Baca sebelumnya :Â Serat-serat LukaÂ
Hana duduk di meja makan yang terletak di sudut dapur, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Pikirannya tak henti berputar mengingat pertemuannya dengan Aditia di ruangan manajer waktu itu.
Suara panci dan wajan yang berdenting terdengar di latar belakang, namun fokus Hana berada jauh dari hiruk-pikuk dapur.
Hana masih memikirkan sedikit perbincangannya dengan Aditia waktu itu. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya kepada siapapun, terutama kepada Aditia. Namun, saat ini hatinya terasa begitu hampa, seolah ada lubang besar menganga di dalam dirinya.
Tanpa disadari, air mata menetes di pipinya. Hana cepat-cepat mengusapnya dengan punggung tangan. Jelas ini bukan pertama kalinya ia menangis karena lelaki itu, dan Hana juga yakin tangisan ini bukan yang terakhir kalinya.
"Hana, ada apa?" suara dari belakangnya mengagetkan. Ada Nisa berdiri di sana memandang heran, "Kamu ngga apa-apa?"
Hana pun tersenyum, "Aku ngga apa-apa, Nis. Cuma capek aja."
Nisa menatap ragu, "Kamu yakin? Kalau ada apa-apa, cerita aja ya Han!"
"Iya, aku tau. Makasih ya Nis." jawab Hana dengan suara yang berusaha terdengar tegar.
Nisa masih tampak tidak yakin, tapi dia memutuskan untuk tidak memaksa Hana untuk bercerita.