Tulisan ini akan menganalisis terkait devaluasi mata uang Tiongkok yaitu yuan serta kinerja ekspor Negara Tiongkok tahun 2015-2016. Pada tahun tersebut Tiongkok menjadi salah satu negara yang mengalami penurunan dalam masalah perekonomiannya. Maka untuk itu, Tiongkok bertindak untuk melakukan devaluasi yuan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis di sini menggunakan kerrangka teori liberalisme dalam hubungan internasional. Penulis akan berusaha menjelaskan terkait keterkaitannya teori neo-liberalisme hubungan internasional dengan adanya devaluasi yuan dan kinerja ekspor Tiongkok. Hal ini di buktikannya dengan adanya asumsi-asumsi mengenai teori neo-liberalisme yang sangat terkait dengan studi kasus yang saya ambil. Tulisan ini kemudian terbagi menjadi tiga bagian yaitu menjelaskan latar belakang atau permasalahan yang terjadi dalam kasus devaluasi yuan dan ekspor Tiongkok, penjelasan mengenai kerangka teoritik yang menggunakan teori neo-liberalisme, dan yang terakhir adalah kesimpulan.
Dalam konteks isu perekonomian dunia merupakan isu penting dalam lingkup isu hubungan internasional. Selama ini, ekonomi menjadi ruang negosiasi antar negara dengan tujuan menjalin kerja sama untuk memenuhi kebutuhan mereka. Selanjutnya perekonomian dapat menjadi tolak ukur suatu negara berupa kemampuan suatu negara untuk mencapai kemakmuran. Namun, pertumbuhan ekonomi suatu negara pasti akan mengalami pasang surut, seperti halnya dengan China. China adalah negara terpadat di dunia, dengan sekitar 1,3 miliar orang tinggal di China. Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa China berhasil masuk ke salah satu negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi China dipengaruhi oleh banyak aspek, terutama oleh perubahan pertumbuhan ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak selalu meningkat setiap tahunnya. Tentu saja China juga salah satu Negara dengan mengalami perekonomian China pasang surut.
Pertumbuhan ekonomi China bersifat dinamis, dan China mengalami proses tersebut karena berbagai sebab, terutama kendala yang dihadapi oleh faktor perkembangan ekonomi global. Krisis global ini dimulai di Amerika Serikat dan kemudian menyebar ke Eropa. Maka, hal ini menyebabkan terjadinya pasar saham runtuh, lembaga keuangan runtuh dan ekonomi global jatuh ke dalam resesi. Baru-baru ini, ekonomi dunia diguncang oleh kebijakan Bank Rakyat China, yang secara tak terduga dan sengaja mendevaluasikan (devaluasi) mata uangnya sebesar 2,83% hanya dalam dua hari. Devaluasi dari 6,21 yuan atau dolar pada 10 Agustus 2015 menjadi 6,39 yuan atau dolar pada penutupan 12 Agustus 2015. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2015-2016, terjadilah ekonomi Tiongkok mengalami perlambatan dan pendapatan domestic bruto dari Tiongkok terus menurun.
Melihat perlambatan pertumbuhan ekonomi China, akhirnya China memutuskan mengambil kebijakan mendevaluasi mata uangnya yaitu yuan. Devaluasi adalah ketika pemerintah mendevaluasi mata uang satu negara terhadap mata uang negara lain yang menganut sistem moneter dengan suku bunga tetap. China adalah negara dengan sistem nilai tukar tetap, artinya nilai mata uang China yaitu yuan, terkait dengan nilai mata uang mitra dagangnya, dolar. Devaluasi ini merupakan akibat dari kebijakan moneter yang menetapkan patokan nilai tukar mata uang asing. Kebijakan devaluasi ini bertujuan untuk memperbaiki situasi ekonomi suatu negara yang memberikan potensi untuk mendongkrak ekspor karena barang lebih murah untuk dijual ke luar negeri dalam mata uang asing dari pada dalam mata uang domestik yang terdevaluasi. Dengan begitu, permintaan dari luar negeri juga akan meningkat.
Seperti halnya devaluasi yuan China, langkah yang diambil China saat ini ditujukan untuk meningkatkan kinerja ekspor negara tersebut. Devaluasi yuan membuat harga ekspor China lebih kompetitif di pasar dunia. Para eksportir China di seluruh dunia hanya menghasilkan sedikit uang, berharap menggunakan kebijakan ini untuk meningkatkan penjualan produk mereka. Di sisi lain, kebijakan devaluasi RMB China memiliki dua tujuan. Pertama, untuk mendorong eksportir China agar ekspornya lebih kompetitif di pasar dan menjaga serta mempertahankan aliran modal yang dapat melumpuhkan perekonomian negara. Kedua, tujuan internasionalisasinya lebih berkaitan dengan tujuan politik China untuk mengintegrasikan pasar internasional melalui penggabungan renminbi dengan mata uang China.
