Â
      Saat matahari tergelincir kembali ke ufuk, ketika riuh orang-orang menyalakan senthir minyak yang kini mulai langka digunakan. Semak rimbun pohon jati menjulang tinggi dan serangga malam bersahutan. Suara kenthongan terdengar jauh dari pos ronda di ujung jalan. kondisi seutuhnya tanah jejak kaki Belanda kini ramai dihuni manusia. Tanah semasa Kerajaan Majapahit yang kini makmur diolahnya.
Sebuah desa kecil di tepi sungai Citanduy yang makmur, dihuni hampir 50 kepala bahkan lebih menyimpan banyak cerita dan misteri. Cerita turun temurun dari kakek nenek buyut semasa jaya. Sekilas cerita di balik nama desa yang menjadi pemisah antara suku sunda dan suku jawa. Dusun Kedungdadap terletak di Desa Rejamulya Kecamatan Kedungreja Kabupaten Cilacap. Tepatnya Cilacap bagian Barat berbatasan dengan Jawa Barat. Dusun ini terletak di Timur Sungai Citanduy yang digunakan sebagai sumber perairan warga sekitar. Sungai Citanduy ini membelah antara provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Dahulu sekitar tahun 1917, sebelum Dusun ini diberikan nama, tanah ini hanyalah sebuah alas atau hutan, pohon-pohon besar di kanan kiri jalan serta banyak terdapat pohon dadap. Akses listrik tidak ada, mereka hanya mengandalkan minyak tanah, botol kaca, dan sumbu. Mereka menyebutnya senthir atau dian. Nama Kedungdadap berasal dari bahasa Jawa "Kedung/ rong" dan dalam Bahasa Indonesia disebut rongga/ lubang yang sangat dalam berada di tepi Sungai Citanduy. Dan "dadap" sendiri merupakan jenis tanaman pagar hidup yang sering dijadikan sebagai peneduh. Pohon ini sering disebut pohon dadap ayam yang berukuran besar yang ada di dekat Kedung, sehingga masyarakat dahulu memberikan nama Kedungdadap atau pohon dadap besar yang ada di tepi Kedung.
Cahaya terik matahari seakan-akan berada di ubun-ubun. Seakan mengisyaratkan untuk berhenti sejenak beraktivitas baik warga ataupun siapa saja. Konon, ada seorang pemuda paruhbaya berhenti berteduh setelah perjalanan panjangnya, ia berteduh di dekat Kedung, tepatnya di bawah pohon dadap. Ia merasakan suasana sejuk, dingin, dan tenteram berada di bawah pohon dadap.
Dan beliau berkata: "besok, di akhir zaman daerah ini akan dinamakan Kedungdadap, aku berteduh di sini sangat sejuk".
Namun sebelum nama Kedungdadap digunakan, nama dusun ini bukanlah Kedungdadap, melainkan Kedung Kamin. Mengapa demikian? Orang dulu mengatakan bahwa pada suatu hari ada seorang pemuda yang jatuh ke dalam Kedung dan meninggal dunia. Pemuda tersebut bernama Kamin. Hingga setelah ia dimakamkan, warga sekitar menyebut dusun tersebut sebagai Kedung Kamin.
Setelah nama Kedung Kamin digunakan, tahun 1973, dusun Kedungdadap mengalami musibah banjir besar karena jebolnya tanggul sebelah Timur Sungai Citanduy. Menenggelamkan dusun Kedung Kamin hingga rumah warga rusak parah. Tempat tanggul jebol tersebut warga dusun memberi nama "bedahan". Karena tempat di mana tanggul penahan air jebol dan mengakibatkan banjir. Setelah peristiwa banjir itu, nama Kedung Kamin tidak lagi digunakan sama seperti dahulu, masyarakat lebih akrab dengan nama Kedungdadap, dan berlangsung hingga saat ini. Kini Kedung Kamin hanya diketahui oleh orang-orang terdahulu, kisah seorang pemuda bernama Kamin yang jatuh ke dalam Kedung di tepi Sungai Citanduy tepatnya di dekat pohon dadap.
Jam berganti hari, hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Jarum jam berputar seakan tak ada lelahnya mengiringi perkembangan dunia yang semakin berjaya. Kehidupan desa di Kedungdadap semakin membaik. Pergantian pemimpin menjadi dampak terbesar pada daerah ini. Semula hutan, kini mulai dibersihkan dan dibuat pemukiman penduduk. Jumlah kepala keluarga semakin tahun bertambah. Rumah-rumah gubuk kian berevolusi menjadi rumah berpagar batu bata. Perekonomian masyarakat Kedungdadap dominan menjadi petani dan penderes nira kelapa. Dari itu mereka mampu memperbaiki ekonomi keluarga. Hingga kini, kemajuan Kedungdadap semakin membaik, salah satunya sumber daya manusianya. Banyak dari mereka menempuh pendidikan tinggi, memahami program keluarga berencana, dan pekerjaan yang stabil.
Novita Trinanti, lahir di Cilacap, 29 November 2000. Mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Ia bisa dihubungi melalui Instagram: novitatrinantii.Â
*) Cerita Rakyat "Kedung Kamin" berasal dari Dusun Kedungdadap RT 06 RW 08 Desa Rejamulya, Kecamatan Kedungreja, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.