Marah Roesli atau sering kali dieja Marah Rusli atau Mh. Rusli lahir pada 7 Agustus 1889 dan wafat pada 17 Januari 1968, adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. Beliau terkenal karena karyanya Sitti Nurbaya (roman) yang diterbitkan pada tahun 1922. (wikipedia)
Pada bagian sampul novel Memang Jodoh, tertulis bahwa novel ini adalah novel terakhir dari Marah Rusli. Novel yang sudah saya baca ini merupakan cetakan pertama, tertera bulan Mei 2013 dan diterbitkan oleh Penerbit Qanita, bagian dari grup PT. Mizan Pustaka.
Novel yang terdiri dari 536 halaman ini, diberi kategori Fiksi Indonesia, meski sebenarnya novel ini merupakan kisah semiautobiografi Marah Rusli yang dalam perannya disamarkan dengan nama Marah Hamli.
Memang Jodoh telah menjadi sebuah warisan berharga bagi dunia sastra Indonesia. Pada bagian sampul depan-belakang dan halaman awal buku, kita dapat menemukan pujian untuk novel ini yang ditulis oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma dan Sapardi Djoko Damono, serta penulis Tasaro GK.
Rully Roesli yang merupakan cucu dari Marah Rusli, ikut menyumbangkan tulisannya dalam 7 (tujuh) halaman pembuka novel ini. Beliau mengisahkan kenangannya bersama sang Atok pada masanya Memang Jodoh sedang ditulis.
Novel yang sebenarnya telah rampung ditulis pada awal tahun 1960-an ini, ditulis Marah Rusli sebagai hadiah yang sangat istimewa untuk sang istri, Raden Ratna Kancana dalam momen ulang tahun ke-50 pernikahan mereka pada 2 November 1961.
Sisi menarik yang paling menonjol dalam novel ini ialah, bahwa sebenarnya Marah Hamli tidak pernah berniat untuk melanggar adat tanah kelahirannya. Jalan hiduplah yang pada akhirnya membuat ia memutuskan untuk melanggar adat.
Adat Minang yang mengikat erat, telah menjerat langkahnya dalam mencapai cita-cita. Sehingga Hamli terpaksa melanggar adat yang berlaku, ia pun pergi merantau demi menimba ilmu. Dengan beasiswa yang didapatnya dari pemerintah Belanda.