Kejahatan terhadap kemanusiaan, terorisme merusak infrastruktur, menimbulkan ketakutan di masyarakat, dan menumbuhkan kecurigaan antar kelompok agama. Setiap dampak negatif terorisme berpotensi mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Terorisme merupakan ancaman nyata dan serius bagi bangsa karena jaringannya yang luas.
Jauh sebelum banyak peristiwa terkait terorisme di seluruh dunia, sejumlah negara dan komunitas internasional bahkan regional telah berusaha untuk menerapkan kebijakan kriminal yang mencakup kriminalisasi aksi teroris secara sistematis dan komprehensif. Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme, telah dilakukan suatu upaya kebijakan. Sederhananya, kebijakan kriminal suatu bangsa adalah upaya cerdas untuk memerangi kejahatan. Perencanaan pertahanan sosial dan perlindungan masyarakat pada dasarnya terjalin dalam upaya ini, yang keduanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain merupakan tindakan teror, tindak pidana terorisme juga melanggar hak asasi manusia sebagai hak asasi manusia yang mendasar, antara lain hak untuk hidup dan hak atas rasa aman dan tenteram. Salah satu contoh gagasan negara hukum yang dituangkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 adalah pengakuan hak asasi manusia. Ketentuan Pasal 28 UUD 1945 mengatur tentang pengakuan hak asasi manusia sebelum perubahan. Sebagaimana dituangkan dalam Pasal 28 dan Pasal 28A-28J UUD 1945, peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hak asasi manusia semakin diperjelas dan dirinci untuk sementara waktu, baik sebelum maupun sesudah amandemen.pemberantasan tindak pidana terorisme, khususnya melalui penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 yang menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Republik Indonesia Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada tanggal 4 April 2003.
Namun pada kenyataannya, undang-undang tersebut masih belum mampu mengurangi atau sambut aksi terorisme di Indonesia dari tahun 2003 hingga 2019 masih banyak aksi terorisme yang telah membuat banyak korban tak berdosa berjatuhan, aksi terorisme tersebut telah menimbulkan kekacauan besar bagi negara dengan menimbulkan keresahan dan ketakutan di tengah masyarakat. Seperti saat aksi teror kembali mengguncang ibu kota Indonesia pada awal Januari 2016. Di sekitar MH Thamrin, sejumlah penembakan dan ledakan terjadi. Ledakan kedua terjadi di Pos Lalu Lintas di depan Plaza Sarinah. MH Thamrin setelah yang pertama di Kafe Starbucks. Delapan orang tewas, termasuk empat teroris yang melakukan serangan berdarah itu. Pada 12 Mei 2018, serangan teroris kembali terjadi di Markas Brimob di Depok. Pada saat itu, teroris ini menyerang dan membunuh polisi, yaitu membunuh Brigadir Marhun Prenche.
Serangan teroris meningkat drastis di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, mengganggu perdamaian negara. Rentetan pemboman yang terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memicu ketakutan masyarakat luas, mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda, dan berdampak negatif terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan politik Indonesia serta hubungannya dengan negara-negara lain di dunia. Salah satu bentuk terorisme yang marak terjadi di sejumlah negara adalah terjadinya ledakan bom, dan bahkan kejahatan terorisme internasional menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan nasional serta internasional melalui jaringannya yang luas.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan acuan utama hukum pidana di lapangan. Bahkan, banyak pakar pidana berpendapat bahwa KUHP dapat dijadikan sebagai landasan hukum bagi tindak pidana terorisme. Namun, telah dibuktikan bahwa KUHP Indonesia tidak efektif melayani penegakan hukum. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1 Tahun 2002, serta Perpu No.2 Tahun 2002, yang menjadi pendahuluan lahirnya UU No.15 Tahun 2003, yang menangani tragedi bom Bali dan menangani pemberantasan tindak pidana terorisme.
Tentang sanksi pidana terorisme yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018: Seseorang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara seumur hidup. pidana mati jika dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menimbulkan suasana teror atau ketakutan di kalangan banyak orang, menimbulkan korban massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital Strategis, lingkungan, Fasilitas Umum, atau fasilitas internasional.
Menurut hukum positif berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Undang-Undang Anti Terorisme, dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi Tindak Pidana Terorisme paling ringan minimal lima tahun penjara. Sedangkan hukuman yang paling berat adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, dengan penjara maksimal 20 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H