Beberapa waktu lalu, jagat maya diramaikan oleh video unggahan seorang guru SMA di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Dalam videonya, ia menunjukkan lembar jawaban siswa yang tulisannya nyaris mustahil dibaca. Sebagai seorang guru, beliau mengungkapkan kekesalannya dengan cara yang jujur, tapi juga menohok. Ia memprotes mengapa siswa yang sudah duduk di bangku SMA masih memiliki tulisan seburuk itu.
Reaksi publik pun beragam. Ada yang mendukung protes guru tersebut, menganggap bahwa ini cerminan kegagalan pendidikan dasar. Namun, tak sedikit pula yang meminta empati, menyoroti tekanan yang dihadapi guru di tingkat SD hingga SMA dalam mendidik siswa di tengah keterbatasan waktu dan fasilitas.
Fenomena ini membuka mata kita pada fakta yang tidak bisa diabaikan: rendahnya literasi menulis siswa Indonesia. Masalahnya bukan sekadar tulisan tangan yang jelek, meskipun itu cukup mencolok, tetapi lebih dalam lagi, terkait kemampuan mendasar dalam menyampaikan ide secara tertulis.
Jika ditarik mundur, akar persoalan ini mungkin bermula dari pendidikan dasar. Guru SD sering kali menghadapi beban kurikulum yang padat, dengan tuntutan untuk mengajarkan banyak mata pelajaran dalam waktu terbatas. Di sisi lain, kemampuan menulis membutuhkan waktu dan latihan yang konsisten, sesuatu yang sulit dicapai jika fokus pembelajaran lebih condong pada target akademik yang abstrak daripada keterampilan dasar.
Namun, menyalahkan guru SD saja tentu tidak adil. Sistem pendidikan kita adalah sebuah rantai. Jika siswa yang masuk SMA masih memiliki kemampuan literasi yang lemah, itu berarti ada mata rantai yang rapuh di sepanjang perjalanan pendidikan mereka. Mungkin, di satu titik, siswa hanya "lulus administrasi," tanpa benar-benar menguasai keterampilan yang seharusnya.
Apa yang disampaikan Beliau sebenarnya adalah luapan kekecewaan seorang guru yang peduli. Ia menyadari bahwa pendidikan lebih dari sekadar mengisi lembar jawaban dengan kata-kata yang benar secara teori. Tulisan yang buruk mencerminkan kurangnya perhatian terhadap literasi, sesuatu yang seharusnya menjadi fokus utama di setiap jenjang pendidikan.
Ironisnya, masalah seperti ini sering kali terabaikan karena kita terlalu sibuk mengejar angka-angka dalam laporan pendidikan. Berapa nilai rata-rata sekolah? Pertanyaan-pertanyaan ini lebih sering menjadi pusat perhatian daripada hal-hal mendasar seperti kemampuan menulis, berpikir kritis, atau bahkan mengekspresikan diri dengan jelas.
Padahal, literasi menulis adalah fondasi penting yang akan membawa siswa ke tahap pembelajaran berikutnya. Tulisan bukan hanya soal huruf-huruf yang terlihat rapi, tetapi juga tentang bagaimana ide dan pemikiran dituangkan secara logis dan komunikatif. Jika siswa tidak mampu menulis dengan baik, bagaimana mereka akan menyelesaikan tugas-tugas kuliah, apalagi bersaing di dunia kerja?
Unggahan beliau harusnya tidak hanya menjadi momen viral sesaat, melainkan sebuah refleksi besar untuk semua pihak, baik guru, orang tua, pembuat kebijakan, dan masyarakat. Apa yang salah dengan cara kita mengajarkan menulis? Apa yang perlu diubah agar siswa tidak hanya lulus secara administratif, tetapi juga benar-benar siap menghadapi dunia nyata?
Mungkin, sudah saatnya kita berhenti melihat pendidikan sebagai sekadar serangkaian pencapaian angka. Mari kembali ke dasar. Ajarkan anak-anak untuk menulis, membaca, berpikir, dan berkomunikasi. Karena, seperti yang ditunjukkan oleh video guru tersebut, masalah kecil seperti tulisan jelek bisa menjadi gambaran nyata tentang betapa kita sering melupakan hal-hal yang sebenarnya paling penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H