Mohon tunggu...
Siti Nofiati
Siti Nofiati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru biasa yang senang menulis hal hal yang luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lidah Gus yang Panas untuk Es Tehku yang Dingin

4 Desember 2024   21:27 Diperbarui: 4 Desember 2024   21:58 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di bawah rinai hujan, seorang ayah berjuang. Berbekal nampan kayu, ia berkeliling menawarkan es segar, menembus tetesan air hujan dan kerumunan orang demi beberapa ribu rupiah. Bagi sebagian orang, es itu hanya pelepas dahaga. Tapi bagi pria ini, es adalah harapan.  Harapan untuk menyekolahkan anak-anaknya, harapan agar dapurnya tetap mengepul, harapan agar keluarganya tetap bertahan.

Namun, di sebuah forum yang dianggap "pengajian atau majelis ilmu," seorang yang dipanggil Gus, sosok yang seharusnya menjadi panutan, yang namanya melekat dengan gelar "kyai" menjadikan sosok pria sederhana ini bahan candaan. Tawa pun pecah, seperti mereka baru saja mendengar humor paling lucu abad ini. Sedangkan pria sederhana itu hanya tersenyum getir.

Mari kita hening sejenak dan merenung. Dalam Islam, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam." Tapi sayangnya, Gus kita ini tampaknya lupa. Atau mungkin memilih lupa? Bagaimana mungkin seseorang yang diagungkan untuk menjadi contoh justru melontarkan kata-kata yang lebih tajam dari pisau tukang es? Jika kata-kata baik sudah habis dalam stoknya, kenapa tidak memilih diam saja? Atau mungkin, baginya diam itu terlalu rendah dibandingkan gelar "Gus" yang ia emban?

Gus yang seringkali dianggap guru karena ia memberikan ilmu agama dalam berbagai majelis ilmu. Dalam budaya jawa, guru itu digugu lan ditiru. Tapi bagaimana kita mau menggugu, apalagi meniru, seseorang yang menjadikan hinaan sebagai materi ceramahnya? Kalau seorang guru tugasnya adalah mendidik, lantas apa yang Gus ini ajarkan? Bahwa kita boleh merendahkan orang lain selama itu mengundang tawa? bagaimana kita bisa mempercayai seorang yang lidahnya ringan mengejek? Kalau bicara sembarangan adalah keahliannya, maka ia lebih cocok jadi pelawak daripada ulama.Wah, kalau begitu, kita semua pasti sudah lulus jadi murid Gus ini tanpa perlu belajar.

Yang paling ironis, Gus itu mungkin lupa bahwa Nabi Muhammad SAW juga pernah menjadi pedagang. Bahkan, pedagang yang penuh kejujuran. Kalau Rasulullah hidup di zaman ini, mungkinkah beliau juga jadi bahan olokan Gus tersebut karena "hanya" berdagang? Es yang dijual pria itu mungkin tidak mahal, tetapi martabatnya jauh lebih berharga daripada tawa murahan si Gus. Sebab, setiap tetes keringatnya adalah bentuk ibadah. Dan setiap tawa hinaan Gus, apakah itu juga bentuk ibadah? Mungkin Gus perlu belajar lebih dalam, bukan hanya tentang agama, tetapi juga tentang rasa. Rasa empati, rasa hormat, dan rasa tahu diri. Kalau tidak bisa berkata baik, Gus, lebih baik diam. Karena es yang dijual bapak itu lebih dingin daripada hatimu, dan, jujur saja, jauh lebih manis daripada perilakumu.

Kita bisa belajar banyak dari bapak penjual es. Ia tak punya gelar besar, tapi hatinya penuh dengan ketulusan. Ia tak berbicara tentang agama, tapi setiap langkahnya adalah bentuk ibadah. Ia tak pernah menghina, karena ia tahu perjuangannya sendiri sudah cukup berat. Jadi, mari kita bertanya: siapa sebenarnya yang lebih mulia? Seorang bapak sederhana yang berjuang dengan peluh dan doa, atau seorang Gus yang sibuk menghina sambil mengaku dirinya panutan? Jawabannya jelas, dan Gus itu mungkin takkan suka mendengarnya.

Untuk Gus kita tercinta, mungkin ada baiknya Anda berhenti sejenak, menatap cermin, dan bertanya: Apakah sikap saya ini sudah sesuai dengan ajaran Rasulullah? Kalau jawabannya tidak, mungkin Anda butuh merenung, atau lebih baik lagi, belajar dari bapak penjual es itu. Karena dalam keheningan keringatnya, ia lebih dekat dengan surga daripada kata-kata Anda yang dingin dan hampa. Dan untuk kita semua, mari jadikan cerita ini sebagai pelajaran. Bahwa gelar bukan jaminan kemuliaan. Bahwa yang kita hina hari ini, bisa jadi lebih mulia di mata Tuhan daripada kita yang sibuk tertawa. Dan bahwa es yang dijual bapak itu, meski dingin, masih lebih hangat daripada hati si Gus yang lupa jalan pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun