Alunan suara Adzan menghiasi senja ini dengan kesyahduan. Seperti biasa aku baru saja menempatkan gerobak di tempat emak biasa menjajakan daganganya, emak menata kompor dan penggorengan. Sementara aku mencampur bumbu dengan tepung, kemudian dilelehkan dengan air. Beginilah, jika bulan Ramadhan datang emak yang seorang penjual gorengan membuka lapaknya setelah Adzan Ashar berkumandang. Diawali dengan mendorong gerobak dari rumah kami yang memang tak jauh dari pasar. Kemudian membuat dan menggoreng aneka gorengan yang berbau lezat dan berwarna keemasan.
Setiap sore aku bisa melihat-lihat baju-baju baru dengan gratis, karna lapak emak berada didepan toko baju. Dan aku juga suka melihat cantiknya kue-kue yang tertata rapi di toko sebelah kanan toko baju itu, memang membuatku semakin lapar tapi aku sangat suka membayangkan kalau nanti salah satu kue cantik itu menghiasi meja depan rumah kami saat lebaran. Atau membayangkan pula aku mengenakan salah satu baju berkilau dari toko baju yang telalu mahal untukku itu.
Dulu, saat Bapak masih ada aku ingat sekali tentang kehangatan saat lebaran, saat usiaku belum penuh dari jumlah kedua jari tanganku. Bapak yang bekerja jauh di kota akan pulang membawa kue yang tak hanya satu jenis, tiga atau empat yang rasanya semuanya enak. Jauh hari sebelum lebaran Bapak juga mengirim uang untuk aku, emak, dan Mba Juli kakaku untuk membeli pakaian baru. Kemudian kami akan membeli baju-baju yang kami suka di dalam pasar, meski tidak ditoko besar seperti toko yang ada dibelakangku saat ini, tapi itu adalah kegiatan paling aku sukai tentang lebaran.
Tapi setahun yang lalu sejak emak menangis berhari-hari, sejak tak pernah lagi ada mas Trimo datang mengirimakan uang dari Bapak, segalanya berubah. Emak kehilangan senyumnya dan langsung terlihat beberapa tahun lebih tua dari sebelumnya. Tak pernah dia mengajak kami berdoa untuk Bapak lagi setiap selesai Sholat Magrib. Rumah kontrakan kami yang semi permanenpun terasa semakin dingin dimalam hari dan sepi disiang harinya.
Yang paling aku sesalkan adalah soal Lebaran tiga bulan sejak Bapak tidak pernah muncul lagi. Hari itu tak ada baju baru, tak ada kue-kue cantik seperti tahun-tahun sebelumnya. Emak hanya membuat soto untuk kami makan pagi setelah Sholat Ied. Tak ada maaf-maafan dan saling memeluk seperti biasanya. Dan tak ada bapak dengan kulitnya yang legam dan senyumnya yang paling manis sepanjang masa, yang mengalahkan manisnya kue kue cantik dimeja.
Mba Juli kakaku lulus SMP tahun ini, tepatnya beberapa bulan yang lalu. Cita-citanya adalah ingin menjadi seorang guru, sayang aku tak melihat dia mengenakan rok panjang abu-abu seperti Mba Mila tetanggaku. Padahal Mba Mila dan kakakku selalu duduk bersama saat SD dulu, bukankah seharusnya mereka sama-sama masuk SMA sekarang?
Berdiri sekarang Mba Juli diantara baju-baju berkilau ditoko belakang lapak Ibu, hari pertama saat dia datang ketoko itu, aku fikir dia akan membeli baju untuk lebaran tahun ini. Tapi dugaanku salah, karna dia ternyata tak keluar dari sana dalam waktu yang cepat, bahkan setiap hari dia harus datang pagi-pagi sekali dan pulang saat aku tak tau tepatnya kapan, karna pasti aku sudah tertidur. Mba Juli menjadi pramuniaga di toko itu, membantu pemilik toko melayani para pembeli.
Setiap tepat pukul setengah enam aku datang ketoko tempat Mba Juli bekerja untuk mengantarkan takjil berbuka puasa, dulu hanya untuk Mba Juli. Tapi setelah tau emak menjual gorengan dan kolak, seluruh pramuniaga toko dibelikan takjil oleh Boss mereka dari emak. Saat itulah aku berkesempatan berdiri lebih dekat dengan baju-baju indah itu, ada yang warnanya indah sekali dan tentu sangat kontras dengan baju yang aku gunakan. Juga bentuk-bentuk sempurna dari beberapa baju membuat baju yang kukenakan terlihat amat buruk. Tapi ada satu baju yang sungguh menggodaku untuk menyentuhnya. Sebuah baju berlengan panjang berwarna merah dengan gambar kelinci diperut bagian kanannya, dipadukan dengan celana panjang bertuliskan sesuatu di bagian sakunya. Aku tak bisa membaca jelas apa tulisanya, yang jelas baju itu sungguh berkilau dimataku. Membuatku tidak sanggup berkedip untuk waktu yang sangat lama. Membayangkan menggunakanya saja aku mampu tersenyum begitu lebar. Dan andai nantinya aku bisa menggunakanya, aku pasti menangis bahagia. Itu pasti.
Setelah hari saat pertama aku melihat baju itu hari-hariku menjadi tidak tenang, awalnya aku bertanya tanya berapakah kira-kira harga baju itu? Apakah emak mau membelikanya untukku? apakah emak punya cukup uang? apakah . . .hidupku sungguh tak tenang. Tapi suatu hari sedikit pertanyaanku terjawab, soal harga baju itu. Karna saat aku mengantar takjil ada seorang ibu dengan anaknya yang beberapa tahun lebih muda dariku menanyakanya pada teman Mba Juli, mba-mba yang juga bekerja sebagai pramuniaga. Harganya seratus delapan puluh lima ribu, aku sempat terlonjak, dan beberapa saat termenung. Harganya semahal itu, setengah dari harga sewa rumah yang kami tempati. Beberapa bulan uang sakuku yang sehari hanya dua ribu saja.
Tapi aku sungguh menginginkan baju itu, semakin aku mencoba melupakanya aku malah bermimpi mengenakan baju itu pada malam harinya. Sampai aku pada akhirnya bertanya kepada emak soal baju baru lebaran ini. Kata emak dengan tersenyum dia akan membelinya tahun ini, di pasar seperti dulu. Karna emak sudah menabung berbulan-bulan dari hasil emak berjaulan gorengan selma setahun ini. Aku tersenyum merasa mendapat sedikit harapan, tapi setelah kutanyakan jumlah tabungan emak. Itu hanya tiga ratus ribu saja, itupun untuk kami bartiga ditambah untuk membeli kue-kue. Harapanku pupus sudah, tak mungkin kuhabiskan seratus delapan puluh lima ribu hanya untukku sendiri, untuk membeli baju yang amat aku cintai itu.
Awalnya setiap aku datang ketoko aku berhararap baju impianku masih singgah manis digantunganya. Tapi setelah tahu kemungkinan aku yang tidak bisa mendapatkanya aku berharap baju itu laku saja, dibeli seseorang yang tak kukenal sama sekali. Yang takkan pernah bisa kulihat baju itu sekalipun lagi. Doa-doaku setelah Sholatpun berubah, dulu aku selalu berdoa agar aku menadapatkan baju itu, sekarang aku berdoa agar baju itu dibeli orang saja.
Aku masih terbangun saat Mba Juli pulang, dia mencuci tangan dan merebahkan tubuhnya yang terlihat semakin kurus disampingku. Dia heran saat tahu aku belum tertidur. “Kenapa masih bangun Vit? Tidak mengantuk” tanyanya sambil membelai rambutku. “Ada yang sedang Vita pikirkan Mba” kataku serius. “Soal apa?” tanyanya lagi. “Apakah kita sebagai anak yatim dan orang yang miskin tidak boleh bermimpi Mba?”tanyaku. Mba juli tersenyum kemudian duduk bersandar pada tepi ranjang kami, “ Kemiskinan dan fakta bahwa bapak sudah berada disisi Alloh saat ini bukanlah alasan untuk tidak bermimpi Vit. Kamu tau kenapa?”. Aku hanya menggeleng. “ Karna setiap impian itu tidak membutuhkan modal apa-apa, mimpi itu gratis Vit. Kita hanya harus mengikuti kata hati kita, dan mengejarnya tanpa lelah” katanya dengan yakin. “Tapi bukankah Mba ingin menjadi Guru?” aku gantian bertanya. “Iya, banyak jalan menuju kesana Vit. Seperti gaji Mba yang akan Mba tabung untuk melanjutkan sekolah nanti, lagipula Mba akan menjadi Guru sebentar lagi” kini Mba Juli menatapku hangat. “Sungguh? Apakah lulusan SMP bisa menjadi guru?” tanyaku heran. “Iya, Mba akan mengajar mengaji di masjid belakang rumah kita itu, mengajar Vita dan teman-teman.” Mba Juli tersenyum. Oh ya aku mengerti, setelah itu kami tidur bersama, seperti biasa Mba Juli memeluku dari belakang membuatku begitu nyaman.
Setelah percakapan dengan Mba Juli malam itu, aku memutuskan sesuatu tentang mimpiku mendapatkan baju kelinci itu. Aku memutuskan mencari uang untuk membeli hal yang sangat kuinginkan itu sendiri. Doa-doaku mulai berubah, dan harapanku kembali seperti dulu tentang baju yang masih tertata rapi digantunganya.
Sudah libur sekolah kini, artinya semakin dekat dengan hari lebaran. Dan dugaanku tepat soal toko kue yang semakin sibuk, aku memberanikan diri untuk bertanya apakah aku dibutuhkan di toko itu, tentu saja sebelumnya aku meminta izin kepada Emak dan Mba Juli. Awalnya Bu Siti pemilik toko tidak mengizinkanku membantu, karna dia bilang usiaku yang baru sebelas tahun tidak diperbolehkan untuk bekerja. Tapi berkat rengekan mautku dan kesungguhanku Bu Siti akhirnya mengizinkanku membantu.
Mulai hari itu aku berangkat kepasar bersama Mba Juli, aku bekerja sampai adzan Ashar dan kemudian membantu emak. Tugasku adalah membungkus kue-kue dan juga menatanya dalam toples, awalnya terasa melelahkan, tapi setiap aku teringat mimpiku, aku akan kembali bersemangat. Bu Siti begitu baik kepadaku, seperti saudaraku sendiri. Dia adalah orang yang ramah, jadi aku tak heran kalau orang yang membeli ditokonya sangatlah banyak. Kue-kuenyapun enak, aku tahu, karna belakangan dia memberiku beberapa kue setiap harinya, kue-kue itu aku kumpulkan didalam toples kecil. Ini akan menjadi lebih warna-warni dan cantik dari kue yang selalu ayah bawa dulu, karna dalam satu toplesku akan berisi bermacam-macam kue yang lezat.
Dua hari lagi lebaran, aku sudah tak sabar merasakan baju baru itu menempel dikulitku. Toko semakin sibuk, dan artinya semakin banyak pula kue yang harus kutata. Bu Siti akhirnya memberiku uang delapan puluh lima ribu untuk upahku membantunya. Tapi esok aku masih harus bekerja katanya, karna besok hari sebelum lebaran adalah hari yang paling sibuk. Aku tersenyum dan mensetujuinya. Aku pulang kerumah saat Adzan Ashar berkumandang, emak belum berangakat ke lapak dan kemudian mengajakku Sholat Ashar berjamaah terlebih dahulu. Sholatku kali ini tidak sekhusyuk biasanya, pikiranku melayang-layang kesana kemari entah mengapa. Apakah aku terlalu bahagia soal impianku yang sebentar lagi terwujud.
Sore harinya aku sudah memegang uangku sendiri, ditambah jatah seratus ribu dari emak. Aku memintanya dengan alasan ingin membeli bajuku sendiri sekarang. Dan emak menyetujuinya, mengingat dia tau aku sudah cukup lama bersabar dan emak juga tak punya waktu menemaniku. Sebelum ketoko baju tempat Mba Juli bekerja aku pergi kepasar untuk membeli kerudung. Aku tertegun melihat suasana yang ramai didalam pasar. Aku membeli kerudung merah jambu yang sangat pas dengan warna kelinci di bajuku nanti, harganya limabelas ribu. Pas seperti diskon bajuku. Jadi uangku akan pas sekali.
Malam hari raya, suara takbir akan menggema nanti. Sudah setengah tujuh kini, aku dan emak bersiap melakukan Sholat Magrib bersama, karna baru saja pulang berjualan. Rasanya aku ingin menangis, satu hari malam takbiran lagi tanpa bapak. Selesai Sholat aku mencium tangan emak seperti biasa, kini emak bersiap melepas mukenanya. “Ya Alloh aku tahu, kau menyayangi bapak lebih dari kami menyayangingya. Jadi kini kau menginginkan dia berada disisimu.” Aku mengucapkan kata kata itu seraya menengadahkan tangan berdoa, sesuatu yang dulu selalu ibu lakukan saat mendoakan ayah yang jauh di kota. Aku dan Mba Juli akan mengamininya. “Titip dia ya Alloh, katakan kalau kami baik-baik saja disini dan kami ingin bertemu Bapak lagi nanti di Surgamu” kini air mataku tak sanggup kutahan lagi. Emak dengan gerakan tanganya yang tertahan membalikan badan kemudian memelukku. “Maafkan Emak nak, kamu benar kita tidak boleh bersedih berlarut-larut. Alloh pasti lebih menyayangi Bapak maka dia membawa Bapak kesisinya.” Emak menangis, juga memelukku.
Malamnya kami membuat soto untuk dimakan esok pagi, sambil menunggu Mba Juli pulang. Emak tersenyum seperti dulu saat bapak masih ada. Aku sungguh senang melihatnya. “Vit, mana baju barumu? Tak ingin kau tunjukan ke Emak?” tanya emak tiba-tiba. Aku tertegun mendengar kata-kata emak soal baju baru. Kuambil kantong plastik yang kuletakan didalam lemari dan kutunjukan kepada emak. Emak mebukanya kemudian menatap kaget. “Kenapa Vit?”tanyanya padaku. “Aku menginginkan sebuah baju yang mahal mak, sebelumnya aku sungguh menginginkanya. Tapi kemarin sore saat sholat Ashar aku melihat mukena emak yang sudah robek.” Aku tersenyum, dalam hatiku aku sedikit menyesal tidak membeli baju yang kuimpikan. Terlebih saat sore tadi kuantar takjil ke toko, baju itu sudah tak ada lagi. Tapi rona wajah emak kini membuang seluruh kekecewaanku. Aku tahu, yang aku cintai dan aku rindukan soal lebaran bukan soal baju barunya, atau kue-kue cantik. Tapi soal bagaimana bahagianya kami sebagai suatu keluarga. Bagaimana wajah bahagia emak, wajah sumringah Bapak dan wajah haru Mba Juli. Itulah yang aku cintai soal Lebaran.
Kini aku sudah berada dipelukan emak lagi, dia menangis lagi. Saat itulah Mba Juli datang dengan wajah lelah namun begitu bahagia. “Ada apa ini? Apa Mba ketinggalan sesuatu?” tanyanya heran melihat emak menangis. “Adikmu membelikan emak mukena Jul, dia tidak membeli baju untuknya sendiri.”terang emak. Mbak Juli tersenyum dan mendekatiku seraya berkata “Tapi adiku ini juga tak boleh tidak punya baju barukan?” katanya mengeluarkan sebuah baju dari kantong plastik. Aku menangis melihatnya, sungguh bahagia karna baju yang amat aku impikan kini berada ditangan Mba Juli. Giliran aku yang memeluk Mba Juli, “Tapi mba Juli bilang gaji mba untuk ditabung untuk sekolah nanti” kataku sedikit bingung. “tenang saja Vit, gaji mba utuh. Kami memang dapat memilih sepasang baju untuk THR kami yang bekerja disana. Mba tau kamu ingin sekali baju ini karna kamu selalu melihat kearah baju ini setiap datang ke toko.” Aku bahagia sekali, bahagiaaaa sekali. Aku mencobanya dan berlenggak lenggok kesana kemari. Emak dan Mba Juli tersenyum geli melihat tingkahku.
Lebaran tahun ini adalah Lebaran yang indah. Terimakasih ya Alloh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H