Perilaku merokok masih menjadi masalah serius di kalangan remaja. Secara global, diperkirakan ada sekitar 50 juta remaja usia 13-15 tahun yang merokok atau menggunakan produk tembakau tanpa asap (CDC, 2023). Di Indonesia, sekitar 19,2% remaja usia 13-15 tahun tercatat sebagai perokok aktif, dengan jumlah laki-laki yang lebih dominan (38,3%) dibandingkan perempuan (2,4%) (GYTS, 2019). Angka ini tentu memunculkan pertanyaan besar: apakah kebiasaan merokok di usia muda merupakan warisan kebiasaan dari orang tua yang sulit dihentikan, ataukah lebih karena pilihan pribadi yang berisiko? Social learning theory dari Albert Bandura menyebutkan bahwa perilaku, dipelajari melalui observasi dan peniruan terhadap orang-orang di sekitar kita. Dalam hal ini, keluarga sebagai lingkungan pertama memiliki peran besar dalam membentuk perilaku remaja.
Berbagai faktor memengaruhi perilaku merokok pada remaja, yang dapat dibagi menjadi faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik mencakup aspek seperti jenis kelamin, kepribadian, pekerjaan, dan sistem kepercayaan individu. Sementara itu, faktor ekstrinsik melibatkan pengaruh dari lingkungan luar, termasuk peran keluarga, lingkungan sekitar, tekanan teman sebaya, kondisi iklim, serta paparan iklan rokok. Kemudahan dalam mendapatkan rokok, kurangnya peraturan yang membatasi, dan sikap petugas kesehatan yang kurang tegas juga menjadi bagian dari faktor eksternal yang mendorong remaja untuk merokok. Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan kondisi yang memungkinkan kebiasaan merokok berkembang pada remaja (Zakiyatun, 2003).
Salah satu dari sekian faktor yang memicu perilaku merokok remaja adalah teman sebaya. Teman sebaya memegang peranan signifikan dalam memengaruhi keputusan remaja untuk merokok. Hal ini terjadi karena remaja sering kali mencari simbol status yang dapat menunjukkan posisi mereka yang lebih tinggi atau dominan dalam kelompok. Remaja sering kali terlibat dalam perilaku tertentu demi mendapatkan penerimaan dari kelompoknya. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mereka mencoba mengonsumsi minuman keras, menggunakan obat-obatan terlarang, atau merokok tanpa memikirkan konsekuensi bagi diri mereka sendiri. Dalam kondisi ini, remaja cenderung mengikuti tekanan kelompok meskipun perilaku tersebut bertentangan dengan nilai atau perasaan pribadi mereka  (Parawansa, G. and Nasution, F.Z., 2022). Dalam proses ini, remaja berupaya menemukan kenyamanan dan rasa kelekatan dengan teman sebaya, yang kemudian mendorong mereka untuk melakukan self-socialization yaitu memberikan tekanan pada diri sendiri untuk menyesuaikan perilaku dengan apa yang mereka anggap diinginkan oleh orang lain (Safitri et al., 2019).
Merokok sering kali dijadikan oleh remaja sebagai simbol kedewasaan dalam upaya mereka untuk menunjukkan bahwa mereka telah melewati masa kanak-kanak (Parawansa, G. and Nasution, F.Z., 2022). Bagi sebagian remaja, perilaku ini dianggap sebagai cara untuk membangun citra diri yang lebih dewasa, mandiri, atau bahkan berani di mata teman sebaya dan lingkungan sekitar. Mereka melihat rokok sebagai atribut yang identik dengan orang dewasa, sehingga mengadopsinya menjadi bagian dari identitas mereka. Dalam masa perkembangannya, faktor lingkungan, khususnya teman sebaya dan orang tua memiliki pengaruh yang cukup signifikan. Orang tua menjadi panutan dalam memberikan contoh bagi anak-anaknya.
Remaja akan lebih sering berinteraksi dengan orang tuanya jika tinggal bersamaan. Ketika menghabiskan waktu di tempat yang sama, remaja dapat melihat perilaku dan aktivitas yang dilakukan oleh orang tuanya. Hal ini dapat memicu remaja untuk meniru perilaku yang dilakukan oleh orang tua, mengingat orang tua umumnya dipandang sebagai seorang figur selama masa perkembangan remaja. Maka, orang tua yang memiliki perilaku merokok dapat menjadi faktor pendorong perilaku merokok pada remaja. Perilaku merokok orang tua dapat membentuk pengalaman dan ingatan bagi remaja yang terus-menerus terpapar olehnya (Utami, 2020). Selain itu, seorang remaja yang tinggal dengan orang tua perokok memiliki kemungkinan 2–2,5 kali untuk menjadi perokok (Artanti, 2024).
Perilaku merokok yang dinormalisasi di rumah dapat menimbulkan persepsi dan sikap yang baru pada remaja. Remaja yang terpapar perilaku merokok dapat menilai bahwa merokok layak-layak saja untuk dilakukan. Sebuah image positif terhadap merokok dapat timbul karena paparan perilaku merokok yang diterima remaja secara terus-menerus (Noviani, 2024). Hal ini karena orang tua yang berani untuk merokok di sekitarnya. Lambat laun, normalisasi perilaku merokok yang terjadi di lingkungan keluarga dapat menurunkan kesadaran remaja terkait risiko kesehatan yang dapat timbul akibat menghisap rokok. Tentunya, fenomena tersebut menjadi suatu isu yang perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti.
Faktanya, orang tua benar-benar memegang peran kunci terhadap perilaku merokok pada anak. Dilansir melalui laman Ayo Sehat Kemenkes RI, perilaku merokok kian bertambah sejak pandemi karena orang tua yang melakukan aktivitas merokok secara terang-terangan di rumah, yakni tempat tumbuh kembang anak berlangsung. Pernyataan tersebut semakin diperkuat oleh pernyataan dari dr. Cynthia Centauri Sp.A pada laman Rumah Sakit Universitas Indonesia, yaitu faktor yang mendukung pada terjadinya perilaku merokok pada anak salah satunya adalah mencontoh perilaku orang tua. Dengan demikian, penting bagi orang tua untuk memberikan edukasi dengan aksi, yaitu dengan tidak merokok di depan anak-anaknya. Sebagai teladan bagi setiap anak-anaknya, orang tua juga perlu memberikan edukasi sedari dini pada anak terkait dengan bahaya merokok. Dalam melakukan edukasi terkait dengan bahaya merokok, orang tua juga perlu menerapkan komunikasi secara terbuka agar terciptanya kesepahaman antara orang tua dengan anak. Dengan menerapkan komunikasi yang terbuka saat mengedukasi anak mengenai bahaya merokok, besar kemungkinan bahwa informasi yang disampaikan orang tua akan berlangsung secara efektif.Â
Menyikapi hal ini, pemerintah tentu tidak tinggal diam. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012, pemerintah menjelaskan terkait dengan pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau, yakni meliputi adanya pembatasan penjualan rokok pada anak dan remaja, pengaturan iklan dan promosi, penyuluhan dan pendidikan, serta pencantuman peringatan kesehatan. Hal tersebut bertujuan agar mengurangi prevalensi merokok pada anak/remaja dan menekan angka perokok pasif pada fasilitas publik yang sering dikunjungi oleh anak-anak. Mari wujudkan lingkungan bebas rokok dimulai dari orang tua yang berperan sebagai suri tauladan bagi anak-anak. Bersama, kita wujudkan generasi yang lebih sehat, percaya diri, dan siap meraih masa depan yang cerah tanpa bayang-bayang rokok!
Penulis: Farhana Ameera Lubis, Gadis Jelita, Lauditta Syafa Kamila, dan Novia Dwi Lestari
REFERENSI