Jakarta tahun 1991
Siang itu, matahari di atas langit Jakarta, kota Metropolitan masih memancarkan cahaya yang masih teramat panas. Suara bising yang berasal dari knalpot bajaj semakin melengkapi hingar bingarnya pusat kota itu. Klakson kendaraan roda dua maupun roda empat saling bersahutan dikarenakan pengendara sudah kurang kesabaran akan kemacetan hampir di seluruh ruas jalan. Kernet metromini satu dengan yang lainnya bersahut-sahutan mencari, menaikkan dan menurunkan penumpang.
"Bang, depan kiri yah,"seru Nilam sambil berdiri dari tempat duduknya yang tak jauh dari pintu metro mini bernomor 80 jurusan Kalideres-Jembatan Lima.
"Iya Mbak, siap-siap turun, kaki kiri dulu yah,"sahut sang kernet metromini sembari mengetuk-ngetuk kaca pintu dengan uang recehan, pertanda buat sopir agar berhenti di tempat yang dimaksud.
Nilam bergegas turun dari metromini yang setiap berangkat ditumpanginya itu menuju kampus tempat ia mengikuti perkuliahan. Letak kampusnya ada di seberang jalan. Dengan langkah agak terburu-buru Nilam menyeberang jalan dan segera memasuki pelataran kampus menuju ruang perkuliahan yang hanya terhalang satu ruangan saja dari ruang resepsionis.
"Hai..Nilam, aku kira dirimu tak datang hari ini. Biasanya dirimu datang lebih awal, sekarang sudah terlewat hampir lima belas menit. Untung saja Pak Yul belum datang nih, kamu selamat tidak kena tegurannya," celoteh Meylan sahabatnya yang sesekali melihat jam tangannya tanpa menghiraukan Nilam yang belum sempat duduk.
"Iya nih, tadi aku mengantar keponakanku dulu ke sekolah ngaji, biasa lah kalau mau berangkat itu ada-ada saja permintaannya," tutur Nilam sembari mengeluarkan buku seukuran kertas A5 dari dalam tasnya.
"Oh,,keponakanmu yang bernama Sheryl itu?" tanya Meylan.
"Iya, betul, Sheryl itu nggak mau diantar ke sekolah ngaji kalau bukan sama aku," jawab Nilam seraya membenahi tempat duduknya.
"Oh iya Mey, Sofie kemana? Belum kelihatan hadir dia,"tanya Nilam.
"Sofie, hari ini nggak berangkat, izin mengantar orang tuanya berobat,"jawab Meylan.