Mohon tunggu...
Noviellya Lestari
Noviellya Lestari Mohon Tunggu... -

no victory if she loosing love, you, Allah... :) that is noviellya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pesan si Bangau Kertas

2 April 2012   13:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:07 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hidup adalah sebuah pilihan, semua yang kulakukan bukan semata karena almarhum Bapakku mantan anggota TNI AL. Ada alasan kuat yang kuyakini, ada kecintaan nyata pada negeri yang dipenuhi luka disana-sini. Pagiku selalu berputar pada latihan fisik rutin. Berlari, push up, sit, up… dan berakhir dalam kesegaran air kolam renang umum bertarif enam ribu rupiah sekali masuk.

Satu-satunya bahu tempat kubersandar adalah milik Mbak Arum. Dia lakukan tugas Ibu kami dengan nilai hampir sempurna. Pagi kali ini aku temani mbakku itu sarapan. “Gimana persiapan kamu buat pendaftaran besok!?” tanyanya.

“Udah kelar,” jawabku sekenanya.

“Uhm… kamu bener nggak apa-apa de’ daftar di catam!?”

“Haaaaa… nggak apa-apalah mbak!!!! Ntar juga kalau udah masuk TNI masih bisa disambi sama kuliah.”

“Ya udah… mbak berangkat gawe duluan ya! Kamu rencananya mau ngapain hari ini?” tanya Arum sembari matanya mengawasi isi tas, memeriksa jika ada yang tertinggal.

“Kelar ini mau ke makam Bapak, Ibu, terus sekalian mampir ke tukang cukur.”

“Yow wis… jangan lupa mati-matiin listrik sebelum jalan, ok!”

Aku masih bisa tersenyum melihat setiap gelagat yang khas dari mbakku itu, tak pernah ada yang bisa gantikan dia di hatiku.

***

Gundukan tanah merah di kedua makam di hadapanku kinilah yang ajari aku tentang arti sebuah komitmen hidup. Aku telah memilih satu jalan di kesatuan yang ingin kumasuki, karna itu aku akan berjuang hingga akhir. Kebimbanganku akan restu mereka di sana, ridho yang selayaknya bagai keikhlasan Tuhan buatku, akankah ada…

Angin bertiup dengan kencang, membunyikan desir di hatiku yang sunyi. Aku tak pandai membaca pertanda, yang kuyakini Tuhan Maha Pemurah…

***

Tanggal berapa ini? 24 April. Ah, si cantik Mieta berulang tahun yang ketujuh belas. Kunci si Jazz biru dari Papanya terbungkus cantik di kotak kecil berpita. Dengan hati berbunga dikendarainya hadiah mahal itu ke tempat kursus.

Napas muda Mieta tertahan saat ada seorang bocah yang dengan sembrono melintas di depannya, tak pelak diputarnya setir. Kini giliran satu tubuh terpental dari moncong mobilnya.

***

Aku melihat mereka mendatangiku. Bapak, Ibu, apakah kalian hendak menjemputku!? Kenapa kalian begitu tipis dalam sinar di atasku? Sinar ini bukan kedamaian, sayup kudengar suara banyak orang mengelilingiku. Menyengat, kukenali itu bau penyakit.

***

Binar mata Mieta mati. Tubuhnya tak henti gemetaran. Tak ada kata yang mampu dia ucap. Seorang polisi separuh baya menatapnya simpati seolah tak ingin takdir Mieta menghinggapi putrinya sendiri. Diberinya air minum kemasan dalam genggaman tangan Mieta lalu duduk dalam diam di sampingnya.

Lantai koridor berbunyi dengan tempo cepat. Arum datang. Intuitif sang polisi pun bekerja, dia berdiri menyambut Arum. “Sa… saaya, keluarga korban ppakk!!!! Gimana kondisi addikk saya?” tanya Arum yang tak bisa kendalikan tubuhnya yang diliputi ketegangan.

“Berdasarkan rontgen di UGD, saudara Lukie mengalami patah tulang kaki kirinya. Saat ini tim dokter sedang melakukan operasi pemasangan pen…”

“Pelakunya…” potong Arum, tak sabar dengar penjelasan bapak polisi. Mieta berdiri pelan, “sa… saaya, maaaaaff” lalu kembali menangis.

Amarah Arum meledak, dipukulnya Mieta dengan tas di tangannya. Pak Polisi menangkap tubuh Arum, namun tak hentikan mulutnya yang terus menjerit. “Kamu gadis brengsek! Kamu apain adik aku!? Apa salah adik aku!? Besok dia mustinya daftar jadi tentara, tapi sekarang kamu patahin tulang kakinya! Jadi tentara itu mimpinya dari SMP, kenapa kamu hancurin masa depannya?!”

“Pak Polisi, kenapa Bapak nggak tahan dia!?” protes Arum.

“Usianya belum genap delapan belas tahun, kami masih menunggu kedatangan walinya guna memediasi kasus ini secara kekeluargaan,” terang aparat berseragam cokelat itu.

Lantai koridor kembali berbunyi bersamaan dengan meredanya emosi Arum. Langkah yang mantap dari seorang pria berwajah penuh wibawa. Pria yang sebenarnya sudah berada di dekat mereka sejak berapa menit lalu. Menyaksikan perempuan asing memarahi putri semata wayangnya. “Saya Abimanyu, orang tua Rossa Paramitha.”

Sang polisi pun mengajak Abimanyu dan Arum ke satu ruangan yang difasilitasi pihak rumah sakit guna ada kejadian seperti ini. Sebelumnya, Abimanyu mendekati Mieta yang tak berani melihat matanya. “Maaf Pa…” lirih terdengar.

“Papa percaya kamu… semoga itu cukup menguatkanmu,” setelah itu Abimanyu melangkah mengikuti aparat di depannya. Kali ini air mata Mieta benar tak terbendung, dia tahu salah, dia sadar pantas dihukum, tapi kata percaya dari ucapan papanya terasa sangat berharga di situasinya sekarang ini.

Pintu ruang operasi terbuka. Para perawat mendorong sesosok tubuh tinggi tegap yang terpejam tanpa daya. Melewati Mieta yang masih berdiri terpaku. Bola mata Mieta mengikutinya, bibirnya berucap kata maaf tanpa suara.

Tak berapa lama Abimanyu datang bersama pak polisi yang bertugas. Mieta diperbolehkan pulang sembari menunggu korban sadar guna dimintai keterangan. Abimanyu merangkul pundak Mieta. Berjalan beriringan, sesekali mengusap lengan putri tersayangnya. “Waktu yang akan perbaiki semuanya secara perlahan.”

***

Takut cengkeramku erat. Di sini, kutahu aku tak sama dengan yang dulu. Tanpa ekspresi, kusadar tak sanggup melawan kenyataan.    Aku tak mau hatiku yang mati berubah jadi amply yang mengencangkan tangisku. Raut muka Mbak Arum yang tidur dipenuhi setumpuk keletihan. Kan bertambah sakitku jika kutega bangunkannya.

Pagi menghangat, tapi diriku masih beku. Seorang dokter tua tanpa rambut masuk ke ruangan. Sapaannya ramah terdengar. Entah pemeriksaan apa saja yang dia lakukan, aku tak tertarik. Hingga terdengar bunyi ringtone dari sakunya memenuhi ruangan. Arum pun terbangun. Ah… ingin kubunuh saja ini dokter!

“Kok kamu nggak mbangunin mbak sih de’!?”

Aku memilih diam hingga dokter itu pergi. Mbak Arum nampak seperti orang linglung. “Mbak bingung… Mbak mau nanya, gimana, apa yang kamu rasain sekarang?! Sudah pasti, sakit, bodoh ya! Kemarin dokter masang pen di kaki kamu, mungkin… kamu itu terlalu manis buat jadi tentara, mustinya kamu itu jadi model,” racaunya.

“Mbak… Lukie sayang Mbak Arum, mbak pergi kerja aja gih!”

“Kamu ngusir mbak!?”

“Iya… soalnya kalau masih di sini cuma bikin mbak nangis doang!”

“Kamu nggak apa-apa Mbak tinggal sendirian!?” sangsi Arum.

“Mbak lupa ya… bukannya selama ini kalau Mbak tinggal kerja, aku emang selalu sendirian.”

“Oh iya, kamu bener…” Arum diam. Aku tahu kakak perempuanku itu sedang menegarkan hatinya. Dia ambil tasnya lalu pamitan dengan rona berat terpancar jelas.

Arum keluar dari ruangan saat Mieta justru hendak masuk ke dalam. Kaget kentara jelas pada diri Mieta sampai-sampai kantong plastik berisi buah di tangannya terjatuh. Mieta buru-buru memungutnya lalu menyapa Arum, “Ppa… pagi mbak.”

“Mau apa kamu?”

Mieta sekuat tenaga mengumpulkan keberaniannya agar bisa menjawab pertanyaan itu, sosok Arum cukup menakutkannya dengan segudang rasa bersalah. “Ssa… saaya, mau jenguk adik Mbak. Ssa… saaya  juga, mau… minta maaf, langsung ke adik Mbak.”

“Boleh ya mbak…” pinta Mieta lirih.

“Masuklah… Aku musti berangkat kerja” tak tunggu lama Arum langsung tinggalkan Mieta.

Mieta tertegun di depan pintu ruangan Lukie. Batinnya memintanya lari, tapi akal sehatnya menahan. Di balik pintu di hadapannya itu bukanlah neraka. Apapun yang terjadi, dia tetap akan bisa keluar dengan selamat dari situ, pikirnya coba yakinkan diri. Tangannya menarik gagang pintu lalu masuk ke dalam.

Sepeninggal Arum, aku hanya labuhkan pandangan pada kaca jendela rumah sakit. Terhampar arsitektur metropolitan, namun menggelanyutkan diriku ke negeri antah-berantah. Dan akhirnya terbuyarkan oleh bayangan dari sisi kiriku. Kutengok seorang gadis ber-cardigan abu-abu yang menutupi badan tak berdagingnya. Duh… jangan bilang dia salah masuk kamar!

“Kamu siapa?” kurasakan dia asing, aneh.

“Aa… aku, namaku Mieta. Uhm, aku yang nabrak kamu kemarin, maaf…” akunya yang kemudian menundukkan kepala.

Aku berpaling dari dia, kembali mahsyuk dalam tata kota yang kulihat atau malah kekosonganku. “Aku maafin kamu, sekarang kamu boleh pergi.”

Mieta merasa ucapan datar lelaki di depannya itu tak mungkin tulus dari hati. Giliran Mieta yang ngotot coba jelaskan kejadian kemarin. “Aku bener-bener minta maaf, kemarin itu aku nggak sengaja nabrak kamu. Tiba-tiba aja kemarin ada anak kecil pakai sepeda yang nyeberang jalan seenaknya, kamu juga pasti lihat anak itu kan kemarin!? Aku banting setir buat hindari anak itu, tapi aku salah, aku nggak lihat spion, aku nggak tahu ada kamu yang lagi jalan kaki, aku… aku bener-bener ngarep kamu mau maafin aku dengan tulus, karna aku juga minta maaf ke kamu dari hati aku yang paling dalam.”

Kali ini aku ngerasa gadis ini benar-benar bertingkah aneh. “Kamu tuli ya!? Aku bilang, aku maafin kamu dan kamu bisa pergi sekarang dari sini,” tegasku. Gadis itu menganggukkan kepalanya, entah tanda mengerti atau bukan.

“Ini… aku beli buah buat kamu, semoga kamu cepet sembuh ya…”

Kuperhatikan tangannya meletakkan kantong plastik yang dibawanya di meja. Agar muat ditaruhnya, gelas minum berisi air putih digesernya agak menjauh dari jangkauan ranjangku. Eeeeeerrrgh, dasar gadis bodoh, umpatku dalam hati.

Setelah dia berbalik, aku coba gapai gelas itu agar dekat denganku lagi. Susah, terlalu minggir. Aku justru menjatuhkannya dan suaranya memengkakkan telinga.

“Kamu nggak apa-apa!? Kamu mau apa?” tanyanya urung pergi.

“Nggak… udahlah!” sahutku sekenanya.

“Kamu… nggak ada keluarga lain yang jagain kamu ya kalau kakak kamu kerja!?”

“Bukan urusan kamu!!!!” jawabku kesal.

“Aku nggak akan pergi, biar aku yang jagain kamu ya… itung-itung, sebagai bentuk permohonan maaf aku ke kamu,” usulnya.

“Nggak perlu!”

“Perlu nggak perlu, tiap hari aku akan tetap datang ke sini buat bantuin kakak kamu, jagain kamu sampai sembuh!”

Jujur, batinku membuncah dengar kalimat terakhir gadis aneh ini. Ada binar terang di matanya. Tersirat kesungguhan yang luar biasa. Tapi tak ada yang dapat menjamin seberapa lama dia akan bertahan menindakkan kalimatnya itu. Aku terlalu malas membantahnya lagi, biarlah dia lakukan apa yang dimauinya. Terserah…

***

Benar saja, sejak itu aku melihatnya dalam hari-hariku. Saat ku usir menjauh, dia akan memilih duduk di sofa, diam sambil nonton tv. Setelah kuputuskan tak memperkarakannya, pun dia tetap datang sambil bawakanku sekotak makanan isi salad buah. Saat aku jalani fisioterapi, dia akan buatku malu dengan teriakannya dari jendela, “Ayo… kamu bisa, dikit lagi!!!!” Atau, ada kala aku ganti baju, dia akan berbalik dan menutup matanya, sambil berucap, “Aku nggak bakalan ngintip kok, kamu tenang aja!” Dia juga yang memapahku ke kursi roda, mendorongnya ke taman kecil di rumah sakit. Menikmati hembus lembut dedaunan sambil acuhkan kicauannya yang seolah tak pernah kehabisan bahan baku cerita. Dan akhirnya dia buatku ingat namanya, Mieta.

Tak pernah ada yang salah dengan kenangan, pun senja kali ini, tetap indah. Walau kulihatnya dari balik jendela kaca, dengan foreground ibukota. Ini adalah sore terakhirku ada di bangunan penuh pesakitan ini. Aku muak…

Kuperhatikan ada yang berbeda dengan tingkah Mieta, tak biasanya dia hanya diam. Jemarinya asyik memainkan ujung selimutku. Entah, apa yang sedang dia pikirkan, penasaran pula aku ingin tahu. Matanya beralih memandangku.

“Kenapa?” tanyaku menyelidik.

“Nggak…” elaknya. Kutenggelamkan kembali pikiranku pada semburat jingga yang temaram. Hingga kudengar suaranya pelan memulai pembicaraan.

“Besok, kamu keluar dari rumah sakit… terus, apa rencana kamu selanjutnya? Uhm… maksud aku, planning hidup kamu ke depannya?”

“Aku pernah denger dari kakak kamu, kamu mau masuk tentara. Tapi, kalau kondisi kaki kamu seperti ini…” nadanya mulai mengambang, mungkin dia tengah cari kata-kata yang pas.

“Tiap kali pendaftaran dibuka, entah catam atau caba, yang daftar itu bisa lebih dari seribu orang lelaki tangguh di Indonesia ini, sedang yang diterima mungkin hanya berapa ratus. Yang jelas, aku udah nggak mungkin ngelanjutin jalan ke sana lagi. Tapi entah, aku mau merubah haluanku kemana, aku belum tahu.”

“Kamu nggak pernah punya cita-cita jadi yang lain, selain tentara?”

“Nggak!” jawabku singkat.

“Gimana kalau habis keluar dari sini, aku anterin kamu ke lembaga psikotest, biar ketahuan kamu itu cocoknya berprofesi sebagai apa. Atau, kita lihat ke ramalan primbon aja! Weton kamu apa?” celetuk Mieta dengan gaya polosnya.

Tak butuh alasan kompleks untukku tertawa mendengarnya. Benar kiranya dugaanku di awal melihat sosok Mieta, dia memang aneh. Hahaaha…

***

Aku tak pernah menghitung dengan pasti, pagi keberapakah kali ini aku masih diberi kesempatan oleh Allah untuk terbangun kembali. Pihak rumah sakit sudah bolehkan aku pulang sekalipun aku masih pincang. Arum mengajak Bian, guna menumpang di mobilnya. Kudengar semua biaya pengobatanku ditanggung Om Abimanyu, Papa Mieta yang belum pernah kulihat sampai sekarang. Berbeda dengan putrinya yang detik ini justru ada di hadapanku.

“Kamu mau main ke rumah ta?!” tawar Arum.

“Um… boleh mbak!?”

“Ikut aja kalau mau main!” jawab Arum tanpa melihat Mieta, sedang tangannya sibuk beberes. Hubungan Arum dan Mieta (memang) terasa kaku. Tapi begitulah Arum, dia tak pernah gampang akrab dengan orang. Terlebih pada mereka yang tak bisa dapatkan rasa percaya darinya.

Rumahku terbuat dari kumpulan embun, karnanya selalu ada kesejukan yang kurindukan. Sesampainya kami, Bian milih langsung ngadem di teras. Arum menaruh bawaannya di kamarku lalu langsung ke dapur. Ku ajak Mieta duduk di ruangan tengah.

Mata Mieta tertuju pada layar tv yang kunyalakan, acara musik yang memutarkan satu video clip pendatang baru. Mungkin dia suka lagu Pesanmu, pikirku. Tak lama Arum bawa nampan isi empat gelas es teh. Nampaknya segar. Dua gelas dia letakkan di depan kami. Sedang yang dua lagi dia bawa ke depan tempat Bian berada.

“Capek ya? Maaf ya, udah bikin kamu repot,” Arum sembari meletakkan es teh di meja teras.

“Kamu itu ngomong apa sih sayang!” protes Bian, tak suka mendengar ucapan kekasihnya. Bian mengambil satu gelas dan meminumnya dengan semangat. “Panas banget ya hawanya…”

Arum mengangguk pelan, tersungging senyum di paras manisnya. Berapa hari ini pikiran Arum cukup penat untuk mensyukuri segala sesuatunya. Dan sekarang, kepulangan Lukie dan keberadaan Bian di dekatnya adalah hal yang cukup membahagiakan bagi gadis seperempat abad itu. Hidupnya mungkin (terasa) berat, tapi tipikal Arum tetaplah seorang perempuan jawa yang selalu meluruskan pemahaman tentang semua hal yang kusut dengan segudang pengertiannya.

“Kemarin…” Bian memulai obrolan di antara mereka, “papa sama mama aku nanyain kejelasan hubungan kita.”

“Maksud kamu, sayang!?” Arum tak mengerti, apa yang tak jelas dan apa yang musti diperjelas di sini.

”Rencana pernikahan kita, seharusnya itu tlah terlaksana sejak tiga tahun yang lalu. Mereka paham jika kita menundanya karena orang tua kamu meninggal dan kamu masih harus biayai sekolah Lukie kala itu. Tapi sekarang…”

***

Handphone dalam tas Mieta berbunyi. Benar saja, bahkan ringtone-nya lagu itu. Wajahnya nampak serius terima panggilan. Sepertinya dari kantor tempat dia kerja freelance.

“Lukie, maaf, aku musti cabut sekarang. Barusan telephone dari korlip, aku diminta bantuin satu reporter soalnya tiba-tiba aja photographer yang mustinya tugas sakit dadakan gitu…” jelasnya.

“oh ya udah… hati-hati di jalan!” tuturku ingatkannya.

Rasanya sekarang hidupku sedikit lebih ribet dengan tongkat penyangga ini. Aku butuh cukup waktu untuk berdiri dan mengantar Mieta ke depan.

“Lukie belum sembuh, dan kamu tahu itu…” sela Arum.

“Iya… tapi ada hal yang kamu musti tahu, bulan depan aku di mutasi ke kantor cabang Makassar.”

Di dekat pintu aku mematung mendengarnya. Kurasa ada yang aneh dengan pembicaraan ini. Kenapa Mbak Arum sempat menyebut namaku, perasaanku jadi gelisah sendiri.

“Aku nggak mau jauh dari kamu. Aku mau kamu ikut denganku ke sana. Aku ingin nikahin kamu sebelum aku berangkat.”

“Terus Lukie? Aku nggak mungkin ninggalin dia gitu aja sekarang ini! Kamu tahu, aku dan Lukie nggak punya siapa-siapa lagi. Kalau aku nggak ada, terus gimana dengan dia?” tentang Arum, terdengar agak terisak.

Mieta memandangku, mungkin pikirannya pun ikut berkecamuk. Sekarang jelaslah semua buatku. “Pergilah…” Mieta mengangguk dan melangkah keluar dari pintu. Ku ikuti dia dan bersikap sewajar mungkin.

“Mbak… Mieta mau pamitan pulang,” kulihat Mbak Arum yang memalingkan mukanya hanya mengangguk sedang Bian terdiam di tempat duduknya.

“Mbak, aku pulang dulu ya! Makasih udah di ijinin main ke sini,” tutur Mieta.

“Iya…” jawab Arum singkat.

“Mari mas… Balik duluan ya Kie…” Mieta pergi. Dan kurasakan suasana yang tak mengenakkan ini. Kutinggalkan mereka berdua…

***

Lepas maghrib, Arum stand by depan tv setia dengan film dvd-nya. Matanya menerawang lurus, kutebak pikirannya entah melayang kemana. Kudekati dia, duduk di sampingnya.

“Jangan nangis gitu dong, nonton film korea aja sampai segitunya,” candaku.

Mbak Arum menoleh dan tersenyum, meninju lenganku sekuat tenaganya. Mungkin tinju itulah yang kelak akan kurindukan darinya. “Mbak…” panggilku manja.

“Apa?”

“Semuanya bakal baik-baik aja… Mbak nggak perlu ragu buat nikah sama Kak Bian.”

Mbak Arum menoleh, “Kamu itu ngomong apa sih Kie?!” elaknya.

Kupeluk tubuh mungil mbakku. Harumnya serupa bau ibu yang kurindu. “Mbak Arum udah banyak berkorban buat aku. Cukup, sekarang waktunya Mbak mikirin kebahagiaan buat diri Mbak!!!!”

“Mbak…” suara Arum melebur dalam isak, “mbak, bakal ngerasa amat salah ke orang tua kita, kalau mbak ngelakuin itu, namanya mbak egois!”

“Kalau Mbak mau egois, tiga tahun lalu Mbak nggak bakal mutusin keluar kuliah dan kerja. Mbak nggak bakal nunda nikah Mbak sampai selama ini. Cukup Mbak…”

“Kalau Mbak nggak ngelepas aku sekarang, bisa-bisa aku cuma jadi anak manja yang tahunya ngerepotin Mbak doang! Aku ini lelaki Mbak… Aku bakal cari kerja buat ngidupin diriku. Mbak tenang aja ya… Besok, Mbak temui Kak Bian, bilang ke dia, kalau Mbak siap buat jadi istrinya… Kali ini, Mbak yang harus nurut sama aku, nggak ada alasan.”

Mbak Arum diam mendengarkanku. Namun air matanya tak henti mengalir. Hanya jemarinya yang mengusap lembut pipiku. Aku tak mampu artikan apa yang ingin dia ungkap. Dalam hati sebenarnya masih banyak yang kurasakan. Tapi tak kukatakan, aku tak mau buat Mbak Arum berlarut dengan tangisannya. Rasa bersalahku, rasa terima kasihku, rasa sayangku, rasa banggaku. Pada Mbakku…

***

Kebingungan melandaku, pagi tanpa tujuan terasa menjepitku. Aku keluar, sembari membiasakan kakiku bergerak. Kubilang pada Arum, aku mau beli koran.

Tanpa sadar Mieta datang kembali, angin yang gemerisik menuntunnya untuk tahu kondisi Lukie. Arum yang belum berangkat kerja menyambutnya. Dengan hati-hati Mieta menyinggung sedikit tentang apa yang didengarnya kemarin.

Arum tahu bukan pada Mieta lah tempatnya dia harus keluarkan uneg-unegnya, tapi Arum hanya ingin cerita. “Semalem… Lukie nyuruh aku untuk tetap nikah sama Bian. Dia bilang dia bakal baik-baik aja… Tapi,” Arum menghela napas sejenak, “aku nggak bisa ngusir gitu aja rasa khawatirku. Belum lagi kalau aku kepikiran dia masih harus jalani operasi angkat pen di kakinya setahunan lagi. Udahlah… lama-lama aku bisa curhat panjang lebar ke kamu, aku musti berangkat kerja. Kamu tunggu aja Lukie di sini. Nggak apa-apa kan ditinggal sendiri!?”

Mieta mengangguk dan tersenyum pada Arum yang kemudian berlalu dari hadapannya. Mieta mendesah, mencoba mengusir rasa sepinya. Dia keluarkan handphone dari dalam tas, dan membuka aplikasi twitter di dalamnya. Membaca tweet dari akun yang dia follow, membalas beberapa mention temannya, lalu berpikir sejenak. Nampak sedang merangkai huruf untuk mengisi space seratus empat puluh karakter yang tersedia. Lalu jemarinya mulai menari di atas keypad.

Semua yang kau miliki hari ini adalah titipan. Kekuatanmu hanya pada Allah yang kau percaya…

Iseng, aku membaca tulisan yang ada di layar itu. “Ciyyeeeee… pagi-pagi udah sok bijak! Udah sarapan belum!?”

“Ih… kamu udah kayak lelembut deh, kok nggak ada suara kamu datang!?” sungutnya.

“Yeeeee… kamunya yang keasyikan main twitter sampai nggak ngeh ada orang datang!” balasku tak mau kalah, “udah lama kamu nunggu? Mbak Arum udah berangkat?”

“Udah…”

Kuselonjorkan kakiku di sofa panjang ruang tamu. Kubuka koran yang baru kubeli. Tahi kucing dengan headline demo bbm. Sabtu bagiku kini surganya iklan klasika. Kubaca detil setiap lowongan yang tercetak. Kualifikasi SMA, IPS, fresh graduate, itu yang kubutuhkan. Ah ya, ditambah dengan sedikit simpati untuk kondisi kakiku sekarang ini.

“Apa kamu udah tahu mau ngapain sekarang!?” tanya Mieta.

“Yang jelas, dalam waktu sebulan ini aku harus dapet gawean sebelum Mbak Arum diboyong ke Makassar. Apa aja, yang penting bisa nunjang hidup aku.”

Mieta tersenyum, dan berkata, “Aku bantuin kamu ya…” dikeluarkannya tablet dari dalam tasnya. Proses searching pun dimulai. Aku menandai setiap lowongan di koran yang ku anggap mampu. Mieta meng-copy lowongan di internet ke dalam note-nya. Total ada tiga belas lowongan yang kami kumpulkan. Mieta mulai mengetik surat lamaran dan lembar riwayat hidup yang kubutuhkan. Aku berjalan ke toko dekat rumah guna mem-photo copy ijazah, nilai ujian nasionalku dan ktp.

Jujur, aku pun sebenarnya masih ragu apakah semua ini akan ada hasilnya. Apa ada perusahaan atau bos yang mau menerima pegawai yang jalannya bahkan belum benar sepertiku ini?! Tapi diam pun juga nggak bakal membawa hasil buatku sekarang ini.

Sesekali aku melamun, di saat itu Mieta akan menepuk udara di depan mukaku lalu tertawa. Aku iri padanya, semangatnya seolah tak pernah meredup. Ibarat robot yang baterainya selalu full di-charge, tak pernah kehabisan energi. Nggak tahu dikasih makan apa dia sama papanya.

“Aku pernah cerita tentang almarhumah Mamaku belum ke kamu!?” tanya Mieta.

“Uhm… belum, belum pernah, kamu keseringan cerita tentang Om Abimanyu doang!”

“Oh…” Mieta menghentikan pekerjaannya lalu duduk menghadapku, “aku lebih banyak bersama Papa sih, jadi aku punya banyak cerita tentang dia.”

“Mamaku meninggal pas aku kelas tiga SD. Memoriku cuma nyimpan sedikit cerita yang bisa aku ingat tentang beliau. Salah satunya itu tentang cerita bangau kertas. Abis beliau baca cerita itu buatku, beliau bilang, bukan seribu bangau kertas yang musti kamu ingat, tapi perjuangan dalam membuatnya, hingga genap seribu. Itu berarti, ada tekad yang kuat, ada semangat yang positif. Jadi, apapun yang kamu inginkan bukan bergantung pada keajaiban seribu bangau kertas, tapi pada perjuangan, tekad dan semangat. Aku selalu ingat kata-kata beliau itu!”

Aku meresapi perkataan Mieta yang berasal dari mendiang mamanya itu. Hanya orang yang telah banyak makan asam garam kehidupan yang mampu mengatakannya. Tak pernah ada yang namanya keajaiban, karena dunia bukanlah surga. Beliau benar, pikirku.

Tak terasa selesai juga apa yang dari pagi kukerjakan bersama Mieta. Matahari yang menyengat tak menyurutkan langkah kami, terlebih aku yang tertatih ke kantor pos yang jaraknya cukup lumayan dari rumah. Kutraktir segelas es degan. Segar, sekalipun tak sebanding dengan pertolongannya padaku.

***

Rupaku tak karuan menanti panggilan interview. Seminggu, baru kuterima satu telephone masuk. Kukabarkan itu pada Mieta. Dia menawari untuk mengantarkanku besok.

Pikiranku bercabang kemana-mana. Resah dan risau dengan kelanjutan kisahku di dunia ini. Hatiku buta jika Tuhan itu Maha Melihat. Astaghfirullah… kubasuh diriku dengan air wudhu, kujaga rohaniku dengan sholat yang coba kutegakkan. Aku tak tahu apa obat dari penyakit ragu ini…

***

Mari menyusun asa yang sempat diceraiberaikan oleh takdir. Karena hanya itu hiasan yang mampu mengindahkan kehidupan yang dipenuhi guyonan Tuhan. Dulu aku membayangkan cermin di depanku memantulkan bayanganku berseragam tentara, gagah. Namun ternyata aku baru tahu kalau aku berkemeja rapi juga cukup tampan, atau itu hanya rasa narsisku saja yang berlebihan!? Ah… minimal almarhumah Ibu pasti mengiyakannya.

Mieta menjemputku pakai Jazz yang dulu menyerudukku. Dag dig dug juga aku dibuatnya. Dia beneran bisa nyetir dengan bener atau nggak sih, aku bertanya-tanya sendiri. Sepanjang jalan aku tak berhenti menyebut asma Allah, antara meminta keselamatan dan meminta pengasihanNya agar aku keterima kerja. Atau hanya meracau (jelas) tuk usir ketakutanku. Sedang Mieta, dia hanya tertawa geli melihat aku parno dan asyik menyanyi mengikuti alunan lagu dari perangkat audio mobil.

Berdua dengan sang HRD di ruang interview serasa di ruang interogasi kepolisian. Tetes-tetes keringat sebesar biji jagung tak henti berbulir. Sepertinya wawancara ini hanya sekedar formalitas. Dia tak tertarik merekrutku sejak aku memasuki ruangan, melihatku bersama tongkat penyangga, dan kaki yang tak sama cara jalannya. Dia menolakku…

Minimal, aku berterima kasih pada kejujuran beliau yang tak menggantungkanku dengan harapan palsu.

Sekali lagi, aku tak menyalahkan keadaan yang diskenariokan Allah padaku kini. Tapi aku juga tak mau berbohong jika penolakan itu menyakitkanku. Aku berjalan keluar dari kantor itu dengan tertunduk lesu. Pandanganku dengan Mieta beradu saat aku sampai di tempat parkir. Seolah tahu apa yang tlah terjadi di dalam, Mieta tak menanyakan hasilnya sama sekali.

“Lukie… coba siniin tangan kamu!” perintah Mieta.

Ku ikuti pintanya. Dia mengisi telapak tanganku yang tengadah dengan sebuah origami bangau kertas. “Tadi aku iseng bikin itu, buat ngilangin jenuh nungguin kamu…” lalu tersenyum.

“kamu masih inget ceritaku waktu itu kan!? Seribu bangau kertas itu nggak bakal pernah ada tanpa tekad, usaha dan semangat. Jangan menyerah ya…” Kata-kata yang terasa bagai oase.

***

Dan yang terjadi dalam dua minggu selanjutnya adalah aku tlah menyinggahi lima kantor yang memanggilku datang lewat telephone. Namun aku tak cukup buat mereka percaya dengan keadaanku yang tetap mampu jalani tugas sesuai job desk. Aku juga tlah kumpulkan empat origami bangau kertas dari Mieta.

Belum ada perubahan hingga hari ini aku bersama Mieta mengantarkan Arum ke penjahit buat ambil kebayanya. Arum keluar dari satu kamar dengan memakainya. “Gimana?” tanyanya sumringah.

Manis, aura Mbakku itu begitu terpancar lewat warna pink muda yang dipilihnya. Ingin menangis aku rasanya, kudekati dia. “Mbak… kalau pakai ini kelihatan lebih manis daripada Jeng Reni anak Sultan,” godaku. Telak, dibogemnya perutku dengan gemas. Aku tertawa melihat ekspresinya yang tersipu malu itu. Diam sejenak kuperhatikan dia. “Maaf ya Mbak… di hari bahagia Mbak nanti aku belum bisa kasih apa-apa ke Mbak!!!!”

Sepertinya ucapanku barusan mengubah suasana jadi terbalik seratus delapan puluh derajat. Mbak Arum mematung di depan kaca. Melihat bayanganku di kaca, dia berkata “Kamu itu ngomong apa sih de” protesnya.

Suasana dalam perjalanan baliknya nyata kecut. Kami lebih memilih diam melempar pandang ke luar jendela mobil. Sekilas aku merasa bersalah dengan ucapanku di rumah penjahit tadi. Tapi aku hanya pecundang yang nyalinya masih senin kamis hadapi hidup. Aku tak kuat sembunyikan itu.

Kutatap awan hitam dari kursi teras. Aku lelah dengan berbagai pikiran yang berlari-lari dalam otakku. Mieta mengagetkanku lalu tertawa puas. Aku sedang tak tertarik dengan tawa dan senyumnya. “Ngelamun aja… kesambet lho ntar!!!!”

Aku tak tahu apa yang salah dengan Mieta. Bahkan dia tak sadar atau memang mengacuhkan mata apatisku. Dan tetap enteng dengan tawanya! Dia membawa sebuah kantong kartas, mengeluarkan isinya. Undangan pernikahan Arum dan Bian. “Nih… kamu bantuin nempel tomjeri aja, ntar biar aku yang nulis nama undangannya.”

Tanpa tunggu apapun tanganku bergerak sesuai instruksinya. Mieta tersenyum memandangku dan memulai pembicaraan di antara kami. “Kamu tahu nggak, aku itu nggak punya ilmu hitam sama ilmu putih buat baca pikiran orang, tapi… ngelihat sikap kamu yang seperti ini, aku ngerasa kamu butuh telinga buat mendengarkan apa yang kamu rasa. Dan aku ada di depan kamu sekarang, aku siap buat itu… Kamu galau karena mau kehilangan Mbak Arum, atau masalah kamu yang sampai sekarang belum dapetin kerjaan!? ” Kutatap gadis yang sedang memasang muka innocent atau sok imut itu. Perutku terasa mulas, enek dengan aktingnya, ingin kumuntahi saja muka sok polos itu!

Tanganku berhenti mengerjakan undangan Arum. Kucondongkan badanku ke arah Mieta. Muka kami hanya berjarak satu kilan. “Kamu dengerin aku baik-baik… Berhenti bersikap seolah kamu yang paling paham aku di dunia ini! Pasti dalam pikiran kamu, aku ini cuma satu sosok menyedihkan yang patut dikasihani kan!?”

“Kamu ngomong apa sih Kie!? Kenapa kamu jadi marah sama aku!?” tanya Mieta kebingungan.

“Ya Ta, aku emang lagi mikirin nasib aku yang sampai sekarang belum juga dapet kerja. Sedang nikahan Arum tinggal semingguan lagi. Dan itu cuma jadi bahan ketawaan aja kan buat kamu!?” kukatakan itu dengan nada tertahan.

“Nggak… aku nggak maksud gitu tadi, sungguh!” Aku benci dengan tangis perempuan, apalagi jika mereka jadikan itu sebagai tameng. Aku melanjutkan kembali pekerjaanku tanpa pedulikan Mieta. “Masih ada interview yang terakhir itu kan!? Toh HRD-nya juga belum ambil keputusan, itu artinya masih ada kesempatan buat kamu. Aku tahu… bukan aku yang ngerasain dan jalanin semua beban kamu, tapi… kamu nggak boleh patah semangat. Aku selalu dukung kamu kok… kamu ingat kan sama pesan dari cerita tentang bangau kertas, kalau…”

“Ya… tekad, usaha dan semangat,” kupotong cerocosnya, “tapi sampai kapan!? Aku musti nunggu dapetin seribu bagau kertas dari kamu, jalanin seribu interview dan kirim dua ribu surat lamaran, gitu!? Aku nggak punya waktu! Hanya tinggal berapa hari lagi sebelum Mbak Arum pergi!”

Mieta diam, tak lagi membantah, pandangannya tertuju pada Lukie, nanar. Ingin dia menggenggam erat tangan cowok di depannya itu, memulihkan kepercayaan dirinya yang tererosi. Tapi Mieta takut perhatiannya kan ditepis, dan itu hanya kan melukai hatinya. Mieta tahu saat ini Lukie sedang alami stress dan merasa tertekan. Tapi siapa dia!? Mieta bukan siapa-siapa, bukan haknya untuk mencampuri urusan Lukie sedalam itu.

Bahkan jika Mieta mau jujur, kasih yang ditebarnya untuk Lukie tlah jauh melampaui kontrol sadarnya. Berubah jadi sayang yang lebih subjektif. Dia tetap tak bisa lakukan itu. mieta putuskan tuk berhenti sampai di sini. Berpaling dari Lukie yang tak butuhkannya lagi.

Tangan Mieta mulai melanjutkan pekerjaannya. Menulis setiap nama yang ada di daftar yang tlah dibuat Arum dan Bian. Tak ada kata darinya. Aku pun malas bersuara.

***

Penggalan kisah tentang Lukie kurang lebih tlah berlalu dari hidup Mieta. Namun hanya secara fisik, tak mampu usir dari pikiran dan hatinya. Mieta tenggelam dalam suasana sore di teras rumahnya. Merasakan gemerisik angin yang tak bersahabat, menghitung daun-daun kering kecoklatan yang gugur di atas hijaunya rumput tebal di halaman. Mencari jawaban atas sesuatu yang tak henti mengusiknya. Karna sampai sekarang dia masih tak mengerti tentang kesalahannya.

Abimanyu mulai mengamati perubahan putrinya yang tak seperti biasanya. Awalnya dia memilih tuk diam dan menunggu sekiranya Mieta tlah siap tuk cerita dengan sendirinya. Namun sepertinya Mieta menyimpan rasa sakitnya dalam diam kali ini. Maka abimanyu lah yang mendatangi Mieta bersama hatinya.

“Tumben di rumah aja, nggak kemana-mana, nggak main ke rumah Lukie kamu Ta!?”

Mieta menoleh ke arah papanya yang tlah duduk di sampingnya “Nggak Pa…” jawabnya lemas.

“Oh… kenapa? Apa ada masalah?”

“Nggak Pa…”

“Dari tadi ditanya, jawabnya nggak pa, nggak pa melulu… Apa udah sejauh itu sampai-sampai bikin kamu lupa caranya tersenyum!?”

“Maksud Papa?”

“Kamu paham betul maksud Papa… jika sakit itu tandanya harus berhenti! Jangan memaksakan diri hingga kehilangan senyum seperti ini! Belajarlah tuk dewasa…” Abimanyu berdiri, berlalu masuk.

Tersentuh Mieta dengan cara papanya menegur dan menasehatinya. Dengan bisunya seolah papanya tlah membaca semua masalahnya dari raut wajahnya. Papa benar, batin Mieta. Kepedihannya bukannya berasal dari amarah Lukie, melainkan rasa dalam hatinya pada Lukie.

Rasa yang menggugah gelisahnya setiap waktu. Rasa yang buat raganya melayang tanpa berat. Haruskah dia tinggalkan itu di kala ini!? Lalu kembali berjalan melanjutkan hidupnya seperti dulu… Dulu, saat Mieta belum mengenal sosok Lukie! Galau dalam hatinya…

***

Bumi memang masih dapatkan sinarnya mentari hingga hari ini. Tapi tidak untukku. Hari dimana seharusnya kulepas Arum dengan bahagia, justru membuat cabang pada kelanjutan hidupku esok hari. Tanpa ada pekerjaan!

Para tamu undangan mulai banyak berdatangan. Kusapa beberapa wajah yang kukenali dan mengobrol ringan dengan mereka. Hanya mencoba tuk sekedar kurangi tekanan yang menghimpit di relung.

Dilemaku bertambah kala kulihat paras cantik Mieta hadir tanpa senyumannya. Mata kami beradu tapi dengan cepat di alihkannya. Datang bersama dengan seorang lelaki tengah baya, bisa kutebak beliau adalah Om Abimanyu, papanya. Sudah seminggu sejak pertengkaran kami sore itu, Mieta tak lagi sambang atau bahkan sekedar telephone tuk bertukar kabar. Dia pasti sangat nggak terima dengan sikapku. Wajar…

Di tempatnya duduk, mata Mieta terasa panas menahan tangisnya agar tak keluar di saat yang tak tepat seperti sekarang ini. Bertemu dengan Lukie dan sama-sama bersikap dingin seolah orang asing. Terasa menyakitkan bagi gadis itu. Mieta mengingat awal kali takdir mengaitkannya dengan Lukie. Bertemu tanpa rencana. Tapi baru sekarang hatinya bergetar hebat karna sosok Lukie. Bahkan dia merasa seminggu kemarin adalah kumpulan detik penuh penyiksaan. Tanpa sadar, Lukie tlah jadi bagian hidupnya, tempat membagi rasa di hatinya, tempatnya mengalirkan cinta.

Akad nikah pun dimulai. Sang penghulu tlah ucapkan ijab, namun justru bunyi handphoneku yang berinya jawaban duluan. Aku merasa sungkan pada semua orang yang ada di ruangan itu. “Permisi… saya jawab telephone sebentar.”

“Ya hallo… selamat siang… benar, saya Ahmad Lukie… oh iya pak… Hah!? Beneran pak!? Bapak nggak bohong!? Iya pak, baik, terima kasih…” aku berbalik dan tanpa sadar berteriak, “Mbak Arum… aku diterima kerja…”

Kontan seisi ruangan menertawakanku. Aku tak peduli, ku lihat senyum lega di raut muka mbakku, itu cukup. Aku kembali ke tempatku duduk. Sempat mataku bertemu pandang dengan Mieta, kulihat bibirnya mengucap kata selamat tanpa bersuara, aku mengangguk, kuberi dia senyuman. Dalam hati tak lupa ku ucap syukur pada Allah.

Acara akad pun kembali dilanjutkan. Setelah ijab dari sang penghulu, giliran Bian yang ucapkan kalimat qabul-nya, “Saya terima nikah dan kawinnya Mawar Arum binti Ahmad Sholeh dengan mas kawin yang disebutkan dibayar tunai.”

Alhamdulillah, Bian mengucapkannya dengan lancar yang diiringi kata sah dari para tamu yang hadir. Aliran darah dalam otakku yang semula tersumbat rasanya mulai mengalir deras mengikuti salurannya, otot pipiku mulai luwes tuk tersenyum pada semua orang yang ada di hadapanku.

Sebelumnya bahkan tak pernah kurasakan, badanku kram hebat, nahan hasratku yang ingin teriak kenceng sambil lompat-lompat. Ah… aku gila karna bahagia! Andai hatiku bisa keluarkan suara, aku yakin kan terdengar humming, la la la la la la la la la…

Kutemukan satu kesempatan yang kutunggu dari tadi. Mieta lagi sendirian di depan meja saji ice cream. Kuhampiri, berdiri di sandingnya. “Hai…” Mieta menoleh dan memandangku terpaku. “Apa kabar?” tanyaku.

“Baik…” jawabnya pelan lalu menundukkan kepalanya.

“Aku… aku mau minta maaf ke kamu, soal kejadian sore itu!”

“Iya… nggak apa-apa kok” Mieta melihatku sekejab sembari melemparkan senyum tipisnya.

“Uhm… besok jam sepuluh Mbak Arum berangkat ke bandara, pesawatnya lepas landas jam satu. Kamu… mau ikut nganterin!?”

“Boleh!?”

Ku anggukkan kepalaku dengan semangat. Mieta kembali tersenyum tipis. Gemas aku melihatnya. Yang kukangeni itu senyum lebar dengan gigi kelinci yang menyembul, tulang pipi yang mengerucut, dan mata yang sinarnya melebihi bintang kejora.

“Sampai jumpa besok… aku bawa ini ke Papa dulu, aku musti temani dia!” ujarnya sambil membawa dua cup ice cream cokelat.

“Ta…”

“Hemmm” langkahnya terhenti dan badannya berbalik memandangku, menunggu aku berucap. Sedang aku sendiri masih bingung apa yang ingin kukatakan. Aku tak bisa, dan tak boleh, menahannya untuk tetap di dekatku sekarang ini.

Kutarik napas, asal kubilang “Kamu cantik hari ini…”

“Makasih…”

“Tapi…”

“Tapi…” Mieta mengulangi kata terakhirku, mungkin penasaran dengan ucapanku selanjutnya.

“Tapi nomor dua setelah mbakku!”

Kulirik rupanya yang sekilas kesal itu, setelahnya lepas juga tawa cekikikannya. Itu dia! Itu baru Mieta yang kukenal.

“Jangan sampai kutimpuk sama ice cream kamu!!!!” sewotnya.

Serasa  digelitik hatiku. Aku tersenyum menikmati polahnya.

***

Jika dibilang lelah, maka semua manusia tlah merasa lelah hidup di dunia ini. Bahagia hanyalah tentang pola pikir, bagaimana kita bisa membawa keadaan sempit menjadi lebih nikmat. Dulu tempatku berbagi adalah Mbak Arum, sejak kepergiannya aku tersadar bahwa aku tlah sangat bergantung padanya. Padahal tak semestinya aku begitu. Tak ada yang bisa di andalkan di dunia ini, bahkan diriku sendiri. Dan Tuhan lah yang tlah ajarkan itu selama setahun ini. Ternyata, cintaNya lah yang nyata.

***

April memang bulannya wanita, Mieta disibukkan dengan schedule pemotretan yang padat. Dua puluh satu perempuan dengan dua puluh satu profesi yang berbeda. Menarik, karna Mieta yang terbiasa bekerja sama dengan para model professional kini harus mengarahkan gaya orang yang awam dengan perangkat fashion studio. Diliriknya jam di pergelangannya, tepat jam satu siang. Bahkan tak ada kesempatan untuk sekedar menyuapkan nasi ke mulutnya.

Sisa satu perempuan terakhir yang harus dipotretnya sedang ijin ke toilet barang sebentar. Mieta buru-buru mengambil ponsel di tasnya. Memencet tombol pintas ke nomor Lukie yang tlah disimpannya.

“Hallo… Assalammu’alaikum” terdengar suara berat Lukie.

“Wa’alaikumussalam… kerjaan aku belum kelar nih! Soalnya pimpinan aku minta photo-photonya di edit hari ini juga, mungkin aku nggak bisa nemenin kamu ke rumah sakit. Kalaupun bisa ke sana mungkin malam, maaf ya…”

“Iya, nggak apa-apa! Maklum deh yang udah di angkat jadi photographer tetap…”

Mieta tersenyum mendengarnya, “Jangan ngeledek kamu…”

“Kak Mieta…” Mieta menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya, “Dah ready nih!”

“Oh Ok, bentar ya… Kie, aku musti balik kerja. Ntar kita ketemuan di rumah sakit langsung ya, kamu kabarin aku masalah ruangannya. Jangan lupa!!!!”

“Siap bos… met kerja ya Ta!”

“Thank you, yuk bye…” Mieta menutup sambungan telephone, menaruhnya di tas, bergegas ke spot pengambilan gambar.

***

Kutatap layar ponsel yang mulai menghitam. Sepi, tiap kali aku tak (lagi) mendengar suara Mieta. Kumainkan jemari pada lima origami bangau kertas yang sempat jadi saksi bisu hidupku setahun yang lalu. Ku ingat lagi memori kala kami mengantarkan Arum dan Bian ke bandara. Arum sempat meminta maaf pada Mieta karna pernah menyebutnya gadis brengsek, padahal Mieta sudah melupakannya, dan dia maklum betul situasi saat itu. Kini terpikir olehku, apa jadinya hidupku selama setahun ke belakang ini jika tak ada Mieta yang selalu mengajakku bercanda, mengisi derai tawa di tiap waktuku.

Kupejamkan mata, (coba) menelaah dengan benar, rasa apa ini.

***

Plafon di atasku tetap terdiri dari kotak-kotak yang tak akan pernah berubah walau kupelototi hingga jutaan kali. Aku tak bisa tidur. Entah kenapa aku sedih setelah baca sms dari Mieta yang kasih kabar nggak bisa temaniku di rumah sakit malam ini. Aku sendirian. Aku bukannya takut dengan operasi angkat pen yang bakal kujalani besok, tapi…

Aaaarrgh!!!!

***

Aku terbangun saat mendengar percakapan di dekatku. Kudapati Mieta dengan senyumannya, “Eh… udah bangun!”

Tak kuhiraukan dia, aku mengulet lagi di atas kasur tipis rumah sakit ini. Si mbak cleaning service meneruskan obrolannya dengan Mieta. Mataku silau saat dia menyibakkan kelambu jendela kaca yang buat sinar mentari masuk ke dalam ruangan. Setelah itu dia baru kudengar dia pamit keluar.

“Bangun, udah pagi tahu!!!! Mustinya yang ngantuk berat tuh aku, aku belum tidur dari semalam, begadang di kantor sampai jam lima pagi, eh… baliknya malah langsung ke rumah sakit.”

“Ya udah… kalau mau pulang, pulang aja!” perintahku.

“Eits… ada yang ngambek!” Mieta menggelitiki pinggangku hingga aku pun terpaksa bangun dibuatnya. “Gede ambek bener sih!”

Kujelajahi paras yang tak lepas dari senyum itu. Tanpa ada rasa dosa tlah buatku tersiksa memikirkannya semalaman. Mengharapkan keberadaannya di sisiku.

“Kok kamu diem aja sih!? Kamu marah ya!? Maaf…”

“Nggak, udahlah…”

“Gimana perasaan kamu?”

Kuraba dada kiriku, “Deg deg kan…”

“Lebay ah…” tangan Mieta menimpukku dengan bantal.

“Kan barusan kamu yang nanya, giliran aku jawab, kok aku malah dipukul sih… rasanya emang deg deg kan kok! Tapi bukan karna mau operasi…”

“Trus kenapa?”

“Nggak tahu…”

“Ada yang lagi kamu pikirin?”

“Uhm… aku mikir, kira-kira nanti kelar operasi, pas aku buka mata lepas obat biusnya abis, apa kamu masih ada di sini buat aku!? Setelah operasi angkat pen ini… itu artinya kan kamu udah bebas tanggung jawab dari aku yang dulu kamu seruduk pake jazz kesayangan kamu itu!”

“Trus, emangnya kenapa!?”

“Aku bingung,” napasku mendesah berat, “aku terlanjur jatuh cinta sama kamu Ta, maaf…”

“Ya udah, kalau gitu… keluar dari sini, kita pacaran aja!” sahut Mieta dengan sumringah tanpa mau beritahukan rasa hati sebenarnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun