Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menyikapi Teman dan Saudara yang Pinjam Dulu Seratus

7 Februari 2024   12:23 Diperbarui: 7 Februari 2024   12:32 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: SHUTTERSTOCK/MACIEJ MATLAK

"Musik yang haram adalah suara sendok dan garpumu ketika makan, tetapi tetanggamu kelaparan." (Habib Jafar)

Menjelang pesta (yang katanya) demokrasi, harga kebutuhan pokok tampaknya semakin tak terkendali. Seolah ikut bergejolak dalam kegalauan eksistensi demokrasi. Di sekitar tempat tinggal kami kabupaten Bogor, 1 liter beras yang biasanya paling murah bisa didapat dengan harga Rp 11.000 kini naik menjadi Rp 13.000 hingga Rp 13.500,- Keren ya? Rasanya tidak puas kalau belum menekan rakyat kecil.

Menyikapi kondisi yang seperti ini, rasanya kurang tepat kalau kita menyalahkan teman atau saudara kita yang terpaksa pinjam dulu seratus dikarenakan gaya hidup mereka yang boros. Fakta di lapangan mengungkapkan, tak terpikir untuk hidup berlebih-lebihan karena untuk mencukupi kebutuhan pokok saja sudah ngos-ngosan.

Baca juga: Dulu Kita Teman

Disebabkan upah minimum provinsi para pekerja tidak sebanding dengan harga kebutuhan pokok yang harganya kadang naik dan turun sesuka hatinya saja. Lagipula ini zaman now, bukan zaman batu yang tentu saja membawa pengaruh. Tak jarang kita dituntut harus mengikuti perkembangan zaman yang sebetulnya kerap kali menyengsarakan kalangan tertentu. Bagaimana mau berpartisipasi dalam pembelajaran online jika tidak punya smartphone atau laptop yang memadai? Begitulah kira-kira contoh kecilnya. Nelangsa melanda para orangtua dan siswa-siswi yang berada di kalangan ini.

Sering kita mendengar kalimat, "Si anu ngga pernah kontek, sekalinya kontek mau pinjam duit." Bagi saya pribadi, kalimat tersebut hanya perlu ditanggapi dengan senyuman.

Dalam hati saya hanya berandai-andai bagaimana jika saya yang berada di posisi kesulitan tersebut, bagaimana rasanya jika tidak direspon. Pasti sedih dan kecewa bercampur aduk, padahal sudah terpaksa mengesampingkan rasa malu demi memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Belum sampai satu bulan, tapi gaji sudah habis duluan. Padahal menjalani hidup pun rasanya sudah sangat berhemat.

Maka jika memang saya tidak dapat membantu teman atau saudara yang kesulitan dalam hal ini, saya akan tetap merespon pesannya dengan kalimat yang sopan. Tidak akan saya biarkan orang tersebut menerka-nerka sendiri mengapa saya tidak merespon pesan mereka. Hal tersebut hanya akan membuat mereka semakin kalut. Karena perasaan seseorang pada posisi ini biasanya sangat sensitif dan baper. Siapa sih yang kepingin hidup susah? Tentu jawabannya tidak ada. Kita sama sekali tidak berhak mengomentari apalagi menyalahkan jalan hidup seseorang sekaligus meremehkannya. Jika tidak dapat membantu secara materi, minimal kita tidak semakin melukai perasaannya.

Namun jika saatnya nanti kita memiliki kemampuan untuk membantu mereka, ada baiknya benar-benar diiringi dengan hati yang ikhlas dan tulus menolong. Sehingga jika di kemudian hari meleset dan berjalan tak sesuai perjanjian, hati telah lapang untuk menganggapnya sebagai sedekah.

Roda kehidupan akan terus berputar. Ada saatnya kita di atas begitupun ada saatnya kita di bawah. Tidak perlu merasa diri kita sudah jadi yang paling benar. Orang hidup pasti pernah punya hutang, kalau tidak... ya Alhamdulillah wa syukurillah.

Semoga bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun