Mohon tunggu...
Novita Bayuarti
Novita Bayuarti Mohon Tunggu... Penulis - penyuka dunia sastra, seni dan budaya

penyuka dunia sastra, seni dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Itu Karena Aku Cinta Jogja

23 Oktober 2011   14:12 Diperbarui: 20 Januari 2023   13:33 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oktober memang selalu menjadi bulan yang istimewa bagi kota yang bernama lengkap Daerah Istimewa Yogyakarta ini. 7 Oktober, Kota Jogja genap berusia 255 tahun. Seperti tak pernah absen, setiap tahunnya berbagai kegiatan seni dan budaya digelar sepanjang bulan ini guna memperingati HUT Kota Yogyakarta. Dan untuk tahun ini agaknya lebih istimewa karena Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat juga menggelar Pawiwahan Ageng atau Pernikahan Agung Putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X. Gempita kemeriahan ulang tahun Jogja ditutup dengan pelaksanaan Jogja Java Carnival yang mendapat perhatian dan sambutan luarbiasa dari masyarkat Jogja. 

Jogja memang istimewa. Banyak cerita yang saya dapat dari teman-teman saya yang notabene bukan orang Jogja, selepasnya mereka belajar ataupun sekedar berkunjung ke Jogja. Pernah suatu kali ketika saya dalam perjalanan, duduk di sebelah saya seorang teman asal Jakarta, lulusan Sastra Cina Universitas Indonesia dan kini bekerja di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, yang ternyata juga memiliki kesan tersendiri tentang Yogyakarta. Meskipun baru dua kali berkunjung ke Jogja, namun teman saya ini merasa seperti sudah lama mengenal Jogja. Memang begitulah Jogja. Kota ini seolah-olah mempunyai magnet yang membuat mereka ingin kembali dan kembali lagi ke Jogja. Ya, pesona Jogja memang selalu mampu memberikan cerita dan kenangan tersendiri yang akan membuat kita rindu akan kota ini.

Banyak yang kemudian kami obrolkan seputar Jogja. Hingga sampailah kami pada topik yang sampai detik ini masih menjadi topik yang paling sensitif bagi masyarakat Jogja, yakni tentang RUU Keistimewaan DIY. Isu yang paling krusial adalah mengenai mekanisne penentuan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Apakah melalui penetapan atau pemilihan. Teman saya serta merta bertanya pendapat saya mengenai hal tersebut. Mendengar saya berceletuk, "sebenernya setiap warga Jogja berhak kok memimpin DIY," teman saya terkejut. Dengan ekspresi wajah terheran-heran, ia bermentar, "baru kali ini saya mendengar ada orang Jogja berpendapat seperti itu!" 

Dengan segala hormat saya selaku rakyat biasa kepada Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Hingkang Jumeneng Kaping Sedoso sebagai Raja Ngayogyakarta Hadiningrat, saya mengulangi pernyataan saya guna menyakinkan bahwa teman saya tidak salah dengar : "Setiap warga Jogja yang jujur, bersih, mampu dan tidak punya kepentingan lain selain membuat Jogja lebih baik dalam segala bidang, berhak memimpin DIY." Hanya saja orang seperti ini amat sangat sulit dicari. Yang awalnya baik pun bisa berubah menjadi tidak baik ketika sudah mengenyam nikmatnya kursi kekuasaan. "Lupa" adalah penyakit kronis yang biasanya menghinggapi mereka-mereka yang tengah duduk di tampuk kekuasaan. Hal inilah yang kemungkinan memunculkan skeptisme warga Jogja terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah.

Selama ini masyarakat Jogja sudah merasa ayem tentrem (nyaman tentram) dibawah kepemimpinan Sri Sultan HB X, kenapa harus diusik-usik? Mungkin pendapat itu ada benarnya, tapi akan sampai kapan? Kedudukan Sri Sultan HB X sebagai Raja di Kraton Yogya hanya akan berakhir ketika beliau mangkat (wafat). Lalu bagaimana dengan posisi Kepala Daerah Propinsi DIY? Apakah dengan demikian Sultan akan menjadi Gubernur seumur hidup? Jika tidak, mekanisme seperti apa yang akan diberlakukan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi orang nomor satu dan nomor dua di Yogyakarta? Hal-hal seperti ini kerap menjadi pertanyaan saya. 

Masa jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY yang berakhir 9 Oktober lalu pun telah memasuki perpanjangan masa jabatan kedua hingga tahun 2012 berkaitan dengan molornya pembahasan RUU Keistimewaan DIY. Saya sendiri sudah membaca isi draft RUU Keistimewaan DIY. Jika memang poin-poin dalam draft RUUK DIY yang juga dimuat di Tempointeraktif.com tertanggal 14 Desember 2010 itu benar adanya, saya rasa sudah cukup mengakomodir "Keistimewaan Yogyakarta." Sekarang tinggal bagaimana kita bisa dengan bijak menyikapi hal tersebut. Saya percaya bahwa itu semua tidak akan mencoreng atau bahkan mengurangi arti "Keistimewaan Yogyakarta." Tidak ada yang salah dengan perubahan, jika perubahan tersebut bisa membawa kita pada keadaan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun