Di tengah lelah dan kantuk yang dia rasakan, wanita paruh baya itu masih tetap bersemangat untuk larut dalam aktivitasnya. Dia terlihat duduk sambil menunduk di atas meja panjang, mengerjakan tumpukan berkas yang entah kapan selesainya. Sementara, waktu sudah menunjukkan pukul 01.15 Wib, disaat orang-orang tengah merebahkan raganya, beristirahat. Namun, dia masih tetap terlihat nyaman dan tenang menekuni aktivitasnya tersebut.
Terkadang dia juga terlihat berdiri dan mondar-mandir diantara rak panjang yang didesain apik, berisikan obat-obatan itu.
Seakan tidak puas, wanita itu berjalan mengitari beberapa blok ruangan yang identik dengan warna putih mencolok.
Raut wajah berseri juga tergambar pada wanita itu, karena sedang merasa puas dan bahagia melihat orang-orang yang berada dalam kamar tertidur dengan pulas, seakan tidak merasakan sakit.
Sebenarnya siapa wanita itu dan sedang berada dimana dia???
Novita Dwi Widiasari, itulah namanya. Wanita paruh baya yang saat ini berdiri di garda terdepan, berjuang menyelamatkan nyawa para pasien. Dengan semangat membara, dia memberikan sumbangsih tenaga, keterampilan dan ilmu untuk membantu bangsanya mencapai kesehatan yang optimal.
Wanita yang usianya kini hampir menginjak tiga dasawarsa merupakan salah satu diantara lebih kurang 500 ribu orang perawat Indonesia yang saat ini tengah bahu-membahu merawat sekitar enam ribuan orang yang sudah terinfeksi positif virus corona di Indonesia.
Sebenarnya ada terbesit keraguan dan ketakutan pada dirinya untuk merawat pasien Covid-19, yaitu membayangkan dua anaknya yang masih kecil-kecil, yang sangat membutuhkan dirinya, keluarga besarnya di kampung dan suami tercintanya, jika tiba-tiba dia ikut terpapar virus yang berbahaya dan mematikan tersebut.
Namun, rasa kemanusian dan kepercayaan orang yang dikasihi serta prosedur tindakan dari tempat dia bekerja (Semen Padang Hospital) terus meyakinkan dirinya agar selalu berfikir positif, bahwa mereka itu adalah pasien-pasien yang sangat membutuhkan bantuannya agar bisa kembali hidup sehat, serta pulih dari penyakitnya.
Lalu dia tercenung, mengangguk-anggukan kepalanya sambil tersenyum manis. Mengingat betapa bahagianya dia dapat bekerja sesuai dengan keinginannya, yang merupakan cita-citanya dari kecil.
Walaupun beberapa tahun silam, dia sempat hampir putus asa. Ketika bapak dan ibunya menolak keinginannya, untuk melanjutkan sekolah di salah satu Univeritas Negeri Terbaik di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat (Univeritas Andalas). Di samping tidak punya biaya karena profesi orang tua yang hanya sebagai petani membuat hidupnya penuh dengan keterbatasan, di tambah lagi dengan desanya (Padusunan), salah satu desa terpencil di Provinsi Sumatera Barat itu menganut budaya patriarki yang begitu kental. Anak laki-laki selalu diprioritaskan daripada perempuan. Sehingga kebanyakan dari teman-teman perempuannya tidak bersekolah, malah disuruh cepat menikah di usia muda. Bagi masyarakat di desa itu, menjadi aib keluarga apabila ada anak perempuan yang berumur sudah belasan tahun tapi belum menikah.