Mohon tunggu...
Siti Nofiati
Siti Nofiati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru biasa yang senang menulis hal hal yang luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Standar Deviasi Pendidikan Berujung Kesenjangan Digital?

21 November 2024   12:56 Diperbarui: 21 November 2024   13:19 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kamu pasti udah sering denger kalimat, "Teknologi berkembang pesat." Ya, jelas banget, apalagi kalau liat gadget terbaru yang keluar tiap bulan, update software yang hampir tiap bulan. Tapi, di tengah kemajuan teknologi yang gila-gilaan, ternyata masih ada aja yang gak ngerti cara pakai mouse. Iya, kamu nggak salah baca, mouse komputer. Bahkan ada yang masih angkat mouse dan geser dengan cara yang, uh, nggak banget. Alih-alih geser mouse di atas meja, dia angkat dan gerakin mouse-nya ke sana-sini kayak mobil mainan yang lagi dipandu remote control. Saya nggak bohong. Ini kejadian nyata, terjadi sama murid teman saya, dan ini bikin saya merasa dunia seperti ingin meledak. Di satu sisi, kita udah berada di era di mana hampir semua orang punya smartphone dengan layar sentuh. Tapi di sisi lain, masih ada yang nggak ngerti cara pakai mouse komputer dengan benar. Welcome to the future, ya?

Mungkin kamu mikir, "Ya, itu kan masalah yang sepele. Harusnya mereka cepat belajar dong!" Ya, tentu saja. Tapi coba bayangin, kalau yang nggak tahu cara pakai mouse ini adalah murid-murid di daerah tertentu, sementara di kota besar anak-anak udah belajar coding, jadi developer, atau bahkan bikin aplikasi. Itu artinya, kesenjangan digital kita makin lebar aja. Ini bukan cuma soal mouse, lho. Ini soal kesempatan, akses, dan pemahaman teknologi yang sekarang udah jadi kebutuhan dasar. Kalau kamu nggak bisa ngerti cara pakai perangkat digital, gimana kamu bisa maju di dunia yang serba digital ini?

Bicara soal pendidikan, apalagi program coding di sekolah-sekolah SD yang sekarang lagi digalakkan, ternyata masih jadi barang langka di banyak daerah. Bayangin, di satu sisi, ada kota-kota besar yang udah mengintegrasikan teknologi dalam setiap aspek pendidikan. Di sisi lain, masih banyak sekolah di pelosok yang, ya, murid-muridnya cuma kenal komputer dari jauh, apalagi ngekode. Menteri Pendidikan, kalau Bapak cuma fokus di kota besar atau daerah unggulan, rasanya jauh banget deh dari apa yang dibutuhkan di lapangan. Coba sini main ke Jawa Tengah pelosok. 

Nah, coba bayangin konsep standar deviasi dalam statistik. Untuk yang gak ngerti, standar deviasi itu mengukur seberapa besar variasi atau penyimpangan data dari nilai rata-rata. Nah, kalau disamain ke pendidikan, kesenjangan teknologi ini ibarat nilai standar deviasi yang kebangetan. Di satu sisi, ada anak-anak yang udah bisa bikin aplikasi Android di usia 12 tahun, di sisi lain, ada yang bahkan nggak tahu cara buka laptop dengan benar. Jauh banget kan? Kesenjangan ini sebenarnya nggak cuma masalah fasilitas, tapi juga akses dan pemahaman. Kenapa? Karena banyak daerah yang nggak dapat akses ke pelatihan teknologi atau bahkan perangkat yang memadai. 

Jangankan komputer, kadang listrik aja masih jadi barang langka. Jadi, program coding yang di-rolling untuk seluruh SD di Indonesia itu cuma mimpi indah kalau kementerian hanya fokus ke kota-kota besar yang udah melek teknologi. Oke, saya ngerti kalau pemerintah mungkin ngerasa perlu fokus ke daerah yang udah punya potensi lebih dulu seperti kota-kota besar dengan fasilitas lengkap. Tapi serius deh, kalau mereka cuma melihat yang udah unggul, lalu program coding cuma jadi tren di kota besar, kita cuma bakal makin jauh dari cita-cita meratakan pendidikan digital di seluruh Indonesia. Ini bukan cuma soal teknologi, tapi soal memberi kesempatan yang sama buat semua orang, dimulai dari yang paling dasar.

Coba deh bayangin, kalau semua SD di Indonesia bisa mengakses program coding yang diajarkan dengan cara yang setara, nggak cuma anak-anak kota yang punya kesempatan untuk jadi coder atau software engineer. Sebaliknya, kalau kita terus melupakan daerah-daerah yang lebih terpencil, ya jangan harap deh bisa punya generasi coder yang merata. Ini kayak main basket, kalau cuma pemain top yang main di lapangan utama, tim cadangan yang nggak pernah dapet kesempatan latihan, ya nggak bakal jadi juara juga, kan? Mungkin yang perlu kita coba adalah untuk mulai menilai dan merencanakan program digital secara menyeluruh. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan perusahaan teknologi harus bersinergi agar akses pendidikan digital bisa sampai ke semua lapisan. 

Jangan cuma melihat daerah yang "unggulan" karena nilai ujian nasional atau prestasi akademik. Harus ada pemetaan yang lebih adil, supaya yang ada di daerah terpencil pun bisa mengakses pelatihan teknologi yang sama. Jadi, kalau kamu yang baca artikel ini merasa udah jago banget pakai mouse, atau udah bisa coding semudah sarapan, coba deh ingat-ingat bahwa masih banyak yang belum punya kesempatan sama. Kita mungkin udah bisa bikin aplikasi yang keren, tapi masih ada yang bingung buka aplikasi itu pakai mouse. Nah, sebelum merasa canggih banget, mari kita pikirin bersama-sama, gimana caranya bikin dunia digital ini bisa diakses sama semua orang, nggak cuma yang tinggal di kota besar doang. So, next time kamu ketemu orang yang masih angkat-angkat mouse, sabar aja. Mungkin mereka belum siap untuk ikut kecepatan teknologi yang udah berkembang secepat itu. Tapi hey, bukan berarti kita nggak bisa bantu mereka belajar, kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun