"Jadi karena itu, kamu mau...."
"Aku belum selesai ngomong, Bu. Hendra memang mau menikahi aku, tapi aku menolak. Aku juga sudah muak dengan semua kerjaanku. Aku mau pergi dulu, dan kembali saat aku tau, apa yang bisa aku lakukan di sini."
Semua kembali terdiam, terasa kebingungan melanda dalam benak mereka. Tak tahu harus mengatakan apa setelah mendengar penjelasanku.
Hingga adikku yang paling muda, Rio, bertanya padaku, "Kenapa Mbak ngga mau nerima Mas Hendra?"
"Kamu rela Mbakmu jadi istri kedua, Yo?" seraya ku hentakkan pisau roti yang baru ku gunakan untuk mengoleskan selai.
"Ops. Sorry!" jawab Rio singkat.
"Ya sudah, lakukan apa saja yang kamu mau. Kamu berhak atas seluruh hidup kamu, Em. Selama ini kamu sudah sangat bertanggung jawab untuk kami. Ibu ngerti kejenuhan kamu. Pergilah dulu, asal kamu tetap ingat untuk pulang."
Sekuat hati ku tahan air mataku, jangan sampai aku terbawa emosi dan menangis di hadapan ibu dan adik-adikku. Entah kapan aku bisa kembali di tengah-tengah mereka seperti pagi ini.
Aku juga sangat mencintai Hendra, aku sudah jatuh hati padanya sejak usiaku masih dua puluh tahun. Sejujurnya aku tak pernah perduli ia mau menjadikanku istri kedua, atau ketiga, terserah. Saat ini aku hanya tidak ingin dia terbebani dengan apa yang sedang menimpaku.
Kalau bukan karena aku yang ditugaskan sebagai pengawas di proyek sialan itu, aku tidak akan sampai terseret kasus ini. Lagi pula sepeserpun aku tidak pernah menikmati uang haram itu. Lihat saja, akan ku bongkar semua kebusukan mereka. Mereka yang sebenarnya terlibat suap, sungguh patut diseret ke neraka.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H