[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Salah seorang warga memperlihatkan kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Kantor Cabang Utama BPJS, Kota Bandung beberapa waktu lalu. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)"][/caption] Kesehatan adalah hak dan investasi, karena itu semua warga negara berhak atas kesehatannya termasuk masyarakat miskin. UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN menyatakan bahwa program jaminan sosial bersifat wajib dan diarahkan untuk mencakup seluruh rakyat (universal coverage) yang akan dicapai secara bertahap agar hak setiap orang atas jaminan sosial sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dapat terwujud. Berdasarkan amanat UUD 1945 pasal 34 ayat 2, bahwa Negara berkewajiban untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan kemanusiaan. Saat ini jumlah penduduk Indonesia yang dicakup dalam jaminan kesehatan meningkat secara signifikan dengan adanya program yang memberikan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dan tidak mampu. Sebelum ada program tersebut proporsi penduduk Indonesia yang dicakup dalam jaminan kesehatan masih sangat rendah, yaitu sebesar 58,6% atau 139,4 juta jiwa. Dengan demikian masih sekitar 41,3% penduduk Indonesia yang belum tercakup dalam jaminan kesehatan. Namun mulai 1 Januari 2014 ini secara bertahap penduduk Indonesia akan masuk menjadi peserta BPJS, dan diharapkan di tahun 2019 nanti seluruh penduduk Indonesia sudah seluruhnya ter-cover dalam program JKN ini. Sistem JKN dengan penyelenggaranya BPJS Kesehatan sudah berjalan memasuki bulan ke-6. Tentunya sudah banyak hal-hal yang menjadi masukan selama 6 bulan ini baik positif maupun negatif. Adanya kritik dari masyarakat (pelanggan) tentunya penting untuk memperbaiki kinerja BPJS baik dari sisi kepesertaan maupun pelayanan kesehatan terhadap peserta. Ada hal-hal yang menurut saya perlu mendapatkan perhatian terutama dalam hal pelayanan, adanya keluhan dari peserta BPJS yang dulunya merupakan peserta askes social dalam hal pengobatan rujukan di RS karena penyakit kronis degeneratif yang dideritanya. Sebagai contoh, pasien DM yang sudah rutin mendapat rujukan dan berobat di RS. Semasa masih peserta ASKES dulu dia tidak perlu bolak-balik melakukan pemeriksaan laboratorium karena semua item pemeriksaan laboratorium bisa dilakukan dalam 1 hari walaupun ada iur biaya. Namun sekarang ini walaupun tidak dikenakan iur biaya tetapi dia harus bolak- balik ke RS karena dia hanya boleh periksa 2-3 item saja per harinya, sedangkan sisanya dilakukan esoknya dan esoknya tergantung berapa banyak item laboratorium yang harus diperiksa. Berapa banyak biaya untuk transportasi ke RS dan waktu yang harus disediakan hanya untuk melakukan pemeriksaan laboratorium? Ini hanya salah satu contoh saja. Apakah memang seperti ini pelayanan yang ingin diberikan di era BPJS ini ataukah ada solusi untuk menyikapinya? Sebenarnya jika kita lihat lagi daftar 144 penyakit yang harus tuntas dilayani di pelayanan primer maka penyakit DM merupakan salah satu penyakit yang termasuk di dalamnya dan sebenarnya bisa ditangani di PPK 1 (pelayanan primer). Dan ada beberapa penyakit kronik degeneratif lainnya. Namun yang menjadi kendala selama ini adalah adanya ketentuan bahwa pemeriksaan penunjang (laboratorium) di pelayanan primer terbatas tidak untuk semua jenis pemeriksaan, hanya pemeriksaan laboratorium dasar saja yang ditanggung. Sehingga selama ini peserta ASKES (saat ini peserta BPJS) yang harus diperiksa kimia darahnya misalnya, harus mengeluarkan biaya karena tidak termasuk dalam item pemeriksaan penunjang yang ditanggung di pelayanan primer. Karena itu mungkin ini adalah salah satu penyebab tingginya angka rujukan ke RS, karena di RS peserta yang membutuhkan pemeriksaan penunjang tidak dikenakan biaya, sehingga mereka memilih meminta untuk diberi rujukan. Sepertinya BPJS harus sigap dan bijak menanggapi keluhan seperti ini. Apakah tidak bisa diberikan solusi yang pada akhirnya akan memudahkan peserta yang akan berobat? Seandainya memang pelayanan primer harus bisa menangani dengan tuntas 144 penyakit yang di dalamnya termasuk ada penyakit-penyakit kronik degeneratif yang tata laksananya memerlukan pemeriksaan penunjang seperti di RS lantas bagaimana solusinya? Apakah setiap pelayanan primer wajib juga menyediakan fasilitas tersebut dan bagaimana juga dengan pembayarannya? Apakah pembayarannya dilakukan dengan klaim di luar kapitasi kepada BPJS ataukah mungkin dari BPJS yang memfasilitasi kerja sama antara pelayanan primer dengan laboratorium yang ditunjuk oleh BPJS sebagai provider BPJS dalam hal penyediaan jasa pemeriksaan laboratorium yang tidak disediakan di PPK 1 (pelayanan primer) untuk memudahkan peserta mendapatkan pelayanan kesehatan yang memuaskan? Tentunya masalah ini harus dipikirkan untuk dijadikan perbaikan pelayanan ke depan, di samping hal ini juga untuk mengurangi angka rujukan ke RS sehingga pelayanan primer pun bisa melaksanakan pemberian pelayanan kesehatan sesuai dengan yang dikehendaki. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H