Tujuan devaluasi RMB adalah untuk membuat yuan lebih kuat dalam perdagangan internasional. SDR IMF merupakan aset cadangan devisa yang dibentuk oleh IMF pada tahun 1969. Fungsinya sendiri dapat meningkatkan cadangan devisa negara-negara anggota IMF. Jika mata uang suatu negara masuk dalam Special Drawing Rights IMF, berarti mata uang negara tersebut menguat dalam perdagangan internasional karena digunakan dalam transaksi impor dan ekspor. Pada 1 Oktober 2016, ia bergabung dengan keranjang SDR IMF, yaitu mata uang yuan dari Tiongkok. Salah satu dari sekian banyak pandangan negatif yang ditimbulkan oleh devaluasi yuan sebesar 2% untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sektor ekspornya adalah anggapan yang dikemukakan masyarakat internasional bahwa China justru akan membuka perekonomian negaranya dengan mendevaluasi yuan juga dapat meliberalisasikan ekonomi negaranya. Karena tidak mungkin mata uang terdevaluasi hanya 2% sambil meningkatkan ekspor. Maka untuk itu, penulis tertarik untuk menganalis terkait kasus ini mengingat pula Tiongkok merupakan komunis dengan sistem pemerintahan sosialis.
Analisis Teori Neo-Liberalisme
Dalam lingkup hubungan internasional sudah pasti meliputi berbagai aspek kegiatan antar negara, salah satunya ekspor-impor dalam konteks perdagangan internasional. Terlibatnya suatu negara dengan negara lain dalam melakukan perdagangan internasional, tentunya masing-masing negara memiliki yang namanya kepentingan. Seperti dasar pemikiran dari teori neo-liberalisme yang menekankan bahwa negara harus diperlakukan sebagai entitas kesatuan dan diasumsikan membuat sebuah keputusan berdasarkan prioritas self-interested. Namun, neo-liberal juga tetap memperhatikan hubungan antar manusia untuk mencapai kebebasan, perdamaian, kesejahteraan dan keadilan. Mengenai kasus devaluasi yuan dan ekspor China hal hal ini berkaitan dengan salah satu teori hubungan internasional yaitu teori neo-liberalisme. Dimana, pandangan neo-liberalisme terhadap free trade yaitu memperoleh keuntungan ekonomi semaksimal mungkin dengan pengeluaran biaya seminim mungkin. Jika dalam studi kasus tersebut dapat dilihat juga mengenai devaluasi yuan yang hanya sebesar 2% untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya di sector ekspornya, pada dasarnya devaluasi yuan yang dikeluarkan oleh Tiongkok walaupun minim mominalnya namun Tiongkok akan memperoleh suatu keunutngan yang besar.
Teori neo-liberalisme yang berkembang pada decade 1970-an meletakan dasar sistematik atau saintifik. Dimana neo-liberalisme dalam menyangkut peringkat analisis. Pertama, bahwa neo-liberalisme berada pada peringkat global dengan melihat pada sistem global. Kedua,neo-liberal bertumpu pada metode saintifik yang mengutamakan presisi, validitas dan regulitas. Ketiga, neo-liberalisme meyakini adanya pluralism aktor hubungan internasional yang mencakup Negara, birokrasi, organisasi pemerintah internasional, organisasi non-pemerintah internasional, kelompok-kelompok anti kepentingan, korporasi, transnasional, dan individu yang berdampak transnasional yang membawa berbagai isu yang saling tumpeng tindih.
Menurut Neo-liberalisme dalam complex interdependence yang mengatakan bahwa sebuah Organisasi Internasional yang serba saling bergantung, dimana sebuah negara dan aktor saling bergantung satu sama lain, hal ini berkaitan dengan Tiongkok dan OI yang saling ketergantungan, dengan Tiongkok yang masuk ke dalam SDR IMF yang nantinya IMF dapat mengontrol monoternya negara China. Kedua di kenalnya dengan istilah spillover effect yang meluas kemana-mana yang nantinya akan berdampak ke berbagai hal. Dengan adanya devaluasi yuan oleh Tiongkok membuat dampak yang yang cukup signifan yang terjadi pada negara lain. Salah satunya Negara Indonesia, Indonesia sangat was-was pada saat itu juga mendengar isu bahwa China akan mendevaluasi mata uangnya. Di karenakan dapat memberikan dampak negative bagi perekonomian Indonesia. Oleh karena itu Indonesia berupaya untuk begaimana Indonesia dapat mengurangi ketergantungannya terhadap China terutama dalam konteks perdagangan. Di sisi lain, Tiongkok yang merupakan negara dengan menganut sistem kapitalis, hal ini sangat berhubungan dengan perspektif neo-liberalisme yang menyatakan bahwa dibebaskannya dari peraturan dan tenaga kerja yang semakin diatur, serta dipaksa untuk menerima upah dan kondisi kerja yang menurun.
KesimpulanÂ