Oke, mari kita mulai dengan sebuah pertanyaan serius: Kenapa di era yang serba digital ini, masih ada anak-anak sekolah dasar yang belajar penjumlahan dengan cara manual? Bayangkan, di satu sisi kita sudah punya teknologi canggih yang bisa mengubah cara kita bekerja, bermain, dan bahkan berbelanja. Sementara itu, di sisi lain, anak-anak kita masih sibuk mengerjakan soal matematika dengan kalkulator manual... atau bahkan tanpa kalkulator sama sekali. Selamat datang di dunia pendidikan yang penuh dengan kesenjangan! Namun, hari ini kita nggak akan bicara tentang kalkulator. Kita akan bicara tentang hal yang lebih seksi, yaitu coding. Yup, pemrograman komputer. Itu loh, yang bisa bikin anak SD kita jadi programmer cerdas seperti Mark Zuckerberg... atau, lebih realistisnya, bisa bikin mereka ngerti sedikit tentang cara kerja teknologi yang mereka pakai sehari-hari. Tapi, mari kita perjelas: Akses pendidikan yang adil di Indonesia untuk penerapan coding di sekolah dasar itu masih jauh panggang dari api, bro. Coba kita lihat apa yang terjadi di lapangan.
- Sekolah Desa VS Sekolah Kota.
Kalau kamu tinggal di kota besar, kemungkinan besar anak-anak sekolah dasar sudah mulai kenal dengan coding lewat aplikasi atau platform seperti Scratch, Code.org, atau bahkan kursus coding di tempat les. Tapi, kalau kamu pergi ke pelosok desa atau daerah yang kurang berkembang, kamu akan menemukan bahwa anak-anak masih belajar tentang dunia yang jauh lebih sederhana: "Ayo anak-anak, tulis nama kalian di papan tulis!". Yap, that's right! sekolah mereka mungkin belum punya komputer, apalagi jaringan internet yang cukup untuk belajar coding. Tentu saja, guru-guru di desa juga berusaha keras, tapi jangan harap mereka punya pelatihan atau akses ke perangkat teknologi yang memadai untuk mengajarkan coding. Sementara anak-anak di kota sudah belajar bikin aplikasi, anak-anak di desa masih sibuk bertanya, "Pak, apa itu komputer?"
- Guru yang Hobi Baca Buku tapi Gaptek.
Di sisi lain, kita juga harus bicara soal guru-guru yang sudah sangat berkharisma dalam mengajar, tapi buta teknologi. Bukan karena mereka nggak pinter, tapi karena fasilitas dan pelatihan yang kurang. Misalnya, ada guru SD yang selama bertahun-tahun mengajar dengan spidol dan papan tulis, tiba-tiba diminta untuk ngajarin coding. Ya, nggak heran kalau akhirnya mereka malah bingung, "Coding itu apa sih, Pak?" dan jawabannya, "Ya... pokoknya kalau di komputer tuh ngetik gitu." Keterbatasan pelatihan guru ini jadi masalah besar. Karena tanpa pelatihan yang baik, bagaimana mereka bisa ngajarin anak-anaknya? Ada yang akhirnya nekat ajarin "Hello World!" di komputer yang sudah berusia 10 tahun. Itu pun pakai Microsoft Word, bukan software coding!
- Keterbatasan Perangkat.
Sekarang, mari kita bicara soal perangkat. Ini juga topik yang nggak kalah seru. Beberapa sekolah memang dapat bantuan dari pemerintah untuk perangkat teknologi tapi, itu pun kadang-kadang cuman "komputer bekas" yang nggak sanggup menjalankan aplikasi coding yang modern. Ya, komputer itu masih lebih cocok untuk nge-print raport anak-anak daripada buat belajar coding. Kadang-kadang komputer di sekolah itu sudah berumur lebih dari 10 tahun dan berjalan lebih lambat dari semut yang lagi tidur. Tapi ya, entah kenapa, tetap saja ada yang berharap anak-anak bisa bikin game atau aplikasi yang canggih. Yang ada, komputer nge-hang, anak-anak bingung, dan akhirnya mereka semua kembali ke buku tulis untuk belajar "menulis dengan rapi".
- Keterbatasan Biaya
Jangan salah paham, sih, coding itu bisa banget diajarkan dengan cara yang menyenangkan dan mudah dipahami, terutama dengan alat bantu seperti Scratch. Tapi, masalahnya adalah biaya. Sekolah-sekolah di daerah dengan dana terbatas pasti akan kesulitan untuk menyediakan alat yang diperlukan, entah itu komputer, software, atau koneksi internet yang stabil. Bayangkan, untuk satu kelas berisi 30 anak, kalau satu anak diberi laptop atau tablet buat belajar coding, berapa banyak uang yang dibutuhkan? Kalau dihitung-hitung, mungkin uang segitu bisa dipakai buat beli sepeda motor bekas yang bisa dipakai buat nganterin guru ke sekolah yang jauh.
- Keterbatasan Akses Internet
Satu lagi yang nggak kalah penting: akses internet. Coding butuh internet atau setidaknya sumber daya yang bisa diunduh dan dipelajari secara offline. Tapi, kalau jaringan internet di sekolah saja sering hilang dan datangnya lebih lama dari tukang becak yang nunggu penumpang, ya bisa dibayangkan seperti apa kondisi belajar coding di sana. Di kota-kota besar, anak-anak bisa belajar lewat platform online yang menyediakan kursus coding gratis. Di pedesaan? Mungkin mereka baru belajar cara mendengarkan suara modem dial-up yang berderit.
Jadi, sementara dunia teknologi melaju pesat, dunia pendidikan kita malah kayak naik sepeda motor tua yang mesinnya suka mogok. Coding di sekolah dasar adalah ide yang sangat bagus, bahkan penting di zaman serba digital ini. Tapi untuk mewujudkannya, kita harus memperhatikan kesenjangan akses dan keterbatasan fasilitas yang ada. Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Dengan adanya program pemerintah dan swasta yang berfokus pada pelatihan guru, penyediaan perangkat teknologi, serta penyebaran akses internet ke daerah-daerah terpencil, kita bisa berharap generasi muda Indonesia tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tapi juga pencipta teknologi. Tapi untuk saat ini, mungkin kita masih harus sabar. Sabar menunggu, sabar dengan kesenjangan, dan sabar... dengan komputer yang butuh waktu setengah jam hanya untuk buka halaman Google. Selamat berjuang, dunia pendidikan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H