. Lantaran pada masa itu, Pak Harto dianggap telah mengingkari perjuangan demokrasi yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat. Sejak awal tahun 1970, suara lantang Bung Tomo kerap dianggap mengganggu stabilitas negara.
Kebijakan pembangunan dan investasi asing kerap menjadi target propagandanya menantang rezim kala itu. Terlebih ketika Bung Tomo berada di barisan pendukung peristiwa Malari pada tahun 1974. Sebuah peristiwa yang membuat dirinya menjadi "incaran" penguasa Orde Baru.
Puncaknya adalah pada 1978, proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) mulai dicanangkan oleh pemerintah. Tak ayal, hal itu membuat Bung Tomo naik podium lagi untuk mengagitasi melalui orasi-orasinya. Bung Tomo mengecam proyek yang dianggapnya menyengsarakan rakyat. Kala itu memang ekonomi Indonesia tengah tidak baik-baik saja, karena nepotisme merajalela.
Apalagi, proyek tersebut diketahui hanya barangkat keinginan pribadi semata. Bukan semata-mata demi kepentingan rakyat. Maka wajar jika Bung Tomo kembali berteriak lantang. Hal inilah yang kemudian membuat Pak Harto "naik pitam", dan dengan segera memenjarakan "Sang Pejuang Surabaya" tersebut ke penjara Nirbaya pada tanggal 11 April 1978.