Mohon tunggu...
Novia Syahidah Rais
Novia Syahidah Rais Mohon Tunggu... Manajer Marketing & Komunikasi -

Bukan soal siapa kita, tapi ini soal apa yang kita tulis!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dua Bayangan Lenggini (#1)

6 Januari 2015   16:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:43 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14205121951439554324



Prolog

Inilah hidup!

Jika orang lain pada akhirnya menyanjungku seperti Tuhan maka itu adalah kemalangan mereka karena sesungguhnya mereka punya pilihan lain. Tapi ketakutan, kelemahan dan kebodohan telah mempengaruhi pilihan mereka.

Di sini!

Di kaki Bukit Ramalan ini, telah kupancangkan tiang tekad dengan kuat bahwa menebarkan kesesatan adalah sebuah keharusan bagiku karena hanya dengan cara demikianlah aku bisa membahagiakan diriku dan menunjukkan pada semesta bahwa tak seorangpun boleh mengangkangi nasibku.

Akulah Lenggini!

Jika takdir bisa menyingkirkan aku dari kehidupan, maka aku pun akan menyingkirkan takdir dari keyakinan manusia karena inilah peran yang telah kupilih, kupilih karena memang aku tak punya pilihan lain.



1. Menuju Bukit Ramalan

MUNDIL melangkah cepat melintasi jalan becek yang membelah kampung Buangan. Kegelapan malam dan dinginnya angin yang berembus kencang tak sedikitpun menyurutkan niatnya. Bahkan kegelapan yang melata seakan tak menghalangi penglihatannya. Keinginan lelaki tua berperawakan tinggi kurus itu hanya satu; memberi pelajaran pada Jarung malam ini juga!

Masih terus terngiang di telinga Mundil kalimat istrinya yang penuh emosi tadi sore, saat menyusulnya ke sawah.

“Mundil! Bangun, pemalas!” seru Kasah sambil menguncang-guncang badan Mundil dengan keras.

Mundil tersentak bangun. “Apa yang terjadi?” tanyanya agak bernada tinggi. Dia memang paling benci jika tidurnya diganggu, apalagi dia baru saja bermimpi indah.

“Mendengkur saja kerjamu! Cucumu dibawa kabur oleh Jarung, kau malah enak-enak tidur di sini!” lanjut Kasah dengan nada tak kalah tinggi.

“Apa? Sindra dibawa Jarung?” Mundil makin terperanjat. Ia pun langsung duduk. Kemarahan langsung meronai wajah keriputnya. Keriput yang sesungguhnya bukan menggambarkan kerentaan, melainkan gambaran kematangan yang masih terpahat jelas di sorot matanya. “Bangsat betul dia! Apa belum cukup juga sembilan orang istrinya itu?”

“Bukan sembilan istri Jarung itu yang harus kau pikirkan! Itu urusan dia, bukan urusanmu! Sekarang yang jadi urusanmu adalah Sindra!” bentak Kasah gusar.

“Tidak perlu membentakku! Kau sendiri, kenapa kau tidak mencegahnya? Padahal itu terjadi di depan hidungmu!” hardik Mundil sambil menatap istrinya tajam.

“Enak saja kau bicara! Aku sudah berusaha, tapi anak buahnya yang bernama Samun itu mendorongku dengan sangat kuat. Apa kau tidak lihat ini?” Penuh emosi Kasah menunjuk keningnya yang terluka.

“Dasar perempuan bodoh! Seharusnya kau minta tolong ke tetangga jika tahu tubuh reotmu itu tak sanggup menghadapi mereka!” maki Mundil seraya berdiri dan bersiap untuk pergi.

“Kau yang bodoh! Apa kau sudah pikun, semua orang di Buangan ini takut pada Jarung jahanam itu! Mereka tahu Lenggini ada di belakangnya!” seru Kasah sambil mengikuti langkah Mundil dari belakang.

Mundil tak menjawab lagi. Bayangan Sindra kini lebih menguasai hati dan pikirannya. Akhirnya ia kecolongan juga setelah berminggu-minggu menjaga Sindra dengan hati-hati. Andai saja tadi aku tidak ketiduran...ah! Untuk pertama kalinya dalam hidup Mundil, ia menyesali kebiasaan tidurnya yang tak kenal waktu dan tempat itu.

“Jika tak bisa kuminta dengan cara baik-baik, maka jangan menyesal jika nanti aku mengambilnya dengan cara lain,” ancam Jarung beberapa bulan yang lalu saat ia menyatakan keinginannya untuk memperistri Sindra.

“Jangan harap kau bisa melakukannya selagi masih ada aku!” jawab Mundil gagah.

Jarung tersenyum sinis. “Kalau bukan karena menghargai usiamu yang sudah sepuh, sudah kubungkam mulutmu itu, Mundil!”

“Terimakasih atas penghargaanmu yang tak berguna itu. Aku memang paling sepuh di kampung ini, tapi kurasa kau lupa bahwa sesungguhnya usiamu lebih tua dari aku, Jarung.”

“Ya, ya, ya, aku tahu itu.” Jarung tersenyum lebar. “Tapi aku terlihat lebih muda darimu, bukan? Kau ingin tahu rahasianya, Mundil? Serahkanlah cucumu padaku, maka akan aku beritahukan sepuluh rahasia awet mudaku padamu. Sebab cucumu itu adalah pelengkap rahasia awet mudaku.”

“Aku tidak butuh apapun darimu kecuali satu, kau cepat angkat kaki dari sini!” tegas Mundil dengan geraham yang saling beradu menahan marah.

Jarung tertawa keras sambil meninggalkan halaman rumah Mundil. Geram sekali hati Mundil melihat sosok tua bangka itu. Dimana-mana yang biasa petantang-petenteng seperti itu adalah orang yang bertubuh tinggi besar dengan perut buncit dan wajah brewokan. Tapi Jarung sangat jauh dari sosok semacam itu. Tubuhnya tinggi kurus, sama seperti Mundil. Orang-orang pun akan sulit percaya bahwa lelaki tua berwajah rusak itu memiliki sembilan orang istri.

Itulah yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Dan kini, Mundil yang usianya telah berkepala tujuh itu tak bisa lagi menahan diri. Sejak tadi sore tangannya sudah gatal ingin segera mendatangi rumah Jarung yang terletak di lereng Bukit Ramalan.

Biasanya, penduduk di Buangan tak ada yang berani melewati Bukit Ramalan itu pada malam hari. Bukan takut pada hantu, melainkan demi menghindari sosok perempuan bungkuk bernama Lenggini yang dipastikan keluar dari gua kediamannya begitu matahari terbenam. Gua tempat tinggalnya itu terletak persis di kaki bukit, menghadap ke ufuk Barat.

Namun malam ini adalah malamnya Mundil. Kemarahan yang meluap telah menghilangkan rasa takutnya pada sosok Lenggini. Bayangan Sindra dengan wajah lugunya tak henti bermain di pelupuk mata lelaki tua itu. Cucu perempuannya yang masih berusia belasan tahun itu adalah cucu kesayangan Mundil. Selain cantik, Sindra juga sangat lembut dan pintar. Apapun yang diajarkan Mundil padanya selalu diingat Sindra baik-baik. Dan jika Mundil menyuruhnya mengerjakan sesuatu, Sindra tak pernah membantah. Gadis itu benar-benar baik.

Lalu bagaimana mungkin Mundil rela menyerahkan cucu tersayangnya itu pada Jarung? Sementara Jarung tak lebih dari seorang manusia buruk rupa yang setengah wajahnya cacat akibat luka bakar. Usianya juga sudah berkepala tujuh seperti Mundil. Jarung yang sehari-hari berlagak sebagai penguasa Bukit Ramalan, padahal ia tak lebih dari lelaki pengecut yang rela menjilat kaki Lenggini untuk mendapatkan perlindungan.

Ya, dialah lelaki yang paling dibenci oleh Mundil sejak dulu. Di matanya, Jarung hanyalah manusia yang bernafsu besar terhadap kekuasaan dan memiliki hasrat tinggi pada setiap perempuan yang melintas di depan hidungnya tanpa mengaca pada umurnya yang sudah tua bangka.

“Tua bangka tak tahu diri! Aku tak punya kesabaran lagi untukmu!” geram Mundil sambil mengepalkan tangannya.

Malam terus beranjak larut mengiringi langkah Mundil yang tangkas melompati beberapa kubangan kecil di tengah jalan. Hujan yang tadi sudah reda kini kembali turun berupa rintik-rintik halus, menerpa wajah legam Mundil. Seakan tak terusik, Mundil membiarkan saja rembesan air hujan di permukaan kulitnya tanpa sedikitpun berniat menghapusnya. Sepertinya air tersebut tak berarti apa-apa di tengah amukan amarah dalam dadanya.

“Bangsat!” Mundil memaki keras ketika seekor ular yang cukup besar melintas tepat di bawah ayunan langkahnya. Mundil kelabakan menghindar karena memang ia sengaja tak membawa suluh agar tak terlihat oleh siapapun.

Sebenarnya Mundil bukanlah orang yang penakut terhadap hewan semacam ular, ia malah sering memburu binatang melata tersebut untuk diambil kulit dan bisanya. Tapi kali ini lain, Mundil adalah orang yang percaya bahwa membunuh makhluk apapun ketika hendak mencapai sebuah hajat adalah perbuatan haram. Sebab hal itu bisa membuat hajatnya tak terpenuhi, sekalipun hanya sekadar membunuh nyamuk.

Ketika Mundil sudah sampai di kaki Bukit Ramalan, langkahnya dibuat agak pelan. Gua Lenggini yang terlarang untuk dilewati pada malam hari itu kini sudah mulai kelihatan. Walau bagaimanapun amarah yang menggelora di dadanya, melanggar sebuah aturan yang telah dipatuhinya sejak masih kecil ternyata bukanlah hal mudah. Tetap saja ia merasakan debar-debar halus di jantungnya ketika semakin dekat dengan gua tempat tinggal Lenggini itu.

Perempuan tua yang umurnya konon sudah ratusan tahun itu memang sudah menetapkan aturan keras pada siapapun untuk tidak mendatangi Bukit Ramalan jika matahari sudah terbenam, terlebih lagi melewati gua tempat tinggalnya. Begitupun bagi mereka yang tinggal di lereng bukit, dilarang untuk turun ke perkampungan jika malam telah menyelimuti alam.

Selama ini tak seorangpun berani melanggar aturan tersebut karena konon sudah ada beberapa orang yang menerima akibatnya ketika nekat melewati Gua Lenggini pada malam hari. Mereka rata-rata menghilang selama beberapa hari sebelum akhirnya ditemukan tewas di kaki bukit.

Jantung Mundil berdetak semakin keras ketika ia tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai di depan Gua Lenggini. “Sialan! Kenapa tidak ada jalan lain untuk naik ke lereng bukit ini?” gerutu Mundil kesal. Meski ia tak berhasil menenangkan deburan di dadanya, Mundil tetap mengayun langkahnya melewati gua tersebut.

Selangkah... dua langkah... tiga langkah...

Hening.

Kekhawatiran yang tadi sempat mewarnai perasaan Mundil mulai menyusut ketika ternyata ia bisa melewati bagian depan gua itu dengan aman. Bahkan saat jarak langkahnya dengan gua tersebut semakin jauh, Mundil sama sekali tak mengalami kejadian apapun. Senyum kelegaan perlahan terukir di bibir tuanya.

Tapi tiba-tiba, “Berhenti!”

Mundil tersentak. Secepat kilat ia menoleh berkeliling, memastikan arah datangnya suara serak tersebut. Namun belum sempat kepalanya berputar sempurna, sosok bertubuh bungkuk yang ditakuti itu telah berdiri tepat di belakangnya. LENGGINI!

Mundil ternganga tak percaya. Dan sebelum ia bisa menatap sosok itu seutuhnya, dua bayangan lain telah berdiri di belakang Lenggini. Dua bayangan yang ukurannya jauh lebih tinggi dari Lenggini. Sungguh, Mundil sama sekali tak bisa mengenali seperti apa rupa ketiga makhluk di depannya itu karena gelap yang pekat, juga karena pakaian mereka yang hitam dan nyaris menutupi seluruh tubuh mereka.

Satu-satunya yang sempat tertangkap oleh mata Mundil adalah untaian rambut Lenggini yang panjang dan menutupi sebagian mukanya. Inilah pertama kalinya dalam hidup Mundil berhadapan langsung dengan perempuan tua itu. Perempuan yang diakui oleh penduduk di Buangan sebagai Peramal Hari-hari Buruk.

Dan ternyata, nyali Mundil tidak cukup besar untuk terus bertahan di atas kedua tungkainya, sebab tiba-tiba saja ia rubuh tak sadarkan diri. Benar rupanya, sosok Lenggini dan dua bayangan di belakangnya itu memang luar biasa mengerikan bagi penduduk di Buangan, termasuk bagi Mundil.

(Bersambung ya prens... jangan kemana-mana hehe)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun