Saat merapikan isi lemari atau laci di rumah, terkadang tak sengaja kita menemukan beberapa benda antik yang ikonik pada masanya. Sekejap membuat kita terbawa dalam ingatan masa lalu. Jika masih ingin menyimpan benda tersebut sebagai kenang-kenangan, biasanya kita akan memindahkannya ke tempat yang lebih aman agar tetap terjaga dari kecacatan fisik. Seperti menghindarinya dari bahaya jatuh dan lecet.
Benda ikonik pertama yang masih saya simpan baik-baik hingga kini adalah pager. Si kuning keluaran Motorola ini, populer di Indonesia pada tahun 1990an. Dengan perusahaan yang pertama kali memperkenalkannya adalah PT. Motorollain Corporation atau lebih dikenal dengan nama Starko.
Pager atau penyeranta, menggunakan pengiriman pesan dengan jaringan satelit. Untuk dapat menerima pesan dalam pager, tentunya si pengirim pesan harus menelepon lebih dulu ke nomor operator Starko untuk mendiktekan isi pesannya yang kemudian diketik oleh seorang operator. Dalam hitungan detik, pesan pun sampai di layar pager si penerima. Jadi, kalau zaman dulu pacaran lewat pager, mungkin si Mas dan Mba operatornya bakal nahan tawa dengar pesan-pesanmu yang berbau kebucinan.
Si kuning Motorola ini, saya sampai lupa tipe berapa ya... Saya mendapatnya di tahun 1998 atas pemberian dari Ibu. Kalau anak SD zaman now sudah punya smartphone, dulu kelas 3 SD saya sudah punya pager. Diberikan bukan tanpa alasan, kala itu kedua orangtua sama-sama bekerja dan menitipkan saya kepada nenek, agar dapat selalu mengetahui kabar mereka di luar maka itulah saya diberikan pager. Syaratnya tidak boleh dibawa ke sekolah, hanya berfungsi di rumah saja.
Saking populernya pager pada masa itu, grup vokal bernama "Sweet Martabak" sampai merilis singlenya yang bertajuk "Tidit... Pagerku Berbunyi" generasi 90an pasti tahu betul lagu itu. Namun seiring waktu, keberadaan pager pun akhirnya tergerus oleh zaman ditandai dengan menutupnya perusahaan layanan operator pager di Indonesia.
Harta karun yang kedua adalah HP Nokia 8210 keluaran tahun 1999. Lagi-lagi berwarna kuning, sebab saya menyukai warna tersebut. Si manis dengan layar monokrom ini, saya gunakan saat di bangku SMP. Namun saat itu aturan sekolah melarang siswa-siswi membawa ponsel, maka kami dapat menggunakannya di luar sekolah dan di rumah untuk ber-sms ria dengan kawan.
Kartu sim yang digunakan pada Nokia seri ini juga masih berukuran Mini-sim. Nada deringnya monofonik dan support inframerah, tanpa bluetooth. Sayangnya, layar Nokia 8210 milik saya ini terlihat sudah agak retak. Kemudian dengan hadirnya ponsel-ponsel GSM berlayar warna dan bernada dering polyphonic, maka Nokia seri ini dan sejenisnya kian tenggelam di pasaran.
Yang terakhir ada Blackberry Pearl Flip, si abu-abu yang menawan ini saya beli menggunakan uang lemburan yang saya dapat di akhir bulan bersama gaji, pada awal tahun 2011. Seolah tak ingin ketinggalan trend BBM masa itu, saya pun tergoda untuk memilikinya.
Alasan saya memilih Blackberry Pearl Flip ini karena tampilannya yang elegan, lain dari tampilan BB qwerty pada umumnya. Ditambah lagi, harganya juga terjangkau. Meski signalnya masih EDGE, nyatanya fitur blackberry messenger pada ponsel ini tetap dapat berjalan lancar. Kita juga dapat berselfie tanpa harus membuka flipnya terlebih dulu.