Kisah ini bermula sejak siswa mulai mencoba mencari emosiku. Setelah dua tahun bertugas, setiap menjelang ujian nasional (UN), aku mulai selalu ada masalah dengan siswa, hal ini dikarenakan rasa takut mereka jika tidak lulus. Di semester kedua, sekolah tempatku bertugas mulai mengadakan jam tambahan untuk pesiapan ujian nasional, sejak tahun kedua aku bertugas, siswa mulai membuat ulah, mencari emosiku. Mulai dari ketidakhadiran sekitar 60% siswa saat jam tambahan denganku, ironisnya siswa kelasku juga ikut-ikutan, berpakaian yang tidak rapi, melawan kalau ditegur, dan banyak pelanggaran lainnya.
Aku menanggapi hal ini dengan santai, karena aku sudah tahu alasan mereka yang begitu. Mereka pada dasarnya hanya terpengaruh oleh ulah salah satu oknum guru yang menceritakan tentang perihal kejadian ujian nasional di sekolah kami. Singkat cerita dia adalah pahlawan UN. Oknum guru tersebut memang sentimen terhadapku. Tapi sikapnya tidak pernah aku ambil pusing, dikarenakan dia adalah guru yang pemabuk, dan pernah berbuat asusila dengan siswa, hinggasempat membuatku merasa jijik dengan mereka. Sampai-sampai siswa yang bersangkutan pernah ku minta keluar dari kelas saat belajar denganku.
Titik lemah siswaku adalah nilai, mereka pun takut tidak lulus. Walaupun oknum guru tadi perilakunya tidak mencerminkan seorang pendidik, tapi siswa tetap patuh dengannya, apalgi dia mengajar di kelas XII, dan pengajar salah satu mata pelajaran yg di UN kan. Sebagai wali kelas, aku selalu berusaha supaya dia tidak buat masalah dengan siswa di kelasku. Aku berusaha meyakinkan siswa, bahwa mereka pasti bisa kalu mereka berusaha, ilmu yang didapat semasa sekolah, bukan hanya untuk selembar ijazah, tapi bekal hidup mereka di masa datang, minimal setelah mereka tamat. Saat mereka tanya tentang kebenaran kabar tentang peranku di UN, aku hanya bilang “maaf, ada rahasia kerja yang tidak bisa untuk ibu ceritakan”. Selama ini kami tiak pernah bermasalah, yang kalian buat sekarang sama halnya dengan kalian menuduh teman baik kalian sndiri tanpa klarifikasi terlebih dahulu.
Hingga pada suatu hari, emosiku tidak terkendali, ada seorang siswa bernama Alex (bukan nama sebenarnya) yang kubantingkan HP nya gara-gara tidak mengindahkan peringatanku. Ternyata HP nya rusak total, Alex marah-marah dengan ku sambil memperlihatkan HP nya, tapi aku biarkan saja sambil melanjutkan pelajaran di kelas. Lonceng pulang telah memanggil, dan akhirnya aku pulang.
Hari itu jadwalku untuk pulang ke Palembang, bertemu dengan ibuku. Hati ini ragu untuk pulang, dalam hati ku berkata, jika memang masalah di sekolah tadi memang harus aku hadapi, jangan izinkan aku untuk pulang Palembang. Walhasil tidak ada travel lagi, dikarenakan hari itu travelnya sudah berangkat lebih awal dari biasanya. Akhirnya aku istirahat saja di rumah.
Sehabis maghrib, aku kedatangan saudara perempuan Alex. Aku terima kedatangannya, mengingat kami dulu pernah jadi tetangga. Dia menanyakan kejadian itu, kujawab apa adanya. Keesokan harinya ayah dan kakak Alex datang ke sekolah, meminta pertanggungjawabanku. Dalam pertemuan itu, si Ayah bercerita tentang kenakalan anaknya, Alex. Aku sampaikan pada mereka bahwa aku khilaf saat itu, dikarenakan sudah seringnya Alex memancing emosiku. Padahal aku sudah pernah bilang ke siswa lebih dari tiga kali mereka buat ulah denganku, aku pun bisa untuk emosi, dan Alex pun tahu tentang itu. Mudah mereka untuk melihat aku emosi, salah satunya bahasa Palembang keluar dari bibir ini.
Di akhir pembicaraan yang cukup alot, mereka minta aku mengganti HP itu, ironisnya didukung oleh rekan-rekanku yang lain. Untungnya aku masih bisa mengendalikan emosiku, dengan perlahan namun tegas aku bilang “tidak”, karena tidak ada jaminan kalau Alex akan berubah setelah kejadian ini. Sebaiknya kita ambil hikmah dari yang sudah terjadi, mengingat si Alex pun akan menghadapi UN. Saya akui saya khilaf, saya hanya bisa meminta maaf, namun begitulah cara saya mendidik. Alhamdulillah semua berakhir dengan damai.
Siangnya ku pulang Palembang dengan hati yang lapang. Sungguh ternyata tidak mudah menjadi seorang guru, tapi aku bangga dengan profesi ini. Akupun bisa seperti sekarang ini jug karena peran guru ku semasa sekolah dulu, yang baru kurasakan setelah terjun di “dunia kehidupan yang sebenarnya”.
“Tulisan ini adalah tugas Diklat Online PPPPTK Matematika”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H