Di Indonesia, pendidikan matematika untuk siswa berkebutuhan khusus masih kurang diperhatikan. Pasalnya dibeberapa sekolah inklusi, masih terdapat beberapa guru yang menyamaratakan antara siswa biasa dengan siswa berkebutuhan khusus (ABK). Padahal sebenarnya mereka memiliki daya tangkap yang jauh berbeda satu sama lainnya. Â Menurut (Irawan & Febriyanti, 2018) Kemampuan akademis yang berbeda-beda satu dengan lainnya adalah masalah utama yang harus dipecahkan dalam pembelajaran siswa berkebutuhan khusus
Berdasarkan Depdiknas (2008 : 10), pelaksanaan pembelajaran matematika bagi Anak Berkebutuhan Khusus atau biasa disingkat ABK perlu didampingi oleh guru kelas dan guru pendamping khusus (GPK). Dalam hal ini guru pendamping khusus (GPK) memiliki tugas menjadi konsultan untuk menyesuaikan kurikulum dengan kondisi para siswa. Di sisi lain, pelaksanaan pembelajaran matematika di kelas merupakan tanggung jawab dari seorang guru kelas/guru matematika itu sendiri. Menurut Amalia (2020), rangkaian pelaksanaan pembelajaran terdiri dari tiga tahap yaitu pendahuluan, inti, dan penutup.
Pada tahap pendahuluan, guru matematika akan memberikan pertanyaan yang berkaitan tentang materi yang akan diajarkan. Pada tahap inti, guru matematika maupun guru pendamping khusus (GPK) akan melakukan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran dan  sumber belajar lainnya. Dan pada tahap penutup, guru matematika maupun guru GPK  bersama siswa akan membuat rangkuman atau kesimpulan pembelajaran hari ini.
Selain mempersiapkan pembelajaran yang efektif, seorang guru matematika juga harus memperhitungkan dengan matang bagaimana siswa berkebutuhan khusus itu mendapatkan hak maupun kebutuhannya agar dapat menggapai keberhasilan dalam pembelajaran pada saat itu.
Kebutuhan itu dapat tercapai dengan adanya modifikasi kurikulum dan strategi pembelajaran yang tepat. Hal ini dapat menjadi pilihan untuk para guru di luar sana dalam melakukan pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus terutama untuk pembelajaran matematika itu sendiri.
Modifikasi kurikulum yang akan dibahas pada saat ini meliputi 3 bagian, yaitu metode multikomunikasi, Â penyederhanakan materi, dan yang terakhir adalah modifikasi media dengan menggunakan buku pintar (BUPI).
Pada metode multikomunikasi kita diharapkan dapat menciptakan komunikasi yang sukses antar manusia dengan pemahaman dan perolehan bahasa yang berbeda. Jadi pada metode ini bertujuan untuk mencapai komunikasi yang efektif antar anak berkebutuhan khusus satu dengan yang lainnya.
Dalam penyederhanaan materi, guru matematika dapat mencoba untuk melakukan penurunan tingkat kesukaran dari soal yang ada. Selain itu guru matematika juga dapat mencoba menyederhanakan bahasa yang digunakan guna mempermudah pemahaman siswa berkebutuhan Khusus (ABK)
Dan pada modifikasi yang terakhir yaitu modifikasi media dengan menggunakan media Buku Pintar (BuPi). Siswa dapat berlatih dan mengasah pemahamannya  melewati media belajar tersebut. Sebelumnya Media pembelajaran ini merupakan salah satu ide yang dituangkan oleh beberapa mahasiswa dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Balikpapan. Didalam buku pintar ini berisikan materi yang dituangkan didalam bentuk buku yang terbuat dari kain flannel, yang dimana kain tersebut tidak akan membahayakan anak berkebutuhan khusus (ABK) dan mampu meningkatkan kekreatifitasan anak karena bahan tersebut dapat dimainkan oleh anak berkebutuhan khusus (ABK) itu sendiri
Dengan adanya modifikasi kurikulum seperti yang telah disebutkan di atas, diharapkan dapat mempermudah proses pendekatan guru terhadap para siswa dan memudahkan siswa berkebutuhan khusus untuk memahami materi pembelajaran. Hal ini bertujuan agar para siswa berkebutuhan khusus dapat lebih cepat mengejar ketertinggalan mereka terhadap siswa di kelas inklusi lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H