Dewasa ini depresi dan topik kesehatan mental lainnya mulai santer dibicarakan. Setiap tahunnya, tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day). Pun di Indonesia, telah banyak golongan masyarakat yang semakin peduli dengan edukasi kesehatan mental melalui akun-akun media sosial dan kampanye-kampanye lainnya.
Edukasi tentang pentingnya kesehatan mental ini juga dilakukan salah satunya dengan jargon "it's okay to not be okay" atau "tak apa meskipun sedang tidak baik-baik saja". Terlihat adanya pergeseran pola pikir bahwa kita tak lagi wajib menjawab pertanyaan "hai, apa kabar?" dengan jawaban "baik-baik saja". Jawaban "tidak baik-baik saja" sudah mulai dianggap normal di kalangan masyarakat.
Perkembangan media sosial pun merupakan salah satu yang menjembatani pergeseran ini. Media sosial ternyata menjadi salah satu wadah bagi para penggunanya untuk "menumpahkan" isi hati dan kegalauan hidup dalam status dan unggahan foto serta tulisan. Eksistensi kesehatan mental pun semakin terangkat dan semakin banyak dipahami oleh khalayak ramai. Tak lagi malu-malu mengakui keadaan yang tidak membuat kita bahagia.
Namun, tak sedikit juga yang masih menganggap bahwa isu ini tak seharusnya dibicarakan atau diperlihatkan. Tak sedikit yang menganggap stres, depresi, dan gangguan kesehatan mental lainnya sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan, baik dari sisi yang mengalaminya maupun dari sisi yang menerima informasi. Tidak jarang, hal ini dapat memperparah kesehatan mental dan bisa jadi mengarahkan pada tindakan-tindakan yang membahayakan diri sendiri, seperti tindakan menyakiti diri sendiri hingga aksi bunuh diri.
Lantas mengapa masih banyak yang menyembunyikan perasaan depresi?Â
Tabu dalam masyarakat tentang depresi
Tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak yang memandang rendah permasalahan depresi. Alih-alih menyetarakannya dengan kesehatan fisik, kesehatan mental sering kali dianggap penyakit yang tidak pernah ada. Depresi seringkali dinafikan dan ditolak keberadaannya. Alhasil, seseorang yang merasa depresi enggan membicarakannya dengan orang lain atau sekedar mencari pertolongan.
Belum lagi, depresi sering dikaitkan dengan masalah kejiwaan yang buruk. Stigma ini turut melemahkan pentingnya penyembuhan depresi bagi penderitanya. Ketakutan akan menjadi bahan pembicaraan dan mendapatkan label tertentu dalam masyarakat kerap kali menghantui.Â
Kurangnya rasa empati dari lingkungan sosial
Faktor lainnya selain dari lingkungan masyarakat adalah perbedaan karakter individu dalam memandang depresi. Bisa jadi seorang yang mengalami depresi telah mengungkapkan permasalahannya dan mencoba mencari pertolongan lewat sesi curhat. Namun sayangnya, tidak semua individu dapat berempati secara tepat pada permasalahan seseorang. Sesederhana menjawab dengan "ah, masa gitu aja depresi, sih?", atau "belum saatnya buat kamu depresi", atau juga "ga usah terlalu dipikirkan, masih banyak orang di luar sana yang mempunyai masalah lebih dari kamu".