Kita dapat melihat dari aktivis-aktivis yang 'meruntuhkan' Orde Lama. Mereka banyak yang menjadi Menteri di jaman Orde Baru, yang akhirnya mereka juga merasakan 'didemo' saat mereka menjadi bagian pemerintahan, ketika rejim Orde Baru 'dijatuhkan'. Dunia selalu berputar, namun sampai saat ini RG tetap menjadi aktivis dan 'oposan' untuk setiap pemerintahan.
Begitu pentingkah menjadi 'oposan'? Pemikiran-pemikiran oposan yang dilakukan oleh aktivis (termasuk) RG, sejatinya merupakan asupan yang baik dan 'gratis' bagi pemerintah. Terlihat sekali dalam 'menjelaskan', RG tetap menggunakan data-data dan pernyataan dari pemerintah. RG menyampaikannya dari sudut 'oposan'. Apabila terjadinya misinterpretasi, saat itulah sejatinya pemerintah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya. Setiap K/L memiliki bagian Kehumasan yang sejatinya diisi oleh 'pegawai' yang minimal sekelas RG dalam bacaan dan wawasan.
Tidak perlu lagi dalam berdiskusi mengeluarkan kata: "Itu hoax" atau "Itu memprovokasi" atau "Itu menurut RG atau Bapak itu" atau "Bapak tu siapa?". Jelaskan saja dengan data secara sistematis. Percayalah bahwa yang senang duduk berjam-jam menonton dan mendengarkan diskusi di televisi adalah mereka yang mempunyai kemampuan intelektual dan pemahaman yang tergolong rata-rata ke atas. Mereka ini sudah mampu berpikir dan memahami dengan baik isi dari diskusi.
Mengapa ‘oposan’ perlu? Dalam psikologi sosial, salah satu yang dibahas adalah tentang kelompok, cara berpikir kelompok dan cara mengambil keputusan. Dikenal suatu istilah yaitu groupthink. Mengutip chatgpt, groupthink adalah kecenderungan sekelompok orang untuk berkonformitas dengan pendapat atau keputusan yang konsensus, sering kali dengan mengorbankan pemikiran kritis dan penilaian individu. Ini dapat menghambat pemecahan masalah secara kreatif dan mengakibatkan keputusan yang buruk karena adanya tekanan untuk mencapai kesepakatan mutlak dalam kelompok. Penting untuk mendorong berbagai sudut pandang dan dialog terbuka untuk menghindari jatuh ke dalam perangkap groupthink.
Groupthink ini dijelaskan dengan menggunakan fakta Invasi Teluk Babi (1961), penyerbuan yang didanai pemerintah AS (JF Kennedy dari Partai Demokrat) ke Kuba untuk menjatuhkan pemerintahan Fidel Castro. Invasi ini gagal. Kennedy menjadi 'bulan-bulanan' kritik Partai Republik.
Kegagalan upaya invasi ini telah dianalisis sebagai kasus ideal tentang groupthink dan pengambilan keputusan yang buruk. Invasi ini gagal karena kurangnya pertimbangan kritis terhadap rencana dan pengambilan risiko yang tidak memadai. Oleh karena itu, mengenali dan mengatasi groupthink sangat penting dalam pengambilan keputusan yang lebih baik dan efektif.
Groupthink terjadi dalam suatu kelompok yang tidak mengenal dan tidak mau mengenal 'kekritisan' anggota kelompoknya. Hal ini dibarengi rasa 'sungkan', tidak berani bahkan sangat takut' untuk 'berbeda' pendapat dan pandangan dari anggota kelompoknya. Dibarengi juga dengan internalisasi primordialism. Dulu dikenal dengan Asal Bapak Senang (ABS).
Menurut saya, kondisi groupthink terjadi di jaman Orde Baru. Karena saya kuliah di masa Orde Baru, saya teringat bahwa begitu 'tidak mengesankan' bahkan 'memuakkan' pernyataan: "Menurut petunjuk Bapak presiden, ...". Pernyataan ini menjadi bahan 'olok-olokan' saat itu.
Tanpa sadar groupthink mengajarkan untuk mempertahankan comfort zone. Apalagi dibarengi dengan kalimat: "Karena kamu yang memberi saran maka kamu sebagai PICnya". Akibatnya peserta rapat 'malas' bersuara dan berpikir kritis karena akan ada beban tugas tambahan. Apalagi bagi orang yang sudah ‘mager', yang sudah cukup puas dengan kehidupan saat ini, yang 'takut' terusik kemapanannya.
Ada istilah 'ganti kepemimpinan, ganti juga kebijakan'. RPN atau RPD atau Road Maps akan dengan mudah ‘menyesuaikan' (menggantikan kata 'tidak dianggap') suatu kebijakan pimpinan baru. Oleh sebab itu, kita sulit sekali melihat continuity dan sustainable suatu kebijakan. Oleh sebab itu, kita hanya dapat mengetahui dan menilai kebijakan seorang pemimpin itu benar atau tidak, baik atau tidak dan bermanfaat atau tidak, saat pemimpin itu tidak lagi menjabat.
Menurut saya, untuk mengatasi groupthink ini, perlu pemikiran 'oposan' dan 'dari oposan'. Hal ini disebabkan karena internal sulit memberikan pemikiran yang kritis bahkan 'oposan'. Pemikiran ‘oposan’ seperti RG sejatinya diterima dengan 'lapang otak' dan 'lapang dada'. Tidak perlu sakit hati atau 'jauhkan' ketersinggungan dalam diri masing-masing. Seperti kata RG 'kedepankan argumen, singkirkan sentimen'.