Mohon tunggu...
Novia Syahidah Rais
Novia Syahidah Rais Mohon Tunggu... Manajer Marketing & Komunikasi -

Bukan soal siapa kita, tapi ini soal apa yang kita tulis!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dua Bayangan Lenggini (#3)

20 Januari 2015   16:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:45 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14205121951439554324

2. Perempuan Bernama Hela

“SUNGGUH, kehadiranmu telah membuat sempurna kebahagiaanku, Sindra,” kata Jarung sambil memandang Sindra yang duduk di sampingnya penuh kelegaan. “Lenggini benar-benar akan memberkatimu dan memberikan perlindungan penuh setelah pesta pernikahan kita digelar pada bulan purnama nanti. Tidak lama, tinggal enam hari lagi. Dan asal kau tahu, Sindra, inilah satu-satunya pesta pernikahanku yang diadakan pada bulan purnama, sesuai dengan amanat Lenggini. Karena setelah ini, aku tidak dibolehkan lagi untuk menikah.”

Sindra, gadis belia yang duduk di hadapan Jarung itu hanya diam menunduk. Aneh, biasanya setiap perempuan yang dipaksa Jarung ikut ke rumahnya, selalu melakukan perlawanan, setidaknya menangis tersedu-sedu mohon dipulangkan. Tapi tidak demikian dengan Sindra. Gadis itu malah tak menunjukkan reaksi apapun selain tersenyum tiap kali Jarung memuji kecantikannya. Itulah satu hal yang membuat Jarung yakin bahwa Sindra memang penyempurna kebahagiaannya.

“Sejak sampai di rumah ini, kau tidak mau bicara sepatah katapun denganku. Apakah ada yang kau pikirkan, Cantik?” tanya Jarung penasaran.

Sindra menggeleng pelan sambil mengangkat kepalanya, menatap wajah Jarung tajam. Wajah yang sebagiannya melepuh akibat luka bakar yang entah kapan dialaminya. Tampak begitu menjijikkan, namun Sindra berusaha menyingkirkan perasaan itu. Jangan pernah takut pada lelaki jahanam itu! Jangan pernah! Kata-kata itu seperti terngiang jelas di telinganya, hingga membuat Sindra jadi lebih tenang.

“Lalu kenapa? Kau tidak bahagia? Atau kau ingin sesuatu? Katakan saja, Cantik,” bujuk Jarung penuh perhatian. “Percayalah, aku tidak akan marah pada gadis secantik dan sebaik dirimu.”

Sindra tersenyum kecil.

“Aku belum pernah melihat senyum semanis senyummu, Sindra. Alangkah sempurnanya jika kau mau memperdengarkan suaramu yang lembut dan merdu itu. Ayo, bicaralah, Cantik,” pinta Jarung seakan memohon.

Sindra tidak bisa membayangkan seandainya kakek atau neneknya mendengar kata-kata Jarung barusan. Mereka pasti akan muntah atau malah meludahi muka Jarung yang cacat itu saking geramnya.

“Benarkah Kakek ingin mendengar suaraku?”

Jarung terpana. Gadis itu bicara, sangat lembut dan santun. Hati Jarung seakan ditetesi embun pagi.

“Ya, ya, tentu saja, manis. Ternyata, suaramu memang sangat merdu dan lembut. Rasanya seluruh isi rumah ini jadi terlihat semakin indah,” kata Jarung seraya menatap Sindra tak berkedip. “Tapi... tapi bolehkah aku meminta sesuatu padamu, Cantikku?”

Sindra kembali tersenyum sambil mengangguk.

“Tolong jangan memanggilku kakek. Sangat tidak nyaman rasanya di kuping. Lagi pula, bukankah sebentar lagi kita akan resmi jadi suami istri? Panggillah aku Abang. Bang Jarung. Itu akan membuatku bagai di awang-awang.”

Sindra tersenyum geli, namun di mata Jarung senyum itu terlihat seperti senyum tersipu yang menggemaskan. Turuti saja semua kata-katanya, tapi jangan pernah mau disentuh oleh tangan busuknya itu! Kalimat berisi nasihat dan penyemangat itu terus bergaung di telinganya. Kalimat yang beberapa hari sebelum ia dibawa Jarung selalu ditegaskan oleh neneknya, Kasah.

“Bagaimana? Kau mau, bukan?” desak Jarung.

“Baiklah, Bang Jarung.” Sindra mengangguk, masih dengan perasaan geli. Ternyata benar kata neneknya, Jarung adalah manusia yang tak hanya kelihatan buruk, tapi juga terlihat dungu.

“Coba, aku ingin mendengarnya sekali lagi,” pinta Jarung.

“Iya, Bang Jarung.”

Mendengar itu, Jarung langsung melorot dari tempat duduknya, bersimpuh di kaki Sindra. “Kau benar-benar permaisuri hatiku. Lenggini pasti menyukaimu jadi pendampingku.”

“Oya?” Sindra memiringkan kepalanya, membuat wajahnya terlihat kian memukau di mata Jarung.

“Tentu saja. Semua istriku harus direstui oleh Lenggini, agar mereka tetap setia mendampingiku sampai mati,” kata Jarung bangga.

Sindra yang duduk di atas kursi beralaskan bulu tebal tampak berpikir sejenak. “Bang Jarung,” katanya kemudian.

“Ada apa, Cantikku? Kau ingin mengatakan sesuatu?”

“Aku punya beberapa permintaan sebelum kita resmi menikah,”kata Sindra dengan mimik ragu-ragu.

“Katakan saja. Apapun yang kau minta, pasti akan kuberikan.” Jarung yang kulitnya sudah berkeriput di sana-sini itu benar-benar telah mabuk asmara. Keluguan Sindra membuatnya lupa akan usia, dan yang paling parah, ia lupa akan kedunguannya.

“Pertama, aku tidak mau tinggal bersama istri-istri Bang Jarung yang lain. Karena aku ingin selalu bersama Bang Jarung.”

“Jadi... kau ingin tinggal di rumah ini?” Alis Jarung berkerut. Kesembilan istrinya yang lain memang dibuatkan rumah sendiri dan mereka tinggal bersama di rumah tersebut. Jika Jarung menginginkan salah satu dari mereka, ia tinggal membawanya ke rumah pribadinya yang ia tempati sekarang.

“Bagaimana, Bang Jarung?” tanya Sindra dengan nada manja.

“Tapi... mereka pasti jadi iri padamu,” jawab Jarung terbata. Sungguh ia tak menduga Sindra akan meminta hal itu darinya. Selain melanggar tradisi yang telah ia tetapkan bagi semua istri-istrinya, hal itu juga akan sangat mengganggu kehidupan pribadinya yang selama ini sangat ia tutupi. Bahkan Samun, anak buahnya yang setia itupun tak pernah ia izinkan bermalam di rumahnya. Samun harus tidur di pondok yang letaknya agak jauh dari rumah Jarung. Konon hal itu disebabkan oleh kebiasaan Jarung yang suka tidur sambil mengigau. Ia bahkan sering berjalan-jalan di dalam rumahnya dengan mata terpejam.

“Justru itulah. Sekarang saja mereka sudah iri padaku, apalagi jika nanti kita benar-benar jadi menikah. Aku tidak mau jauh-jauh dari Bang Jarung. Jika aku tetap harus tinggal bersama mereka aku takut tidak betah dan...”

“Jangan! Kau tidak boleh pergi, Cantikku. Baiklah, kau boleh tinggal bersamaku.” Jarung memotong cepat, jelas sekali ada bias khawatir di sorot matanya.

Sindra tersenyum. “Kemudian yang kedua, aku ingin di hari pernikahan kita nanti, Kakek dan Nenek hadir di sini.”

Sekali lagi Jarung tertegun. “Tapi... apakah mereka tidak akan mengganggu?”

“Tidak. Aku yang menjamin.”

“Apakah kata-katamu bisa kupegang?” Jarung masih ragu.

“Tentu saja. Bukankah seluruh orang yang tinggal di lereng bukit ini sangat menghormati dan mematuhi Bang Jarung? Suruhlah mereka berjaga-jaga agar pesta itu berjalan aman.”

Jarung tersenyum. “Kau benar. Duh, kehadiranmu benar-benar membuatku lupa segalanya. Lalu apa lagi yang kau inginkan?”

Sindra berpikir sejenak. “Ini permintaanku yang terakhir. Kuminta dengan sangat agar Bang Jarung tidak menikahiku sebelum tiba waktunya.”

“Sebelum tiba waktunya? Maksudmu?” Jarung terlihat bingung.

“Aku belum mengucapkan janji atas nama Lenggini.”

Jarung terhenyak. “Apa? Jadi...”

“Ya. Sesuai pesan Lenggini pada seluruh penduduk di Buangan ini, seorang perempuan belum boleh menikah sebelum mendapat haid.”

“Tapi... tapi biasanya gadis seusiamu sudah mengalaminya.” Jarung benar-benar tidak menyangka.

“Tidak semua begitu. Kata Nenek, ada yang agak lama. Termasuk aku karena katanya ibuku juga begitu,” jawab Sindra cerdas.

Jarung lemas.

Jika memang demikian adanya, apa yang bisa ia lakukan? Ia tak mungkin memaksakan kehendaknya jika kehendak itu bertentangan dengan aturan yang telah digariskan oleh Lenggini. Bagi Jarung, Lenggini adalah junjungan yang tak boleh ditentang.

Entah sejak kapan Lenggini membuat aturan bahwa setiap anak perempuan yang belum mendapat haid terlarang untuk dinikahi. Dan ketika haid pertamanya datang, anak perempuan tersebut diwajibkan pergi menghadap Lenggini bersama orangtuanya untuk mengucapkan sebuah janji atas nama Lenggini.

Jika hal itu tidak dilakukan, maka Lenggini akan meramalkan hari-hari buruk bagi anak perempuan tersebut. Dan sejauh ini, aturan aneh itu selalu dipatuhi oleh semua orang di Buangan. Toh, janji yang harus diucapkan itu adalah janji untuk kebaikan, hanya saja harus atas nama Lenggini.

“Aku benar-benar tidak menyangka. Kau terlihat begitu pintar dan dewasa. Tapi ternyata...” Jarung meremas rambutnya yang memutih dengan penuh kecewa.

“Karena aku memang dipersiapkan untuk jadi pendamping yang baik bagi Bang Jarung.” Sindra tersenyum manis.

Jarung jadi gemas bukan main. Alangkah pintar gadis belia itu menggoda perasaannya. Dan satu-satunya yang bisa dilakukan Jarung hanyalah menelan ludah, menahan desakan gemas di dadanya.

@@@

(Bersambung...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun