Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat tengah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Pasalnya, ketentuan Tapera ini mewajibkan karyawan untuk menyisihkan 3 persen dari total penghasilannya. Hal ini menimbulkan kegaduhan di masyarakat karena
dianggap memberatkan bagi para pekerja. Salah satu profesi pekerjaan yang paling banyak disoroti akibat ketentuan Tapera ini adalah driver ojek online (ojol). Pemberitaan Tapera vs Ojol kian menjadi topik hangat seiring dengan banyaknya driver ojol yang angkat suara, serta masyarakat yang berargumen simpatik pada driver ojol.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU menyebutkan bahwa driver ojek online merupakan seorang "mitra". Dengan status mitranya tersebut para driver ojek online (ojol) memiliki kebebasan untuk menentukan jam kerjanya sendiri, serta menentukan pekerjaannya tersebut sebagai pekerjaan freelance atau pekerjaan tetap. Namun, kebebasan tersebut juga memberikan fakta bahwa mitra tidak mendapatkan penghasilan tetap, hak cuti, maternity leave, bahkan jaminan kecelakaan kerja atau JKK. Para driver mengaku yang mereka butuhkan adalah jaminan keselamatan kerja dan perlindungan pekerja secara komprehensif.
Para driver ojol yang memiliki penghasilan tidak menentu serta tidak memiliki gaji tetap dari perusahaan, kini harus dibebani juga oleh iuran program Tapera sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024, pasal 15 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Lebih lagi, terhitung sebagai peserta Tapera pekerja mandiri, para driver ojol dipastikan harus membayar iuran Tapera sendiri secara penuh sebesar 3 persen. Berbeda dengan Karyawan Swasta dan PNS, Tapera dibayarkan oleh pekerja sebesar 2,5 persen dan oleh perusahaan 0,5 persen. Kesenjangan ini pula yang menjadi amarah para driver ojol.
Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia pun menolak keras kebijakan Tapera ini. Menurutnya, para pengemudi ojek online sudah dibebankan berbagai iuran wajib dari aplikator, dan jika pengemudi diwajibkan juga masuk dalam kategori pekerja mandiri iuran Tapera ini, penghasilannya akan habis hanya untuk membayar berbagai iuran.
Oleh karena itu, iuran program Tapera ini perlu dikaji kembali ketetapannya. Segala bentuk demonstrasi dan penolakan di jagat media seharusnya telah menyadarkan pemerintah bahwa kebijakan Tapera ini lebih banyak mengandung kontra. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyetujui bahwa kebijakan Tapera perlu dipertimbangkan. Pada demo buruh tolak Tapera di depan Istana Negara, buruh menolak ketetapan Tapera karena selain membebani pekerja, 10 hingga 20 tahun kedepan tidak ada kepastian untuk memiliki rumah. Selain itu, Presiden KSPI berargumen bahwa dana Tapera dinilai tidak jelas dan rawan dikorupsi, serta pencairannya sangat rumit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H