Tulisan ini adalah wujud keriasauan mahasiswi terhadap perempuan modern yang pola hidupnya cenderung konsumtif, hedonis, dan bertindak hanya untuk kepentingan pribadi.Â
Terlepas dari sejarah tokoh-tokoh perempuan nasional seperti R.A Kartini, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, Rangkayo Rasuna, dan lainnya serta sejarah tokoh perempuan internasional seperti Clara Zetkin, Nawal El Saadawi dkk yang memberontak dan mengkritik budaya patriarki serta berjuanng demi pembebasan kaum perempuan, agar kesetaraan dan kebebasan mengekspresikan diri di ruang publik dapat tercapai.Â
Jauh kedepan, mari kita melirik dunia saat ini. Dimana kita akan menemui gadis cantik karena keberaniannya, karena pengaruh positifnya untuk tatanan masyarakat yang lebih baik, sosok yang semangat, riang dan gembira, ramah nan asyik, gadis yang tekun dan ulet, berintegritas, serta bekerja bukan hanya untuk kepentingan pribadi namun jauh kedepan untuk pengabdian kepada masyarakat.Â
Namun miris, andai adat isti adat mengizinkan, juga budaya patriarki tak begitu kuat, maka saya ingin mengabdikan seluruh hidup saya untuk kemajuan dan juga perjuangan mereka kaum perempuan yang tertindas, yang hidupnya penuh intimidasi dari keluarga, buruh perempuan dengan gaji yang tak layak, perempuan yang ditindas harga dirinya, yang dilecehkan kemudian didiskriminasi, kasta-kasta, juga berjuang untuk melegistimasi eksistensi perempuan itu sendiri.
Bergetar hati ketika mendengar kasus-kasus yang lagi-lagi menyudutkan wanita dalam keterpurukan. Berita pemerkosaan juga kekerasan terhadap perempuan saling susul-menyusul seperti kuda yang berlari dalam pacuan yang begitu dinamis, tak luput pula eksploitasi perempuan yang imbasnya hanya menjadikan perempuan sebagai subjek dalam aktivitas kehidupan bernegara.Â
Sehingga, tubuh perempuan dan juga pikirannya terbelenggu dalam kecurangan kaum yang tak mau memberikan peluang untuk kemajuan perempuan, dan celakanya perempuan juga tak berkeinginan untuk bangkit. Kebanyakan dari perempuan memilih untuk hidup tertindas ketimbang mati melawan. Sungguh bukan pilihan yang menguntungkan bagi perempuan katanya.
Mudah bagi perempuan yang memiliki kemauan untuk merombak bahkan menghancur-leburkan belenggu yang membalut dirinya, juga struktur penindasannya sudah sangat jelas mulai dari keturunan, hingga kebiasaan masyarakat dalam negeri ini, jika tak ada rasa suci yang mengikat yaitu kecintaan terhadap orang yang melahirkan saya, dan telah mencintai saya dengan tulusnya.Â
Maka saya akan menjadi perempuan yang memberontak nasib. Namun, setiap masa hanya dapat memberi senyum tulus, dicintai dalam balutan adat yang tak bisa digugat, yang memainkan peran sebagai pelindung tapi sebenarnya melukai hati perempuan.Â
Setelah itu saya merasa  tak pantas menuruti niat dalam hati untuk melangkah maju seperti yang saya dambakan.  Sebab, ini hanya akan mematahkan hati keduanya sebagai seorang yang meyakini adat dengan mendiskriminasi perempuan.
Semua orang meneriakan emansipasi dari penjuru indonesia bahkan dunia, namun saya tak merasakan makna emansipasi perempuan itu sendiri. Mungkin kemerdekaan individu bagi sebagian perempuan ialah ketika ia bebas melakukan sesuatu tanpa intervensi orang lain, atau kebebasan individu perempuan diukur ketika ia bebas keluar rumah hingga larut malam, bebas menuruti kemauan hati, juga bebas mengatur dirinya sendiri alias egoisme dan cenderung menutup diri dari lingkungan sekitar.
Tidak, tidak demikian! Namun yang terpenting bagi saya memaknai emansipasi ialah langkah atau peluang untuk menjadikan perempuan lebih maju, mandiri, memiliki semangat juang, menciptakan kesetaraan, dan berperan dalam ranah domestik maupun publik tanpa fiksasi, Â selama mereka masih berporos kepada yang hanif atau kebenaran, etika dan moral seorang perempuan yang harus dijunjung setinggi mungkin.