Mohon tunggu...
Novia Syahidah Rais
Novia Syahidah Rais Mohon Tunggu... Manajer Marketing & Komunikasi -

Bukan soal siapa kita, tapi ini soal apa yang kita tulis!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[HORORKOPLAK] Sosok Dalam Kaca (Hantu Kupluk Dalam Lift Koplak)

12 Januari 2017   14:37 Diperbarui: 13 Januari 2017   15:09 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi penanggungjawab bagian pemasaran di sebuah perusahaan membuatku harus sering bertemu klien, kadang di kantorku dan tak jarang di kantor klien. Seperti siang ini, Bu Tiwi ingin bertemu denganku di kantornya untuk membicarakan kerjasama pemasaran. Bu Tiwi ini adalah teman kakakku yang beberapa tahun lalu pernah main ke rumahku. Jadi sebenarnya kami sudah lumayan akrab.

Diantar mobil kantor, aku sampai di daerah Kuningan, Jakarta Selatan sekitar pukul 12.30 siang. Tidak terlalu jauh dari kantorku yang terletak di Jakarta Timur. Bu Tiwi menungguku di lobby lantai 1 dengan senyum ramahnya.

“Ayo kita langsung ke ruangan saya aja ya,” ajaknya sambil berjalan mendahuluiku. Maklum, aku baru kali ini ke kantor bertingkat 15 tersebut, jadi belum tahu di mana ruangan Bu Tiwi. Ada dua lift di gedung tersebut dan Bu Tiwi mengajakku naik menggunakan lift sebelah Timur. Di gedung ini juga ada beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran.

“Lift yang sebelah Barat itu sering rusak,” jelasnya tanpa kutanya.

“Serem dong kalau rusak, bisa mati lemes,” balasku bercanda. Bu Tiwi tertawa.

Kami memasuki ruangan kerja Bu Tiwi yang nyaman dengan pemandangan kota yang cantik. Lalu kami pun asyik membicarakan pekerjaan yang akan kami buat bersama. Termasuk rencana kantor Bu Tiwi yang akan dipindahkan ke daerah Cempaka Putih.

“Memangnya di Cempaka Putih itu sudah gedung milik sendiri, Bu?” tanyaku sambil meraih gelas minuman di meja.

Bu Tiwi tampak berpikir sebelum menjawab, “Di sana juga masih ngontrak. Tapi katanya gedung ini nggak membawa hoki pada bisnis kami.”

Aku mengerutkan alis, “Hoki?”

Bu Tiwi mengangkat bahu, “Ya gitu deh, Vi. Beberapa kontrak batal dibuat setelah klien berkunjung ke kantor yang di sini. Tidak seperti di kantor sebelumnya. Staf-staf juga banyak yang mundur padahal gaji mereka lumayan banget.”

Aku menegakkan tubuh penasaran.

“Tuh, kamu jadi penasaran kan?” Bu Tiwi tersenyum lebar.

“Hehe, iya, Bu. Kok bisa sih?”

“Jujur saja aku sebenarnya khawatir kerjasama kita pun batal setelah kamu datang ke kantor ini. Tapi aku tidak begitu percaya bahwa sebuah tempat memiliki hoki-hoki seperti kata orang. Masalahnya, Bos kami sangat percaya itu makanya dia ingin segera memindahkan kantor kami meski kontraknya masih setahun lagi,” jelas Bu Tiwi.

“Gedung ini hokinya jelek, begitu kan maksudnya?” tanyaku memastikan.

“Katanya sih begitu. Tapi aku masih belum percaya. Makanya aku memintamu untuk datang kesini, aku ingin membuktikannya sekali lagi. Jika kontrak kerjasama kita memang gagal, berarti aku harus percaya pada hoki-hokian,” Bu Tiwi menggidikkan bahu.

Aku mendekat, duduk di kursi yang persis di samping Bu Tiwi.

“Tapi…gedung ini nggak ada hantunya kan, Bu?” tanyaku agak berbisik.

Bu Tiwi tersenyum, kali ini agak jengah.

“Novi, aku percaya makhluk halus itu pasti ada. Tapi aku tidak percaya mereka bisa mendatangkan kerugian, keburukan apalagi kesialan pada kita. Kita ini manusia yang dianugerahi otak dan hati yang melebihi makhluk lain. Kenapa harus takut dan percaya sih?”

Aku menarik napas terdiam. Bu Tiwi belum menjawab pertanyaanku.

“Aku lebih takut jika lift rusak dan terkurung di dalamnya dibanding bertemu makhluk halus di gedung ini,” tambah Bu Tiwi lagi sambil tertawa kecil.

Aku tersenyum kecil, “Memangnya ada yang pernah terkurung dalam lift itu, Bu?”

“Tidak, hanya saja kadang mereka salah memencet tombolnya sehingga lift yang seharusnya turun jadi balik naik lagi atau berhenti mendadak. Tapi itu nggak lama, biasanya lift itu akan normal lagi. Jadi sama sekali belum pernah ada yang celaka dalam lift itu,” jelas Bu Tiwi lagi.

Aku kembali menarik napas, kali ini agak panjang.

“Sudahlah, jangan membahas hal-hal yang tidak bisa dinalarkan pakai logika. Kerjaan kita masih banyak ini, kita lanjut lagi ya,” Bu Tiwi menyudahi obrolan kami yang melebar kesana-kemari.

Aku tersenyum mengangguk. Ya, pekerjaan kami memang masih lumayan banyak yang harus diselesaikan agar kerjasama antar perusahaan ini bisa berjalan baik. Merumuskan beberapa strategi pemasaran hingga penanggulangan resiko kerugian.

Tak terasa matahari sudah tenggelam, otak dan badan pun mulai lelah minta diistirahatkan. Aku menelepon supir kantor untuk menjemput. Saat pamit dengan Bu Tiwi, beliau tersenyum sambil berpesan, “Jangan pikirkan apa yang tadi kita bicarakan soal gedung ini ya, anggap saja itu hanya intermezzo. Aku antar kamu sampai depan lift aja ya, Vi, aman kok, sampai di bawah sudah ada security menyambut.”

Aku mengangguk tersenyum. Ya, otak dan badan yang penat memang membuatku tak ingin memikirkan hal-hal semacam itu. Di gedung ini banyak orang yang mondar-mandir, security pun ada, kenapa harus takut?

Bu Tiwi mengantarku menuju lift sebelah Timur, lift yang tadi siang kami naiki.

“Lift yang itu rusak, Bu. Listriknya bermasalah kata bagian teknisi. Ibu naik lift yang di Barat aja,” ujar seorang karyawan yang melintas di dekat kami.

“Bukannya lift itu yang suka rusak?” Bu Tiwi terlihat kesal. “Maaf ya, Vi, atas kondisi yang nggak nyaman ini.”

“Enggak apa-apa kok, Bu,” jawabku cepat.

"Dasar lift koplak semua!" omel Bu Tiwi sambil mendengus.

“Lift Barat sudah dibetulin kemaren, Bu. Sudah bisa digunakan lagi. Hanya pintunya agak lama beberapa detik, baru terbuka, jadi sabar aja menunggu pintunya terbuka sendiri, jangan dipencet-pencet tombol pembuka pintunya, biarkan membuka sendiri,” jawab karyawan tadi memastikan.

Kami pun berjalan menuju lift di sebelah Barat. Saat pintunya terbuka, aku pun langsung melangkah masuk dan melambai ke arah Bu Tiwi. Pintu lift kembali menutup. Aku memencet tombol angka 1 dengan agak menarik napas dalam. Cerita Bu Tiwi tadi melintas lagi di kepalaku. Berada sendirian dalam lift berdinding kaca cermin sekeliling ini membuatku agak berdebar juga.

Yang membuat debar di jantungku sulit berhenti adalah lift yang selalu berhenti di setiap lantai tanpa ada yang masuk atau keluar. Wong isinya cuma aku sendiri. Sepertinya ada salah setting pada jaringan lift ini sehingga selalu berhenti di setiap lantai. Ini membuat perjalananku dari lantai 15 menuju lantai 1 terasa sangat lama. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, menatap bayanganku sendiri di kaca. Ketika lift sampai di lantai 3 hatiku mulai terasa agak tenang. Sedikit lagi sampai.

Dan begitu sampai di lantai 1 tak sabar aku menunggu pintu lift terbuka. Aku kembali memencet tombol pembuka pintu berkali-kali. Aku lupa pada pesan karyawan di lantai 15 tadi. Aku terlalu gugup sendirian dalam lift ini. Dan akibatnya, pintu bukannya terbuka malah lift kembali bergerak naik. Sial! Aku memaki panik. Seperti proses turun tadi, lift ini membuka dan menutup sendiri di setiap lantai. Bagiku yang sendirian di dalam terasa sangat horor.

Di tengah ketakutan seperti ini bisa saja aku berhalusinasi macam-macam nantinya. Terbukti aku seperti mendengar suara helaan napas padahal aku sendiri nyaris menahan napas saking tegangnya. Dan saat menoleh ke kiri atau ke kanan, tetap saja yang kulihat adalah bayanganku sendiri namun terasa mengejutkan saat saling bertatapan. Ketakutan memang bisa membuat apapun jadi seperti hantu, termasuk bayangan sendiri. Ya Tuhan, aku bahkan tak berani melihat ke belakang. Kan kata orang tua, jika kita dalam keadaan takut, jangan pernah menoleh ke belakang. Lucunya, aku percaya pada nasehat itu. Aku pun diam mematung dan berdiri sangat dekat dengan pintu lift.

