Biasnya sepakbola dijadikan sebagai ajang hiburan bagi masyarakat ppenggemarnya, tapi tak jarang sepakbola juga dijadikan ajang kekerasan yang dilakukan antara suporter, pemain, bahakan tak jarang juga melibatkan aparat. Kasus-kasus seperti ini sudah sering terjadi diberbagai belahan dunia bahkan tak jarang juga sampai memakan korban puluhan bahkan ratusan nyawa. Yang seharusnya menjadi ajang hiburan dan perayaan malah menjadi ajang kekerasan dan duka yang mendalam.
Seperti contoh kasus yang terjadi baru baru ini di stadion kanjuruan dimana kasus tersebut menewaskan sampai 127 jiwa. Lalu siapa yang harus disalahkan atas kejadian ini apakah para suporter yang turun kelapangan gara gara tak terima pihaknya kalah, atau pihak aparat yang menyemprotkan gas air mata kepada para suporter yang jelas-jelas tingdakan tersebut tufak boleh dilakukan, atau pihak penyelenggara/panitia acara yang lalai akan keamanan?. Pertanyaan seperti ini tidak hanya bisa dijawab dengan cara pandang seorang awam yang masih melibatkan perasaan tapi juga harus dilihat dari berbagai perspektif misalnya perspektif hukum.Â
Dalam sepakbola tentu saja sudah ada rancangan peraturan yang harus dilakukan baik oleh pemain, suporter, aparat, bahkan panitia penyelenggara, apalagi ini menyangkut kemaanan dan ketertiban saat pertandingan dimulai dan masih dalam ruang lingkup stadion. Tentu itu menjadi tanggung jawab yang besar bagi semua yang berpartisifasi karena tak jarang banyak pemuda yang sampai membawa barang barang yang membahayakan bahkan minuman keras tak luput dari perhatian.
Di Indonesia sendiri kasus ini bukan menjadi yang pertama terjadi melainkan sudah berkali kali terjadi bahkan bisa dibilang setiap ada sepakbola disana ada kekerasan.Â
Pihak pemerintah yang seringkali abai akan hal ini menjadi faktor utama pengulangan kasus ini terjadi. Kasus kali ini mungkin bisa dikatakan sebagai rekor kasus terbesar sehingga banyak media mengusut dan pemerintah turun tangan, tapi kasus kasus sebelumnya masih belum jelas dan langsung lenyap seperti tidak pernah terjadi. Hal ini mejadi akar atau pemicu bagi kekerasaan masa kini untuk menjadi lebih besar dan lebih besar tak bisa dipungkiri bahwa lambat lalu perkembangan banyaknya orang meninggal akibat kekerasan yang terjadi dalam ruang lingkup olahraga sepakbola ini meningkat.
Dalam hal ini suporter yang menjadi pemicu kericuhan juga menjadi penyebab utamanya, banyak kasus yang gara gara kalah saing menyebabkan baku hantam antarkubu yang dipicu oleh suporter kubu yang kalah.Â
Mereka seringkali mengabaikan peraturan peraturan yang dibuat hanya untuk menyalurkan kekesalannya dan tidak memperhatikan resikonya. Pihak propokator juga berperan dalam hal ini banyak provokator yang dengan sengaja memanfaatkan situasi agar terjadi kericuhan dan kekerasan.
Pihak penyelenggara selalu menjadi yang bertanggung jawab dalam hal ini,  namun tak menutup kemungkinan bahwa pihak ini juga lalai dalam melakukan tugasnya. Dengan adanya kepanitiaan yang dibentuk harusnya menjadikan tempat tersebut menjadi lebih aman dan kondusif. Tapi lain ceritanya jika pihak ini lalai dalam menjalankan tugasnya sehingga hal seperti kasus kasus diatas terjadi.
Sepakbola dalam kegiatannya tak luput dari pengawasan aparat, lagi lagi bertuan untuk menjaga tapi aparat juga bisa menjadi provokator atsu penyebab kericuhan terjadi dengan dalih melindungi tapi dengan cara kekerasan yang awalnya melindungi malah menjadi propokasi. Selain itu pemerintah dan kebijakannya juga seringkali disalahkan karena kurangnya perhatian yang diberikan. Dengan begitu banyak pertanyaannya pertanyaan yang belum terjawab dan juga seringkali terjadi pengalihan atau saling lempar tanggungjawab. Bahkan seing kali pihak pihak lemah disalahkan karena tidak bisa melakukan pembelaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H