Bagi pengamat dunia sosial –atau bisa dikatakan pengguna intensif- dari media sosial terutama Facebook, pasti menyadari besarnya potensi konflik horizontal yang mengancam Bangsa Indonesia. Â
Pada dasarnya benih-benih kebencian telah jelas terlihat sejak beberapa tahun lalu, hoax-hoax mulai bertebaran, fans page(s) yang mengandung unsur kebencian mulai bermunculan, dan lain sebagainya. Namun hal itu semakin jelas pasca viralnya video Ahok yang dianggap menghina ayat suci Al-Qur’an.
FPI yang sebelumnya dibenci atas sikap arogannya dalam hitungan minggu berubah menjadi salah satu non-state actor paling berpengaruh di Indonesia, mengangkat nama Rizieq Shihab. Kemampuan mengumpulkan ratusan ribu hingga bahkan jutaan umat muslim ke Jakarta rasanya cukup menjadi bukti pernyataan tersebut. Terlebih aksi lanjutan yang secara parsial dilakukan di beberapa kota besar di luar Jakarta, sebut saja Medan, Bandung, dan Palembang, belum lagi ada wacana untuk melakukan aksi 112 bulan Februari nanti.
Semangat FPI dan simpatisannya juga menjalar ke Mahasiswa, meminjam judul aksi yang biasanya identik dengan angka -411, 212-, mahasiswa sebagian kota besar di Indonesia turun ke Jalan pada 121 kemarin. Aksi tersebut bertajuk ‘aksi bela rakyat’, terasa sangat identik dengan aksi pendahulunya yang dilakukan oleh umat Islam, sebab musabab nya pun cukup sama, yakni akibat anggapan kekeliruan pemerintah.
Pergerakan umat Islam dan Mahasiswa tersebut setidaknya sedikit menunjukan kebersatuan pihak oposisi diluar parlemen dalam mengkritik pemerintah. Mereka semakin menguat dibawah perasaan merasa tertindas oleh minoritas.
Aliansi Islam (plus Mahasiswa) ini mendapat penantang dari kelompok-kelompok yang menganggap diri mereka sebagai penjaga kesatuan NKRI dan Pancasila. Walaupun aksi turun ke jalan mereka tidak se-intensif yang dilakukan aliansi Islam, namun pergerakan mereka melalui dunia sosial sangat gencar bahkan melebihi aliansi Islam.
Kelompok penantang aliansi Islam biasanya melancarkan serangannya ke blunder yang dilakukan oleh aliansi Islam, atau tokoh-tokoh yang dianggap mengancam persatuan NKRI, seperti Rizieq Shihab, Novel, dan lain-lain. Bahkan kalimat ‘fitsa hats’ menjadi sangat viral mengalahkan pemberitaan tentang korupsi yang dilakukan oleh Bupati Klaten.
Baru-baru ini terdapat kejadian penolakan Wasekjen MUI di Kalimantan Barat oleh massa suku Dayak. Kejadian ini dapat dilihat dari dua sisi, sisi pertama dari kelompok anti-FPI yang menganggap bahwa hal ini merupakan bukti persatuan dan diversity Indonesia yang menolak dominasi satu agama atau entitas. Sedangkan sisi kedua dari aliansi Islam, yang menganggap hal ini sebagai bentuk dominasi kaum minoritas terhadap mayoritas, keengganan aparat dalam membela dan menegakkan hukum hanya karena yang diserang ‘Islam’, dan penghinaan terhadap ulama.
Hal ini sudah sangat mengkhawatirkan, keduanya, baik aliansi umat Islam maupun kelompok anti-FPI harus menurunkan intensitas ujaran kebenciannya masing-masing. Aliansi Islam harus menghentikan ‘play victim’ dari kejadian yang menimpa mereka akibat penolakan beberapa kelompok masyarakat lokal, dan melakukan introspeksi. Sedangkan aliansi anti-FPI juga harus menghentikan kegiatan bully dan serangan terhadap tokoh-tokoh FPI, sebab disadari atau tidak, hal tersebut hanya menambah buruk keadaan. Tidak perlu lagi ada aksi pelaporan-pelaporan yang sebenarnya di dasari oleh perkataan sepele yang sejogjanya dapat di bicarakan secara kekeluargaan.
Saya sendiri menyadari hal itu sangat sulit atau bahkan mustahil dilakukan apabila melihat kondisi saat ini –yang ujaran kebencian dan tensinya sangat tinggi, namun bagaimana lagi, pusing rasanya melihat media sosial yang dipenuhi kebencian, menghilangkan identitas Bangsa Indonesia setiap harinya. Oleh sebab itu, It must be stopped.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H