Mendadak aku dapat ide, aku akan keluar saja ketika pintunya terbuka dan turun dengan tangga. Ya, ide bagus. Begitu sampai di lantai 7 pintu lift kembali membuka. Hap! Aku menghambur keluar dan reflek membalikkan badan memandang lift yang siap menutup kembali. Dan jantungku seakan copot melihat dinding kaca yang sejak tadi aku belakangi. Di dalam kaca itu ada bayangan orang padahal lift itu kosong. Ia berdiri seperti posisi aku berdiri, menghadap ke arah pintu lift. Tapi dia berada dalam pantulan kaca lift, bukan dalam ruangan lift. Jadi persis seperti bayangan orang jika berdiri dalam lift.

Pintu menutup dan aku nyaris pingsan. Dengan lutut yang terasa goyah aku berlari mencari tangga turun. Sebanyak 7 lantai aku turuni tanpa terasa, aku seperti terbang saking takutnya. Aku percaya ada yang salah dengan system pengaturan di lift itu tapi aku tak ingin percaya pada apa yang kulihat. Sosok itu seperti seorang lelaki yang memakai jaket dengan kupluk atau tutup kepala yang ditarik agak ke depan hingga wajahnya terlihat gelap. Apalagi kepalanya sedikit menunduk. Hyyy...seluruh kulitku meremang. Supir kantor yang menungguku di lobby bingung melihatku seperti orang linglung. Tapi aku tak menjelaskan apapun, aku masih berusaha menenangkan diri.

Keesokan harinya saat aku menjelaskan bentuk dan konsep kerjasama dengan Bu Tiwi, Direktur nampak antusias dan sangat mendukung. Aku lega, akhirnya proyek pemasaran kami di awal tahun ini bisa segera dijalankan. Dan saat aku menceritakan kejadian di lift itu wajah Direktur nampak serius menyimak. Dia tak bersuara sama sekali sampai ceritaku selesai.

“Kalau begitu, batalkan kontraknya! Itu sudah pertanda buruk,” kata Direktur tegas.

"Serius, Pak?" Aku terperangah. Hanya karena masalah itu kontrak dibatalkan? Proyek sebagus ini dihentikan?

“Gak hoki itu kalau awalnya sudah seperti itu!” Pak Direktur menutup pertemuan dan menyuruhku kembali ke ruanganku.

Ya Tuhan, atasanku dan atasan Bu Tiwi sama ternyata. Dengan berat hati aku pun menelepon Bu Tiwi menyampaikan keputusan atasanku.

“Tuh kan, apa yang aku khawatirkan terjadi lagi,” sahut Bu Tiwi di seberang sana. Suaranya lesu.

“Maaf ya, Bu,” kataku dengan hati berat.

“Tapi, apa betul kamu kemaren melihat bayangan di dalam lift itu?” Bu Tiwi seakan ingin memastikan.

“Iya, Bu. Sungguh! Kalau enggak buat apa aku lari dari lantai 7 ke lantai 1 tanpa berhenti sama sekali,” jawabku bergidik. Aku pun menceritakan sosok yang kulihat itu secara panjang lebar.

Bu Tiwi terdengar ketawa kecil, "Hantu kupluk dalam lift koplak dong."

Aku pun tertawa meski masih ngeri membayangkan sosok itu. “Tapi aku tetap kecewa kerjasama ini tak jadi berlanjut setelah kita membuat konsep yang begitu bagus, Bu. Tak perlu dihubungkan dengan kejadian dalam lift itu.”

“Ya, aku juga menyesalkan keputusan itu. Padahal kalau kamu bersabar sebentar menunggu lift itu terbuka di lantai 1 pasti semua akan baik-baik saja. Tombol di lift itu memang error sistemnya. Tidak boleh dipencet berkali-kali.”

“Ya itulah, Bu, aku sudah panik dan ingin buru-buru. Tapi bayangan itu benar-benar ada, Bu. Aku bahkan mendengar suara napasnya.”

“Okelah, Aku percaya sama kamu, Vi. Simpan saja cerita itu untuk kamu. Kami juga mungkin akan segera pindah. Gagalnya kerjasama dengan perusahaanmu adalah bukti terakhir yang akan jadi alasan atasanku untuk secepatnya pindah.”

Obrolan kami akhiri dan aku terdiam lama, terbayang lagi sosok itu… Sumpah, aku tak kan pernah lagi naik lift berdinding kaca!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun