Mohon tunggu...
Novia Syahidah Rais
Novia Syahidah Rais Mohon Tunggu... Manajer Marketing & Komunikasi -

Bukan soal siapa kita, tapi ini soal apa yang kita tulis!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dua Bayangan Lenggini (#4)

27 Januari 2015   16:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:17 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14205121951439554324

Pagi masih menyisakan embun di dedaunan, bekas hujan semalam. Matahari yang seharusnya sudah menampakkan diri ternyata masih malu-malu di balik sapuan awan tipis. Hanya suara kicauan burung-burung pipit yang menandakan bahwa hari telah memulai lembaran barunya dan siap menjadi saksi atas setiap hal yang terjadi di muka bumi.

Di tengah hembusan angin yang cukup dingin, sepasang kaki melangkah mendekati rumah kediaman Jarung. Pelan tapi pasti, kaki yang tanpa alas itu terus menuju tepi tebing yang ditumbuhi rimbunan gelagah. Di sanalah sosok Sindra yang tinggi semampai tengah berdiri menatap hamparan sawah di kaki bukit.

“Sindra!”

Gadis belia itu menoleh seketika. Seorang perempuan muda berkebaya pendek telah berdiri di belakangnya, menatapnya dengan senyum ramah.

“Ya? Bibi memanggil saya?” tanyanya tak beranjak.

Perempuan itu mengangguk. Dilihat dari wajahnya, usia perempuan itu pasti belum mencapai 35 tahun.

“Bibi siapa? Ada perlu apa dengan saya?” tanya Sindra dengan kening agak berkerut.

“Saya Hela, istri Bang Jarung yang ke sembilan.” Perempuan itu tak melepas senyumnya.

“O...” Sindra mengangguk-angguk dan membalas senyum perempuan bernama Hela tersebut.

“Apa betul kamu mau menikah dengan Bang Jarung?” tanya Hela sesaat kemudian.

Sindra diam sejenak sambil duduk di sebuah batu besar. Hela ikut duduk di batu yang lain, bersisian dengan Sindra.

“Memangnya kenapa?” tanya Sindra dengan tatapan menyelidik.

Hela tersenyum. “Jangan takut, saya tidak ada maksud buruk terhadap kamu. Hanya saja...”

“Hanya saja apa?”

“Kamu kelihatan masih sangat muda untuk menikah. Apalagi dengan lelaki tua seperti Bang Jarung. Dan setahu saya, kakek dan nenekmu sangat bermusuhan dengannya, bukan?”

Sindra mengangguk. “Ya, semua itu memang benar, Bibi. Saya memang masih muda dan sebenarnya juga masih terlarang untuk dinikahi.”

“Oya?” Mata Hela membulat tak percaya. “Jadi kamu belum...”

“Ya.” Sindra mengangguk, mengerti maksud kalimat Hela yang menggantung itu.

“Berarti kamu juga belum mengucapkan janji di depan Lenggini?” Mata Hela kian membesar.

“Belum,” jawab Sindra sambil tersenyum ringan. “Tapi saya sudah menyampaikan hal ini pada Bang Jarung.”

“Dia pasti terkejut.”

“Sangat terkejut. Tapi siapa yang berani melangkahi Lenggini?”

Hela tersenyum geli membayangkan reaksi Jarung.

“Kata Nenek, mungkin dalam beberapa bulan ini saya akan mendapat haid pertama. Karena dulu ibu saya juga mengalaminya pada usia yang sama seperti saya sekarang,” kata Sindra lagi.

“Baguslah kalau begitu. Berarti kamu akan segera menjadi perempuan dewasa, perempuan yang sesungguhnya,” jawab Hela dengan mimik senang.

Untuk beberapa saat mereka saling diam menikmati belaian angin pagi, seraya menatap hamparan sawah di bawah sana.

“Sindra,” tegur Hela lagi. “Sudah menjadi tradisi yang ditetapkan oleh Bang Jarung bahwa istrinya yang paling muda harus mengajari calon istri Bang Jarung selanjutnya bagaimana menjadi istri yang baik. Dan saya sebagai istri Bang Jarung yang paling muda berkewajiban mengajari kamu segala hal yang perlu diperhatikan setelah menikah nanti. Apalagi kamu kan istri penutup bagi Bang jarung, dia pasti ingin segalanya berjalan sempurna.”

Sindra terdiam, menatap Hela agak lama. Alangkah tulusnya hati perempuan itu menjalani perannya sebagai istri Jarung. Bahkan Sindra tidak melihat sedikitpun adanya kecemburuan di mata Hela terhadap dirinya, apalagi menyesal jadi pendamping lelaki tua seperti Jarung. Sedemikian hebatkah pengaruh Jarung terhadap perempuan-perempuan yang telah dinikahinya itu? Ataukah semua itu karena Lenggini?

“Bibi, apakah Bibi bahagia menjadi istri Bang Jarung?” tanya Sindra tak kuasa menahan rasa penasarannya.

Hela terdiam. Ada pendar aneh bermain di bola matanya, namun hanya sejenak sebelum akhirnya ia tersenyum kecil. “Lenggini tidak pernah meramal hari-hari baik bagi siapapun. Tapi tidak demikian dengan istri-istri Bang Jarung. Kami semua telah diramalkan hari-hari baiknya oleh Lenggini dan itu adalah sebuah keutamaan yang luar biasa. Makanya mereka yang pada awalnya memberontak ketika dipaksa ke sini, akhirnya malah bersyukur.”

“Oya?” Alis Sindra terangkat.

“Ya. Nanti kalau kamu sudah resmi menjadi istri Bang Jarung, maka Lenggini pasti akan meramalkan hari-hari baikmu juga,” jawab Hela meyakinkan.

Sindra kembali terdiam, menatap wajah Hela penuh keheranan. Namun kini ia lebih memilih diam, menyimpan segala keheranan dan rasa penasarannya dalam hati. Setidaknya hal itu membuatnya merasa lebih aman.

@@@

Siang harinya Sindra dikejutkan oleh suara ribut-ribut di luar rumah. Dengan hati penasaran ia mengintip dari jendela. Dan makin terkejutlah gadis itu melihat Mundil sudah ada di halaman, dikelilingi oleh Jarung dan tiga anak buahnya. Agak jauh dari sana, terlihat beberapa tetangga Jarung berkerumun mengamati. Kesannya sangat jelas, mereka adalah barisan pelapis dalam melindungi dan membela Jarung jika anak buah Jarung membutuhkan bantuan.

Sindra menarik napas tegang.

“Jika kau tidak cepat-cepat enyah dari sini, maka mereka yang akan menggelandangmu beramai-ramai,” kata Jarung angkuh.

“Aku tidak punya urusan dengan mereka. Pokoknya kembalikan cucuku sekarang juga!” jawab Mundil kukuh.

“Sudahlah, Mundil. Aku sedang tidak ingin bersilat lidah denganmu.” Jarung membalik, bergegas masuk ke rumahnya.

Mundil menatapnya geram dan berniat hendak menyusulnya, tapi pada saat yang sama mendadak matanya menangkap sosok lain di balik jendela.

“Sindra!” seru Mundil berbinar. Namun belum sempat ia mengayun langkah untuk memburu ke jendela, tiba-tiba Samun, orang yang paling dekat dengan Mundil itu menjegal kakinya. Mundil pun terjerembab.

“Sindra! Cepat keluar!” seru Mundil tanpa memedulikan rasa sakit di kakinya.

Namun Sindra tak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap Mundil dalam diam. Jarung yang sudah berada di sisinya langsung memegang tangan Sindra, siap menyeretnya ke dalam kamar.

“Tidak! Aku tidak perlu dikurung seperti sandera karena aku tidak akan melarikan diri. Aku bersumpah atas nama Lenggini!” kata Sindra agak keras. “Dia adalah kakekku, tidak mungkin dia menyakitiku. Jika aku tidak mau ikut dengannya, dia juga tidak akan bisa memaksaku. Dan aku telah memilih untuk tinggal di sini demi mendapatkan ramalan hari-hari baik dari Lenggini!”

Jarung menatap gadis itu sejenak untuk meyakinkan dirinya sendiri. Seingatnya, Sindra memang tak pernah memperlihatkan perlawanan atau penolakan sejak ia bawa ke rumah ini.

“Percayalah, Bang Jarung, aku tidak berbohong. Sekali lagi aku bersumpah atas nama Lenggini,” kata Sindra memohon. “Jadi tolong juga jangan menyakiti kakekku, cukup buat dia takut agar segera pergi dari sini.”

Dan setelah Jarung melihat kesungguhan di bola mata Sindra barulah ia tersenyum sambil memanggil Samun. Sementara dua anak buahnya yang lain memegangi tangan Mundil dengan kuat.

Mundil membisikkan sesuatu ke telinga Samun yang dianggukkan oleh anak buahnya itu tanda mengerti. Setelah itu ia kembali ke halaman, melambaikan tangan ke arah tetangga-tetangga Mundil yang sudah semakin banyak mengamati dari jauh.

“Cepat ambil senjata kalian masing-masing! Kita habisi lelaki tua ini sekarang juga!” seru Samun lantang. Tanpa banyak bicara, orang-orang yang selalu mendukung Jarung itu begegas mengambil senjata masing-masing. Setelah itu mereka langsung mendekat, berkerumun mengelilingi Mundil yang tampak tertegun.

“Bangsat kau, Jarung! Pengecut! Lawan aku kalau kau berani, jangan main keroyok seperti anak kecil!” teriak Mundil sesaat kemudian. Namun kerumunan anak buah dan tetangga Jarung yang semakin mengecil, membuatnya mulai panik. Jika ia tak segera pergi, bisa-bisa tubuhnya terkepung tanpa ada celah untuk lari lagi.

“Ayo, lawan aku, Jarung keparat!” seru Mundil lagi seraya berusaha menekan rasa paniknya.

Tak ada sahutan apapun dari Jarung kecuali senyum penuh kemenangan yang disunggingkannya melalui jendela. Dan di sampingnya, ada senyum lain yang membuat Mundil seakan tak percaya melihatnya, senyum milik cucu kesayangannya, Sindra!

@@@

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun