Mohon tunggu...
Novian Pranata
Novian Pranata Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog

Psikolog

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Politik Identitas dan Dakwah

28 Agustus 2023   16:25 Diperbarui: 28 Agustus 2023   16:30 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada Pemilu 1999, awal era Reformasi, banyak juga Partai yang mengusung Identitas agama yaitu PPP itu sendiri, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berharap suara dari kaum Nahdliyin, Partai Amanat Nasional (PAN) yang berharap suara kaum Muhammadiyah, Partai Keadilan, Partai Bintang Reformasi, Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Nahdatul Ummah, Masyumi dan Masyumi Baru, Partai Demokrasi Sejahtera (yang berharap suara dari pemilih Kristen) dan lainnya yang pada intinya ingin mengambil suara dari penganut dan simpatisannya. Memang dalam AD ARTnya tidak mencantumkan secara pasti berbasis Islam tetapi dalam kehidupan politik saat ini, tergambar dengan jelas arahnya.

Pemilu 2019, menjadi Pemilu yang sangat kental dengan dikotomi politik identitas yaitu Islam dan non Islam. Prabowo Sandi dinilai membawa politik Islam sedangkan Jokowi Ma’ruf dianggap membawa politik non Islam. Menariknya, yang jelas membawa politik Islam adalah Ma’ruf karena Ma;ruf merupakan ulama NU dan tentunya untuk mendulang suara dari kaum Nahdliyin tetapi yang dinilai menggunakan politik identitas Islam adalah Prabowo Sandi.

Kondisi ini dapat dilihat juga dari sebaran perolehan suara akhir pasangan ini di tiap Provinsi. Untuk di Provinsi yang penduduknya mayoritas non Islam, pasangan Jokowi Ma’ruf menang telak di Bali (91,68%), Papua (90,66%), NTT (88,57%) Papua Barat (79,81%) dan Sulawesi Utara (77,24%). Untuk Provinsi yang penduduknya mayoritas Islam pasangan Prabowo Sandi menang telak di Sumbar (85,92%), Aceh (85,59%), NTB (67,89%), Kalsel (64, 08%), Banten (61,54%), Riau (61,27%), Sulteng (60,25%), Sumsel (59,70%), dan Jabar (59,93%). Selain itu juga Jambi, Sulsel, Malut dan Bengkulu, pasangan Prabowo Sandi menang dengan suara tipis. Selebihnya, provinsi yang mayoritas Islam dimenangkan pasangan Jokowi Ma’ruf meliputi Jateng, Kaltara, DIY, Jatim, Sulbar, Babel, Kalteng, Lampung, Kalbar, Sulteng, Kaltim, Kepri, Gorontalo dan DKI Jakarta.

Sebaran suara di Jabar, Jateng dan Jatim menarik untuk dianalisis keberlangsungan politik identitas mengingat jumlah pemilihnya sangat besar mayoritas Islam. Di Jabar, Prabowo Sandi menang dengan selisih suara 6 juta. Di Jateng, Jokowi Ma’ruf menang dengan selisih suara 12 Juta dan di Jatim pasangan Jokowi Ma’ruf menang dengan selisih suara 8 juta. DKI Jakarta memang menunjukkan sebagai kota yang sangat plural. Jokowi Ma’ruf menang dengan selisih suara 200 ribu.

Khusus di Jateng dan Jatim, PDIP dan PKB memperoleh kursi di DPR terbanyak 1 dan 2 dengan rincian di Jateng PDIP mendapat 26 kursi dan PKB mendapat 13 kursi dari total 76 kursi. Di Jatim, PDIP mendapat 20 kursi dan PKB mendapat 19 kursi dari total 86 kursi. Muncul pertanyaan apakah politik identitas terjadi pada pemilu 2019? Mengapa Islam sebagai mayoritas tidak memanfaatkan politik identitas?

