Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen : Kereta Termanis

11 Desember 2024   15:55 Diperbarui: 11 Desember 2024   19:20 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seberkas sinar mentari di awal sore ini menusuk wajahku, membuatku terbangun dari tidur. Meski sinarnya tak begitu menyilaukan mata, namun kehangatannya membuatku merasa sedikit tidak nyaman.

Bahu kiriku terasa berat, rupanya suamiku juga tertidur. Entah sejak kapan dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku hanya dapat melirik sekilas wajahnya yang lembut, dan perlahan memperbaiki letak kaca matanya yang mulai merosot.

Tapi aku tidak tahan untuk tidak menyentuh wajah itu, wajah yang bagiku sangat menggemaskan. Aku pun tersenyum sendiri saat menyentuh wajahnya, orang bodoh mana yang ketiduran ketika seharusnya kami bisa menikmati sepanjang perjalanan ini.

Sampai akhirnya lamunan membawaku pada kenangan lima tahun yang lalu. Saat pertama kalinya kami berbincang di atas kereta ini, kereta yang sama. Dia tak pernah tahu bahwa waktu itu, aku harus bekerja keras mengendalikan degup jantungku saat aku nekat duduk di sampingnya.

Hari ini, aku dan dia kembali duduk bersama di kursi kereta ini, persis di sini, di tempat kami duduk waktu itu. Bagiku, ini adalah kereta termanis yang pernah kunikmati selama hidup. Ku hela nafas, dan meyakinkan diri sepenuhnya bahwa ini bukanlah mimpi. Dan lamunanku berakhir saat dia mengambil tanganku untuk digenggamnya.

"Tadi kamu tidur duluan, makanya aku ikut tidur." ucapnya sambil mengangkat kepala dari bahuku.

Dia selalu menjelaskan sesuatu yang belum sempat aku tanyakan. Hebatnya, dia selalu tahu apa yang akan ku tanyakan padanya. Aku pun hanya tertawa mendengar ucapannya tadi.

"Bisa lepasin dulu tanganku? Aku mau ambil roti."

"Ngga bisa! Nanti saja ambil rotinya." jawabnya santai sambil menjatuhkan kepalanya lagi di bahuku, dan tangannya semakin mengeratkan genggaman tangan kami.

"Jangan tidur lagi!" pintaku, dan dijawab hanya dengan tawanya yang renyah.

Aku sangat beruntung memilikinya, dia selalu berhasil membuatku tertawa dengan segala tingkah aneh dan ucapannya yang sering tak terduga. Padahal dulu ku pikir, bicara dengannya sama saja seperti mengajak bicara batu nisan di kuburan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun