Mohon tunggu...
Novi Saptina
Novi Saptina Mohon Tunggu... Guru - Guru berprestasi di bidang bahasa dan menaruh perhatian pada kajian sosial dan budaya

Penulis adalah guru. Dalam bidang seni, dia juga menulis skenario drama musikal dan anggota paduan suara. Penulis juga sebagai pengurus lingkungan sekolah. Pada jurnalistik, penulis adalah alumni Akademi Pers dan Wartawan dan turut berpartisipasi sebagai kolumnis koran hingga saat ini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama Artikel Utama

Nawangwulan, Mitra Ketahanan Beras

27 Maret 2015   22:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:54 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekarang harga beras naiknya sampai tinggi. Ingatanku melayang pada cerita Dewi Nawangwulan, yang memasak dengan seuntai padi yang diletakkan di kukusan dengan janji tidak boleh dibuka sebelum Dewi Nawangwylan datang. Maka masakan nasi dan selengkapnya akan tersaji di meja makan . Dengan seperti itu padi di lumbung akan hemat sekali dan tidak usah menutu atau menumbuk padi menjadi beras. Namun sebaliknya bila aturan itu dilanggar semua keajaiban tidak pernah terjadi,semua akan jadi biasa kembali. Yaitu mengambil padi dilumbung lalu ditumbuk menjadi beras dan memasak lauk pauknya.

Coba ada Dewi Nawangwulan, aku akan patuh untuk tidak membuka kukusan sampai kapanpun agar dapat menghemat pengeluaran dalam hal pangan dengan beras yang harganya tinggi. Tapi semua itu hanya di negri dongeng. Aku kini hidup di dunia nyata di Indonesia yang sudah merdeka 70 tahun ,yang sekarang negriku sedang mempunyai masalah harga beras yang tinggi ditambah masalah masalah lain yang juga tak kalah penting untuk dipikirkan negriku, seperti keamanan, korupsi, dan lain-lain.

Namun bagiku tingginya harga beras membuat aku sudah pusing. Ketika melihat di televisi ada operasi pasar harga beras dikabarkan turun. Namun pada kenyataannya sampai saat ini tidak ada penurunan harga beras, yang ada hanya naik saja. Ada rencana keluarga untuk mengganti makanan beras dengan yang lain agar terjadi penghematan. Namun rencana itu belum bisa terlaksana. Hanya saya pribadi yang bisa melaksanakannya. Aku bisa makan nasi hanya siang saja, pagi dan malam menggantinya dengan makan umbi umbian,bisa kentang, ubi atau ketela. Namun suami dan anakku tidak bisa mengganti seperti aku itu. Karena kekuatan mereka cowok- cowok lebih membutuhkan karbo dengan wujud nasi daripada aku.

Namun kupikir anak dan suamiku itu mewakili bangsa Indonesia yang tidak pernah bisa mengganti nasi dengan hasil alam yang lain. Maka ya penghematan beras tidak pernah bisa telaksana.

Kemarin Bapak JK juga membuat test tentang konsumsi beras orang Indonesia, dengan cara mengukur seporsi piring itu berapa berasnya. Kalau bisa dideteksi setahun itu konsumsi berasnya berapa, tujuannya yaitu untuk mendeteksi cukup tidaknya ketahanan beras kita. Ternyata per orang dihitung mengkonsumsi 114 kg per tahun per orang.

Ada pula yang mengukur makanan sisa nasi di warung itu rata rata sehari berapa. Berarti setahun beras yang terbuang itu berapa, dan banyak sekali usaha- usaha untuk menggali ketahanan beras sampai seberapa. Namun seberapa banyak usaha itu sepertinya banyak menghiasi wacana. Dan konsumsi beras di Indonesia tetap tinggi. Bagaimana sebetulnya yang harus dilakukan oleh orang- orang Indonesia? Keluhan ketahanan pangan sementara program kuliner terus berkembang merebak dimana- mana.

Bergeser

Jaman memang sudah bergeser. Kata Pak Bud yang memang ahli ekonomi itu memangkeadaan di Indonesia sekarang ini sudah bergeser . Dahulu telur satu saja dibagi- bagi banyak orang . Yah saya dulu mengalami nya bagaimana Ibu saya memasak telur satu harus dicampur dengan daun bawang dicampur sedikit tepung dan jadilah telur yang tebal bisa dibagi- bagi dengan kakak dan adik untuk makan pagi. Bila keadaan seperti itu subordinasi pada alam tidak akan terlalu banyak. Bila seluruh penduduk Indonesia seperti itu.

Namun sekarang semua itu sudah tidak akan terjadi lagi. Kuliner dimana- mana menampilkan paket-paket yang menyuguhkan satu telur, sepotong ayam. Apa semua itu tidak akan menguras kekayaan alam dengan waktu yang relatif singkat? Wah Pak Bud betul juga ya. Padahal sekarang kuliner menjamur, maka berapa beras yang dihabiskan dalam sehari saja? Ternyata bergesernya itu disini. Aku baru menyadarinya memang betul perilaku konsumsi pangan itu sudah bergeser sedemikian jauh. Makan dari sumber daya alam, tidak saja untuk memenuhi kebutuhan makan sehari saja, namun bergeser dalam sebuah wisata kuliner yang akan banyak menambah konsumsi sumber daya alam. Dalam hal ini beras yang sedang ngetop harganya.

Dewi Nawangwulan

Akhirnya dengan sedikit menyerah pasrah pemikiran lain yang lepas rasional muncul,andai saja Dewi Nawangwulan datang ke tempatku maka aku tidak usah repot- repot memikirkan bagaimana memasak. Aku tinggak menurut saja pada Nawangwulan untuk tidak membuka kukusan sebelum dia datang. Nanti ketika dia datang aku sudah dihidangkan nasi beserta lauk pauknya.

Aku menutup jendela tempat aku memandang langit yang tidak ada pelangi tempat tangga para bidadari turun. Tentunya Dewi Nawangwulan juga tidak turun karena tangganya tidak ada.

Aku tutup saja hariku. Hari ini untuk beristirahat, esok pagi kembali menjelang dan bekerja kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun