Eksistensi diri sekarang ini menjadi concern banyak orang/masyarakat luas. kenapa?tidak lain karena perkembangan zaman yang pada akhirnya membuat kita harus beradaptasi  dan menjadikan perhatian kita sangat terpusat pada hal ini, maka saya sebut dengan fenomena. karena seringkali dilakukan (oleh banyak orang) dan dapat kita saksikan sendiri. Eksistensi ini sendiri memiliki arti ‘keberadaan’ menurut KBBI, sedangkan eksistensi diri ini kurang lebih mengartikan keberadaan diri kita atau kalau menurut saya sekarang ini lebih dikenal dengan pengakuan/merasa diakui, terkenal dan keren.
Mari kita runut kenapa hal ini bisa menjadi fenomena, dan apa sajakah yang kerap kali dilakukan untuk menunjang eksistensi diri yang tidak jarang ikut-ikutan atau adopting hal yang sedang tren atau happening tanpa filtering terlebih dahulu dan akhirnya menjadi budaya:
Mengapa ini menjadi fenomena?
Generasi Muda
Fenomena ini terjadi karena banyaknya pelaku dan pelaku tersebut sendiri adalah generasi muda. Generasi muda adalah generasi yang sedang mencari jati diri dan juga butuh pengakuan diri, karena mereka sedang dalam masa transisi menuju dewasa. Tidak heran jika mereka cenderung ingin mencoba semua hal dan juga sangat exited terhadap hal baru. Tidak jarang juga jika mereka sangat mudah mengadopsi budaya luar yang dianggap keren agar tidak ketinggalan zaman, karena semakin keren akan semakin diakui. Generasi muda saat ini adalah generasi millennial/generasi Y dimana tahun kelahirannya dmulai dari 1981 hingga awal tahun 2000an (pewresearch.org). Generasi ini adalah generasi yang sangat narsis. Diketahui dari majalah TIME bahwa generasi ini adalah generasi yang tumbuh ke arah yang buruk, karena tingkat narsistiknya 3 kali lipat lebih besar daripada generasi sebelumnya.
Teknologi ini merupakan penemuan yang memudahkan dan menguntungkan namun tidak jarang juga membuat banyak orang menyukai cara instan ataueffortless. Apakah ini buruk?hmm tergantung opini dan pemikiran masing-masing namun juga tidak jarang mengurangi originality yang ada, cenderung mudah mendapatkan apapun menjadikan kita sangat tergantung dengan teknologi, apa-apa tinggal browsing, jadi tidak jarang bahwa tiru-meniru menjadi hal yang sangat biasa. teknologi ini juga melahirkan media sosial, yaitu media interaksi jarak jauh/interaksi di dunia maya.
Media sosial ini merupakan media untuk berinteraksi tanpa harus bertatap muka, mempermudah komunikasi juga mengenal orang lain tanpa harus bertemu langsung, karena bisa dinilai dari apa yang orang tersebut publish. Walaupun belum tentu apa yang dipublish atau misal apa yang ditulis merepresentasikan karakter orang tersebut. Media sosial juga tidak jarang menjadi ajang promosi diri sekaligus privat diary. Banyak orang yang tidak sekedar ‘curhat’ tapi juga kadang memberikan ‘kode’ lewat media sosial entah kepada orang yang disuka ataupun orang yang tidak disukai, dan mungkin yang paling sering dilakukan ialah selfie, ya dengan berbagai pose atau ekspresi membuat banyak orang yang ingin mempublikasikannya apalagi jika jumlah like atau lovenya banyak, bukan tidak mungkin keesokan harinya ia akan menambah jumlah pose ataupun ekspresinya, karena apa?itu akan membuatnya semakin eksis.
Penerapan ‘Freedom to Learn’
Ahli psikologi terkenal di zaman generasi X yaitu Carl Rogers menyarankan setiap perusahaan untuk meningkatkan kepercayaan diri karyawan mereka yang dimulai sejak dini, dengan menanamkan spontanitas dan kebebasan saat mereka masih berada di sekolah dasar. hal ini membuat generasi muda lebih kritis dan juga memberi perbedaan dengan generasi sebelumnya yang dikenal dengan Freedom to Learn.
Salah satu bukti konkrit adalah ketika generasi baby boomers dan generasi X hanya berdiam diri untuk menunggu promosi sementara generasi millennial mampu melakukan apa saja dengan usaha mereka yang lebih keras lagi agar merasa dihargai ataupun diakui, hal ini dianggap sebagai bentuk narsisme walaupun juga dianggap sebagai bentuk pengembangan diri.