Kekerasan terhadap anak  salah satu bentuk kekerasan yang paling menyayat hati dan mengkhawatirkan dalam masyarakat. Kejadian seperti ini tidak hanya merusak fisik namun juga merusak psikologis anak, yang efeknya mampu berlangsung panjang hingga mereka dewasa. Penganiayaan terhadap anak dapat terjadi pada banyak tempat, mulai dari tempat tinggal, sekolah, sampai lingkungan sosial lainnya. Fenomena ini menuntut respons cepat serta tegas dari seluruh elemen masyarakat dan penegakan aturan yang adil dan konsisten.
Kekerasan terhadap anak bisa berwujud fisik, emosional, seksual, dan pengabaian. Kekerasan fisik meliputi pemukulan, menampar, dan bentuk kekerasan lain yang menimbulkan luka fisik. Kekerasan emosional, seperti menghina dan menakut-nakuti, tak jarang lebih sulit terdeteksi namun dampaknya sangat destruktif terhadap perkembangan emosi dan mental anak. Kekerasan seksual mencakup segala bentuk sikap seksual yang melibatkan anak, sedangkan pengabaian artinya kegagalan dalam memenuhi kebutuhan dasar anak, seperti nutrisi, pendidikan, dan perawatan kesehatan.
Dampak dari kekerasan itu sangat luas, termasuk gangguan perkembangan, problem kesehatan mental seperti depresi serta kecemasan, kesulitan dalam pembelajaran, dan masalah perilaku yang mampu berlanjut hingga dewasa. Selain itu, anak yang mengalami kekerasan sering kali memiliki kesulitan dalam membentuk dan memelihara hubungan sosial yang sehat.
Belakangan ini telah hangat dibicarakan terkait kasus kekerasan anak yang terjadi pada hari Kamis 28 Maret 2024, sekitar pukul 04.18 dini hari menjelang imsak. Kasus ini dilakukan terhadap anak selebgram Hifdzan Silmi Nur Emyaghnia atau akrab disapa Aghnia Punjabi dan Reunikky Abidharma yang bernama Jana Amira priyanka atau akrab disapa Cana. Kasus kekerasan yang dilakukan pelaku termuat dalam salah satu bukti CCTV kamarnya, disitu pelaku terekam sedang melakukan kekerasan pada korban di atas tempat tidurnya. Sehingga menghasilkan memar-memar ditubuh korban
Pembahasan di atas sesuai dengan teori Kontitusi Tertulis (Written Constitution) termuat dalam Undang-Undang. Di Indonesia, Konstitusi menjadi landasan hukum tata negara, mengamatkan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), dengan begitu tetap saja banyak kasus-kasus yang masih terjadi di Indonesia. Kasus di atas ialah salah satu contoh pelanggaran Hak Asasi Perlindungan Anak. Hukum yang dikenakan pelaku ialah Pasal 80 Ayat 2 UU RI No. 35 Tahun 2014 Subsider UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang menaungi hak perlindungan anak dan tindakan hukum yang bisa diambil untuk melindungi anak dari kekerasan dan penganiayaan. Hukum ini juga menetapkan sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap anak, yang bertujuan untuk memberikan efek jera dan memulihkan hak-hak anak.
Termuat di dalam UUD 1945 Pasal 28 "Setiap anak mempunyai hak kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi", hal ini juga diperkuat dengan keberadaan peraturan perundang-undangan lain, seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Penegakkan Hak Asasi Manusia.Â
Jan Martenson berpendapat HAM sebagai sesuatu yang melekat pada diri manusia. Sehingga tanpa adanya HAM manusia tidak dapat hidup.
Sedangkan John Locke berpendapat tentang HAM ialah hak-hak yang dimiliki setiap individu dan tidak dapat dicabut oleh pihak manapun. Macam-macam hak tersebut ialah hak atas kehidupan, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan hak atas properti pribadi. Sesuai dengan kasus kekerasan di atas yang cocok dengan macam-macam hak menurut John Locke adalah hak atas kehidupan yang mana itu merupakan hak dasar yang dimiliki setiap individu. Locke meyakini bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dengan bebas, aman, dan terlindungi dari ancaman kekerasan. Locke berpendapat bahwa hak ini tidak boleh dicabut oleh siapapun, termasuk oleh pemerintahan, karena pemerintah berkewajiban melindungi dan menjaga keselamatan rakyatnya.Â
Kekerasan terhadap anak sangat disayangkan. Karena, anak memiliki peran yang cukup penting dalam proses pembangunan. Anak adalah generasi muda masa depan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan negara. Kekerasan terhadap anak merupakan sebuah pelanggaran serius terhadap hak asasi perlindungan anak yang harus ditangani dengan serius dan responsif oleh semua elemen masyarakat. Kita semua harus berperan aktif dalam mencegah dan merespons setiap bentuk kekerasan terhadap anak untuk memastikan bahwa generasi masa depan dapat berkembang secara optimal dan berkontribusi secara penuh dalam masyarakat. Perlindungan hak asasi anak bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat. Penerapan hukum yang tegas dan adil sangat penting untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan memulihkan hak-hak anak yang teraniaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H