Risa menatap kanvas putih di depannya. Langit senja di luar jendela studionya memancarkan semburat warna jingga yang sempurna, namun hatinya masih terasa kosong.
Belakangan ini Risa kehilangan inspirasi. Meskipun ia pelukis berbakat yang sudah sering diundang untuk pameran, ada sesuatu yang membuatnya sulit memulai. Terkadang, ia merasa lukisannya tak cukup menyampaikan isi hatinya.
Suara langkah kaki terdengar dari pintu studio yang setengah terbuka. Risa berbalik dan melihat seorang lelaki tinggi dengan pakaian lusuh berdiri di ambang pintu. "Maaf, apa saya boleh masuk?"
Risa mengenalnya, lelaki itu adalah Geri, seorang gelandangan yang sering duduk di pojok jalan dekat studionya. Ia sering melihat lelaki itu memperhatikan karyanya dari jendela, tapi mereka belum pernah berbicara sebelumnya.
"Silakan," jawab Risa tersenyum.
Geri melangkah masuk meski agak canggung. Ia melihat sekeliling studio dengan kekaguman, matanya terpaku pada deretan lukisan Risa yang terpajang di dinding. "Kamu yang melukis semua ini?"
"Iya, aku suka melukis. Tapi akhir-akhir ini, rasanya aku sulit mendapat inspirasi."
"Mungkin kamu butuh sesuatu yang beda. Dunia ini kan penuh warna, tapi terkadang kita harus melihatnya dari sudut yang lain."
Risa tersenyum, tak menyangka lelaki itu berbicara dengan bijak. Mereka menghabiskan sore itu dengan berbincang tentang seni, dan kehidupan. Risa merasa nyaman dengan Geri, meskipun Geri hidup di jalanan, namun ia memiliki pandangan hidup yang dalam.
Hari demi hari, Risa dan Geri menjadi semakin dekat. Geri sering datang ke studio, dan Risa mulai mendapatkan kembali inspirasinya. Mereka berbicara tentang segalanya, dari impian Geri yang terkubur karena kesulitan hidup hingga masa kecil Risa yang penuh kenangan manis. Perlahan, satu perasaan tumbuh di hati Risa.