Salah satu film animasi yang menjadi favorit saya adalah Wreck it Ralph! Film tersebut bercerita tentang seorang tokoh bernama Ralph yang sangat ingin menjadi orang baik. Ia begitu membenci fakta bahwa ia adalah orang jahat yang suka merusak. Setiap kali ia selesai membuat kerusakan, ia selalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang mengapa ia melakukannya. Suatu ketika, ia bertemu dengan teman-temannya yang lain, yang merasa bangga karena bisa membuat onar dan melakukan kesalahan. Sementara itu, Ralph tetap bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang apa yang perlu ia lakukan agar bisa menjadi orang baik. Sekuat tenaga, ia berusaha menjadi orang baik. Dalam prosesnya, ia pernah melakukan kesalahan-kesalahan sehingga membuatnya kecewa dan merasa gagal dalam usaha menjadi orang baik.
Pernahkah kamu merasa seperti Ralph yang kecewa pada diri sendiri karena merasa gagal menjadi orang baik? Saya pernah.
Banyak orang mengatakan bahwa memulai suatu kebaikan adalah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Pada kasus saya, kesulitan itu terasa misalnya ketika saya memulai untuk bangun lebih pagi setelah sebelumnya selalu terlambat, memulai untuk berkomitmen pada diri sendiri setelah sebelumnya selalu menjalani keseharian dengan sesuka hati, memulai untuk bertanggungjawab setelah sebelumnya selalu lari dari masalah, memulai untuk peduli setelah sebelumnya terbiasa abai, dan masih banyak lagi. Ya, saya setuju, memulai suatu kebaikan memang berarti bahwa saya akan bertemu dengan satu kesulitan. Tapi, menjalani setelah berhasil memulai ternyata menjadi kesulitan lain yang sama-sama harus dihadapi. Saya menyebutnya ujian konsistensi.
Seperti Ralph, saya juga pernah merasa bahwa apa yang sudah saya upayakan gagal begitu saja hanya karena satu kesalahan yang saya lakukan. Rasanya seperti saya sudah menyusun bata-bata hingga hampir membentuk susunan yang tinggi, tapi dengan bodohnya saya menghancurkan susunannya sehingga bata-bata tersebut hancur berantakan. Sebagian diri saya berusaha sekuat tenaga membangunnya, sementara sebagian diri saya yang lain seperti berbisik, “Wreck it, self! Wreck it!”
Hmm, ternyata musuh terbesar memang diri sendiri. Dikatakan gagal oleh orang lain, rasa sakitnya mungkin satu. Tapi dikatakan gagal oleh diri sendiri, rasa sakitnya bisa melebihi itu. Padahal, memangnya siapa yang bisa memastikan bahwa berubah ke arah yang lebih baik itu akan selalu mudah?
Ada satu hal yang saya lupa saat itu, yaitu bahwa menjalani suatu proses untuk mengubah pola berpikir, merasa dan bertindak ke arah yang lebih baik perlu dibarengi dengan sikap sabar terhadap diri sendiri. Mengapa? Jelas, karena sikap sabar itulah yang akan menguatkan proses, menguatkan perjalanan hingga sampai ke tujuan.
Bagaimanakah bentuk sabar terhadap diri sendiri itu? Bersabar terhadap diri sendiri berarti menerima dan berdamai sepenuhnya atas sudut terang atau kelebihan dan sudut gelap atau kekurangan yang dimiliki, sehingga akan lebih realistis dalam memandang diri sendiri. Selain itu, bersabar terhadap diri sendiri juga berarti menghargai proses, bersedia salah dan memperbaiki kesalahan, serta menyadari bahwa kesabaran adalah pemberian dari satu kekuatan terbesar milik-Nya.
After all, you are so worthed, self!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H