Dari catatan pelaksanaan Pemilu di era Reformasi, jumlah suara yang diperoleh Partai Islam (yang bernuansa Islam) relatif menurun. Pada Pemilu 1999, jumlah suara Partai Islam (9 partai) adalah 36.970.602 dari 105.786.661 suara sah (34,95%). Pada Pemilu 2004, jumlah suara seluruh Partai Islam (7 partai) adalah 43.507.758 dari 124.420.339 suara sah (34,96%). Pada Pemilu 2009, jumlah suara Partai Islam (PKB, PKS, PAN, PPP, PBB) adalah 27.005.623 dari 104.099.785 suara sah (25,94). Pemilu 2014, jumlah suara Partai Islam (PKB, PKS, PAN, PPP, PBB) adalah 39.244.020 dari 124.972.491 suara sah (31,40). Pemilu 2019, jumlah suara Partai Islam (PKB, PKS, PAN, PPP, PBB) adalah 42.951.251 dari 139.970.810 suara sah (30,69).

Jika diasumsikan pemilih yang beragama Islam berjumlah 87 % berarti pada Pemilu 2019, ada 56,31% pemilih yang beragama Islam tidak memilih Partai Islam. Apakah politik identitas agama terjadi pada 2019 padahal di semua Pemilu era Reformasi, jumlah suara pemilih Partai Islam adalah relatif sama dengan Pemilu 2019? Padahal Islam sebagai mayoritas.

Mengutip Crano (2001 dalam Crano & Seyranian, 2007), mayoritas dapat dianggap sebagai sumber informasi yang tepat tentang isu kritis. Anggota tim sepak bola klub mungkin dipengaruhi oleh keputusan konsensual kelompok untuk menggunakan sepatu merk A, meskipun individu tersebut mungkin menyukai sepatu merk P. Dalam hal ini, tekanan mayoritas dapat dinilai sah sehingga mendorong perilaku anggota kelompok untuk memakai sepatu merk A. Akan tetapi kondisi ini berbeda dengan ajakan untuk memilih partai tertentu. Misalkan mayoritas klub sepak bola berpendapat bahwa adalah tugas semua anggota untuk memilih partai politik tertentu dalam pemilihan yang akan datang. Pemain merasa bahwa politik dan sepak bola tidak saling relevan sehingga tekanan yang diberikan oleh klub tidak kuat. Tekanan ini akan gagal sehingga para pemain tidak akan menuruti tekanan mayoritas. Pemain akan melepaskan diri dari ‘tekanan’ kelompok bukan berarti keluar dari kelompoknya.

Seteru akibat Politik Identitas Pemilu 2019 lalu, saat ini masih menjadi ‘ketakutan’ bersama. Jika merujuk data di atas maka tidak terjadi politik identitas agama di kalangan pemilih Islam. Data di atas juga menggambarkan bahwa figur Ma’ruf sebagai ulama NU dapat disimpulkan meningkatkan suara pemilih pasangan Jokowi Ma’ruf khususnya jumlah kursi PKB. Hal ini mengingat Jateng dan Jatim merupakan basis NU. Jadi pemilih masih melihat figur dan afiliasi partainya bukan politik identitas agama.

Oleh sebab itu saya melihat politik identitas agama sudah tidak berpengaruh di kalangan pemilih Islam. Salah satu faktornya adalah selama 5 tahun ke belakang, kita sudah terbiasa dengan perdebatan ini yang menimbulkan kebosanan. Saya menyakini hal ini dan masyarakat Islam sudah ‘khatam’ tentang dakwah ini. Menariknya, ketika politik identitas agama dirasa tidak berlaku lagi, dimunculkan isu politik identitas warga negara Indonesia asli. Tentu isu ini akan menimbulkan ‘perdebatan’ baru. Tentunya ini menunjukkan bahwa politik identitas ‘perlu’ dilakukan untuk membangkitkan dan meningkatkan semangat para pemilihnya.

Menurut saya, dari sudut pandang psikologi, politik identitas (agama) yang dikembangkan 5 tahun terakhir ini (dan juga sejak jaman perjuangan), merupakan dinamika dari kelompok mayoritas dan minoritas. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa setiap individu berusaha mencari identitasnya agar merasa nyaman dalam mengembangkan dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun